Happy reading 🌻
****
"Bela, ada orang di luar," ujar Bela dengan suara lirih sambil menggenggam sepatu-sepatu usang yang sudah kehilangan kilaunya.Inggit, yang tengah sibuk memasukkan kue ke dalam plastik, langsung menoleh. "Siapa Bel?" tanya Inggit, dengan mata yang masih fokus pada tugasnya, namun hati yang mulai tergerak.
Bela hanya menggelengkan kepala pelan, "Kayaknya dia pernah ke rumah kita, waktu kak Inggit sakit... Tapi aku lupa, huftt," keluh Bela, mencoba mengingat wajah orang itu.
Dengan langkah cepat, Inggit meletakkan celemek yang baru saja dilepas di kursi, dan bergegas keluar, tak ingin membuat orang yang menunggu di depan rumah terlalu lama.
Saat ia sampai di depan rumah, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk dengan tenang di kursi kecil depan rumah. Sosok itu tersenyum begitu kecil, hampir tak terlihat, namun aura kehadirannya cukup kuat untuk membuat Inggit terdiam.
"Pagi, cupu!" Sapanya, suara tegasnya seperti angin yang menggoyangkan dedaunan yang sedang diam. Lalu, dia berdiri dari kursi dan berjalan mendekati Inggit yang masih terpaku di depan pintu.
"Lo nggak bisu kan?" lanjutnya, dengan nada yang sedikit kesal karena Inggit tak memberi respon.
"Aku nggak bisu, kak," jawab Inggit, suara lembutnya hampir tenggelam dalam rasa canggung.
Pria itu tertawa sinis, matanya menatap tajam, seperti kilat yang menyambar di langit yang gelap.
"Kemarin lo bentak-bentak gue! Sekarang lo takut juga kan? Ngaku aja!" katanya, tiap kata yang terucap seperti batu yang dilempar ke permukaan air, meninggalkan riak-riak ketegangan.
"Aku nggak..." jawab Inggit, suaranya hampir tak terdengar.
"Udah, jangan banyak bacot! Sana buruan masuk, ganti seragam! Empat menit gue tunggu!" ujar pria itu, suaranya mengandung perintah yang tak terbantahkan.
Inggit tetap berdiri di sana, tubuhnya beku, seperti pohon yang tak bisa bergerak meskipun angin berhembus kencang.
"Lo bodoh? Tuli atau bisu?" lanjutnya, suaranya semakin tajam seperti pisau yang siap melukai. "Sana masuk!"
Namun, tiba-tiba, kata-kata berikutnya keluar dengan lembut, mengubah suasana yang kaku menjadi hangat. "Sayang, masuk ya. Aku tungguin empat menit."
Kata-kata itu bagaikan angin lembut yang menyentuh hati Inggit, membuat pipinya memerah seperti kepiting rebus yang baru dipanggang. Jantungnya berdetak lebih cepat, seperti gendang yang dipukul tanpa henti. "Akankah aku jatuh cinta?" pikirnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa Vano memanggilku 'sayang'?" Padahal, di antara mereka tidak ada ikatan, hanya batas antara babu dan majikan yang menghalangi setiap perasaan.
Inggit menggigit bibirnya, bingung dan cemas, sementara dunia sekitar seakan berhenti berputar sejenak, menunggu jawabannya.
000
"Kenapa kakak datang ke rumah aku?" tanya Inggit sambil melirik Vano yang sedang fokus mengemudi, tangannya mantap memegang kemudi mobil yang melaju mulus di jalanan.
"Gue turut berduka cita atas meninggalnya ibu lo," jawab Vano dengan suara datar, namun ada kehangatan yang samar dalam kata-katanya.
Inggit hanya mengangguk pelan, "Iya, kak. Makasih," jawabnya, meski hatinya terharu mendengar ucapan itu.
Benar saja, tadi pagi yang datang ke rumah Inggit adalah Vano, pria yang tampak sempurna dengan penampilan yang menawan, namun hati seperti batu-datar dan sulit dipahami. Vano, yang biasanya datang dengan motor sport kesayangan, kini menyetir mobil mewah keluaran terbaru, sebuah kontras yang cukup mencolok.
![](https://img.wattpad.com/cover/250320631-288-k432032.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPOTONG HATI
De Todo[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ] 𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...