34/ Sebelum Jawaban

13 1 0
                                    

"Kenapa?"

***

Duduk di meja makan. Semua berkumpul untuk makan malam bersama kecuali sang Kepala Keluarga yang masih berada jauh dari rumah. Capjai dan nasi di piring Vio sudah tidak terasa hangat lagi. Sedari tadi ia tidak bernafsu mengisi perutnya, padahal sejak tadi siang belum ia isi makanan. Memainkan sendoknya, Vio menatap piringnya dengan tak berselera.

"Mikirin siapa sih sampai nasinya nggak dimakan-makan?" Viko melirik adik perempuan satu-satunya itu sebelum kembali menyendok makanannya yang malam ini terasa begitu lezat. Apalagi dimasak oleh koki terhebat sepanjang hidupnya, mama.

Vio melihat abangnya yang sekarang menatapnya meminta jawaban. "Mikirin masa depan Vio."

"Kenapa emang masa depan Vio?"

Menghela napas, Vio meletakkan sendoknya ke atas meja. "Kalau misalkan ada cewek yang disukai banyak orang, terus tiba-tiba dia deketin abang, terus penggemar cewek itu mediskreditkan abang, apa yang bakal abang lakukan?"

Viko meletakkan gelas minumnya, "hmm, ya biarin aja. Lagian bukan abang yang deketin kan? Mau mereka menghina, menghujat, atau bagaimana pun, kalau memang cewek itu sukanya sama abang, mereka bisa apa?"

Vio meluruhkan pundak, merasa jawaban yang diberikan abangnya masuk akal. Eh, tapi...

"Abang nggak marah? Padahal yang mereka lakuin jahat loh, apalagi mereka nggak tahu abang siapa, dan belum tentu juga bakal dukung abang nantinya kan?"

"Vi... abang kan nggak bisa membungkam mereka. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Yang bisa abang lakukan itu ya tutup telinga. Itu bakal abang lakuin kalau abang juga suka sama ceweknya, kalau abang enggak suka, ya buat apa abang bela-belain kan, palingan abang menghindar dari cewek itu. Oh, atau pura-pura nggak kenal, hehe."

"Hmm... gitu ya bang?"

"Kenapa emangnya?"

Vio menggeleng.

"Abang pernah mengalami yang seperti itu?"

"Pernah. Secara... abang kan ganteng," dengan percaya diri Viko menyengir senang.

Vio mengangguk-angguk. Karena memang benar adanya. "Keknya abang harus dikurangin deh," ucapnya kemudian.

"Apanya yang dikurangin?"

"Songongnya!!"

"Nih anak yaa..." Viko medekatkan dirinya pada Vio, memberi hadiah jitakan pada jidat tertutup poni itu.

"Aww..."

"Ma, abang nakal niih," adunya pada sang Mama yang mencuci piring.

"Udah bang, nanti Vino bangun loh gara-gara kakak-kakaknya berisik. Kasihan dia habis nangis se-sore ini karena kesusahan ngerjain soal berhitung!" menghampiri meja makan sembari mengelap tangannya dengan handuk.

"Kalian berdua kalau sudah selesai, piringnya jangan lupa dicuci. Mama mau nyusul Vino," pamitnya.

"Iya maa..." Vio yang menjawab.

Selepas ibunya, Viko bangkit dari kursinya dan meninggalkan meja makan.

"Abang mau kemana? Ini piringnya belum dicuci!!!" Protes Vio.

"Yang jawab pertanyaan mama siapa?"

"Eh, nggak gitu konsepnya dong –"

"Terimakasih adeknya abang yang paling cantiiik..." Viko memberi kiss bye pada Vio.

Who Is He?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang