Part 6

3 0 0
                                    

Khalif

"Boy, C'mon. Jangan kayak cewe pms gini deh. Ayolah keluar biar gak suntuk terus." Ajaknya kepadaku. Aku tak menggubrisnya sama sekali. Dia mencoba menggoyang-goyangkan tubuhku tapi aku tetap tak bergerak.

"kalau kamu gak mau keluar juga,aku akan datangi rumah Nayra dan memintanya untuk membalas pesanmu jika perlu. Aku hitung sampai tiga." Ancamnya. Tapi aku tetap saja tak bergeming. Aku yakin dia hanya mengancam saja. Toh, diapun tidak tahu alamat rumah Nayra.

"Jl. Arumsari, No. 43, Wiranggeni, karangasem. Nama bapak Hari Arif Himawan dan Ibu Rahayu. Aku membutuhkan tiga puluh menit untuk sampai disana." ucapnya sembari beranjak dari ranjangku dan melangkah pergi. Aku mencoba mencerna perkataannya tadi. Kenapa teman laknat itu bisa mengetahui alamatnya. Aku pun spontan beranjak dari ranjangku dan mengejarnya yang sudah duduk di motornya. Aku langsung mencegatnya agar tidak pergi. Aku lupa bahwa dia memang gila. Dia bisa melakukan apapun yang dia katakan.

"kenapa? Mau ikut?" tawarnya dengan senyum jahil di bibirnya. Aku mendengus kesal padanya.

"gak usah gila deh. Kita ke Kafe biasa aja." Kataku cuek lalu membonceng di belakangnya. Dia masih memandangku dan tak menggerakkan motornya.

"kenapa lagi sih? Katanya tadi ngajak keluar." Ucapku kesal. Dia menyetandarkan motornya lalu menoleh kearahku sambil menatapku dari atas hingga bawah. Aku balas menatapnya tajam.

"yakin mau pake kolor sama kaos singlet itu doang?" tanyanya membuatku spontan melihat celana kolor dan singlet yang aku pakai. Aku menepuk dahiku keras. Ternyata aku sama gilanya dengan Jake. Aku turun motor dan masuk lagi ke kamarku untuk berganti pakaian yang lebih layak.

"mau pesen apa? Sekalian nanti aku pesenin ke depan." Ucap Jake menawariku setelah kita sampai di Kafe tempat kami biasa nongkrong dan juga Kafe tempatku bertemu dengan Nayra pertama kali setelah tiga tahun tidak bertemu.

"terserah." Ucapku malas padanya. dia pun hanya memutar bola matanya malas dan berjalan ke depan untuk memesan minuman dan makanan. Aku duduk sembari menyandarkan kepalaku dimeja dengan lenganku sebagai bantalannya. Aku sudah seperti orang yang sudah tidak mempunyai semangat hidup saat ini.

"Eh Nayra, apa kabar?" Ucap Jake di dekatku. Akupun otomatis terbangun dari posisiku dan membenarkan posisi dudukku. Mendengar kata Nayra, ah aku tidak sabar melihat wajahnya lagi. Aku melihat ke kanan dan kekiri, kedepan ke belakang tapi tak ada siapa-siapa. Aku melihat kearah Jake dan mendapatinya tertawa lepas. Kurangajar, aku dibohongi olehnya. aku melemparnya dengan sedotan yang ada di depanku. Sungguh wajahnya tak menampakkan rasa bersalah sedikitpun.

"sungguh luar biasa Nayra dihidupmu Lif. Mendengar namanya saja kau sudah kelabakan seperti ini. apalagi kalau melihat orangnya." Ucapnya dibarengi dengan tawa yang menggema. Aku hanya berdecih dan tak menghiraukannya. Dia benar-benar membuatku kesal.

"Nayra!" panggil Jake lagi tapi aku tak akan tertipu lagi. Dia sudah membohongiku dan aku tak akan pernah percaya padanya.

"gausah bohong lagi aku gak.." belum juga selesai mengatakan itu pada Jake suara seseorang yang kukenal terdengar di telingaku.

" Dih Cuma Nayra aja yang dipanggil. Aku enggak nih." Protes seseorang yang pastinya bukan Nayra. Sial, untuk menengokpun rasanya susah sekali. Aku bisa melihat senyum penuh kemenangan dari bibir Jake.

"iyaa maaf Naisha. Lain kali bakal aku panggil lengkap deh." Ucap Jake bergurau. Aku tak tau harus bagaimana lagi.

"kalian sudah mau pulang atau baru datang?" tanya Jake. Aku masih setia bungkam karena tidak tahu harus mengatakan apa.

"kami mau pulang. Sudah daritadi disini." jawab Naisha yang juga mendominasi dari obrolan kali ini.

"Khalif, apa kabar? Lagi sakit? Kok diam seperti itu?" tanya Naisha penasaran. Aku tau dia sengaja bertanya seperti itu. aku pun memberanikan diri menoleh kearah mereka dan memberikan senyum terbaikku. Aku melihat Nayra juga membalas dengan senyum tipis.

" Hai Nay." Ucapku dengan nada gugup.

"wahh sepertinya aku tak terlihat disini." sindir Naisha karena aku juga tak menyapanya. Tapi aku tau dia hanya bergurau.

"Hai Naisha." Ucapku lagi menyapa Naisha. dia malah tertawa mendengarku menyapanya.

"Lif, aku disini. kamu menyapaku tapi tatapanmu kearah Nayra. Sama aja bohong dong kalau gitu." Ujar Naisha sembari terkekeh geli. Begitupun dengan Jake. Ia ikut tertawa puas. Sepertinya Naisha adalah Jake versi perempuan. Sama sama mengesalkan.

Aku bisa melihat Nayra menyenggol sikut Naisha. aku tau dia juga malu dengan situasi seperti sekarang ini. lalu terjadi hening sebentar dan seperti biasa Nayra menggunakan jurus kaburnya. Dia langsung berpamitan kepada kita. Mungkin aku yang terlalu lamban dalam berpikir. Entah kenapa otakku menjadi lamban ketika berhadapan dengan Nayra.

"stupid Khalif." Ujar Jake memberikan pujiannya kepadaku. Aku tak protes karena memang aku melakukan kebodohan itu. menyia-nyiakan kesempatan emas. Dan sekarang aku hanya bisa memandang punggungya yang semakin menjauh dari kafe ini.

***

Seminggu, dua minggu bahkan sebulan aku lewatkan tanpa melihat senyumnya lagi. Yapp,, dia menghilang lagi. Aku tak berani mengirimnya pesan lagi. Karena terakhir kