Episode 1 - Prolog

142 4 0
                                    


Setelah terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Ki Rungkud utusan Arya Penangsang, Kesultanan Demak terpecah menjadi dua. Arya Penangsang yang mendaulat dirinya sebagai Sultan Demak yang baru memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Jipang. Sementara menantu Sultan Trenggono, Mas Karebet pun mendirikan sebuah negara baru di pedalaman tepatnya di wilayah Pengging yang kemudian diberi nama negeri Pajang.


Pendirian negeri Pajang dan pengangkatan Mas Karebet menjadi Sultan bergelar Sultan Hadiwijoyo ini didukung penuh oleh seluruh kerabat Sultan Trenggono, terutama Ratu Kalinyamat sang penguasa Jepara dan Pangeran Timur sang Adipati Madiun yang merupakan Putra-Putri Sultan Trenggono. Sementara Arya Penangsang mendapat dukungan dari Sunan Kudus dan Sunan Drajad, serta Adipati-Adipati dari Pesisir Utara dan Bang Wetan yang tidak menyukai Pemerintahan Sultan Trenggono.


Ketegangan antara Sultan Hadiwijoyo dengan dengan Arya Penangsang alias Haryo Jipang berkembang menjadi perang besar yang terjadi pada tahun 1480 Saka atau tahun 1558 Masehi. Bagi Pajang penghancuran Jipang Panolang sangat menentukan untuk mengembangkan sayap kekuasaannya di tanah Jawa, setelah Kesultanan Demak runtuh digerogoti perang saudara antara keturunan Raden Fatah, dan Pajang adalah negeri penerusnya.


Demikianlah, seperti yang diceritakan dalam serat Babad Tanah Jawa serta Serat Kanda, pertempuran besar mereka terjadi di tepi Bengawan Sore pada suatu siang. Pasukan Jipang kala itu dipimpin oleh Arya Penangsang yang merasa terhina oleh surat tantangan dari Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya adalah surat palsu yang ditulis oleh Ki Juru Mertani, seorang kerabat Selo yang menjadi ahli strategi Pajang. Sedangkan kekuatan Pajang yang dibantu oleh ratusan kerabat Selo, dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan bersama Ki Penjawi.


Waktu itu kekuatan Jipang yang dibantu oleh kekuatan Bang Wetan* lebih unggul dari kekuatan Pajang yang merupakan Negeri baru yang hanya dibantu oleh kerabat Selo, Kadipaten Madiun, serta sisa-sisa kekuatan kadipaten Jepara, Jipang juga lebih unggul dalam hal persenjataan karena memiliki lebih banyak meriam. Hal ini membuat Ki Juru Mertani berpikir keras untuk mencari taktik yang tepat demi memenangkan peperangan ini.


(Bang Wetan = Jawa Timur. Waktu itu negeri-negeri kecil dan Kadipaten-Kadipaten bawahan Demak di Jawa Timur yang tidak menyukai pemerintahan Sultan Trenggono, memihak Arya Penangsang)


Ki Pemanahan selaku pemimpin kekuatan Pajang, menatap nanar jalananya peperangan dari atas kudanya. Ia merasa gelisah ketika melihat kekuatan Pajang mulai dipukul mundur oleh kekuatan Jipang. Ia pun langsung mengutarakan kegelisahan hatinya kepada Ki Juru Mertani. "Adi Juru, nampaknya kekuatan kita tidak sanggup memukul kekuatan mereka, malah kita yang mulai didesak mudur! Bagaimana?"


"Benar Adi Juru, padahal Aryo Penangsang belum turun tangan, apa yang harus kita lakukan?" sambung Ki Penjawi yang ikut menyuarakan kegelisahan hatinya.


Ki Juru Mertani terdiam sejenak, kemudian dia menatap pasukan meriam Jipang yang berada di sebrang Bengawan Sore yang dipimpin oleh Patih Jipang Ki Arya Mentahun dan putra sulungnya Ki Arya Kusumo. Kemudian pria paruh baya ini mengangguk-ngangguk dan menoleh pada Ki Wirojoyo, salah seorang jagoan andalan kerabat Selo yang ternama panda berkuda sehingga dipercaya untuk memimpin pasukan berkuda.


"Adi Wirojoyo, bawa setengah pasukan berkudamu untuk berputar menyebrangi Bengawan Sore, kemudian bokong pasukan Guntur Geni* itu dari belakang!" (Guntur Geni = Meriam. Watu itu orang Jawa menyebut Meriam dengan sebutan Guntur Geni)


Ki Wirojoyo mengangguk mendengar pengarahan dari ahli strategi keluarga Selo yang ternama amat cerdik tersebut. "Baik Kakang Juru!" Tanpa banyak bicara lagi, ia segera mengerahkan setengah kekuatan pasukan berkudanya ke garis belakang, kemudian menyebrang sungai Bengawan Sore dari kawasan yang agak jauh dari medan pertempuran.


Ki Juru lalu menatap seluruh Senopati perang yang semuanya terdiri dari para kerabat Selo tersebut. "Sambil menunggu pasukan Adi Wirojoyo sampai ke sebrang dan membokong pasukan Guntur Geni mereka, kita harus memecah kekuatan Jipang terlebih dahulu!""Baik Adi Juru, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ki Pemanahan.


"Pasukan kita di tengah harus berpura-pura terdesak dan terus mundur sehingga pasukan Jipang akan mengejar kita dan terpusat pada bagian tengah pasukan kita. Setelah pasukan mereka terpancing oleh pasukan tengah kita, pasukan di sayap kanan dan sayapp kiri kita akan menusuk mereka dari dua bagian sayap! Untuk itu kita rubah gelaran Garuda Ngelayang* kita menjadi Wulan Canggal!*" jawab Ki Juru. (Garuda Ngelayang = Gelaran perang dimana prajuritnya berbaris menyerupai paruh dan kedua sayap garuda yang sedang terbang). (Wulan Canggal = Gelaran Perang dimana prajuritnya berbaris membentuk Bulan Sabit).


"Bentuk Wulan Canggal! Adi Surokerti pimpin sayap kiri, dan Adi Penjawi pimpin sayap kanan!" perintah Ki Pemanahan pada Ki Surokerti yang merupakan salah satu jagoan kerabat Selo selain Ki Wirojoyo dan Ki Penjawi adik angkatnya.


Dua kesatria dari Selo itu pun segera melaksanakan perintah Ki Pemanahan. Ki Surokerti segera ke sayap kiri, dan Ki Penjawi ke sayap kanan. Ki Pemanhan yang memimpin pasukan inti Pajang di tengah, segera berpura-pura mundur karena terdesak. Seperti yang telah diperkirakan oleh Ki Juru, pasukan Jipang segera memusatkan kekuatan mereka ke bagian tengah pasukan Pajang.Di saat yang bersamaan, pasukan berkuda Pajang yang dipimpin oleh Ki Wirojoyo telah sampai ke sebrang sungai Bengawan Sore dan langsung membokong pasukan meriam Jipang yang dipimpin oleh Ki Patih Mentahun. Ki Patih Mentahun dan KI Arya Kusumo pasukan meriamnya terkejut mendapati bokongan tersebut, hingga terpaksa meninggalkan meriam-meriam mereka. Pasukan-pasukan penembak meriam itu segera menghunus pedang dan tombak mereka untuk mempertahankan diri dari gempuran pasukan Ki Wirojoyo.


Di belakang barisan inti pasukan Jipang, Arya Penangsang dan adiknya Arya Mataram terkejut menyaksikan bokongan pasukan kuda Ki Wirojoyo yang berhasil membuat pasukan meriam Patih Mentahun menjadi kocar-kacir! "Wirojoyo berhasil membokong dan menghancurkan pasukan meriam kita!" keluh Arya Mataram.


"Laknat! kerahkan inti kekuatan kita untuk balas memukul pasukan Wirojoyo! Mumpung mereka telah melanggar pantangan untuk menyebrang Bengawan Sore dan jauh dari induk pasukan mereka, kita bantai habis mereka!" geram Arya Penangsang.


"Jangan Kakang! Bisa jadi itu hanya pancingan!" Arya Mataram menyuarakan ketidak setujuannya. "Sebaiknya kita pusatkan pasukan kita untuk segera menggempur induk pasukan mereka. Lihat, bagian tengah induk pasukan Pajang mulai terdesak oleh pasukan kita! Sebaiknya kita kita pusatkan seluruh kekuatan untuk menggempur bagian tengah pasukan kita!" usul adik Arya Penangsang tersebut.


"Baik! Kalau begitu kerahkan seluruh kekuatan untuk menggempur bagian tengah kekuatan Pajang! Sebrangkan seluruh inti kekuatan kita! Aku sendiri yang akan memimpin pasukan kita!" perintah Arya Penangsang yang sudah amat bernafsu untuk segera menyelesaikan peperangan ini dan langsung balik menyerbu Pajang, sehingga ia menjadi amat bernafsu dan tak dapat berpikir jernih.


Haryo Jipang langsung memimpin seluruh inti kekuatan Jipang yang amat besar tersebut menyebrangi sungai Bengawan Sore. Saat itulah Arya Mataram seolah baru menyadari kecerobohannya, ia lupa pada sebuah wiyatuya* kuno, bahwa barang siapa yang lebih dulu menyebrang sungai Bengawan Sore dalam satu pertempuran, maka akan mendapat celaka. Namun terlambat, kakaknya sudah memimpin seluruh inti kekuatan Jipang menyerangi sungai Bengawan Sore, maka ia pun terpaksa ikut menyebrang untuk mendampingi kakaknya.(*Wirayatuya = Ramalan)

ELANG MATARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang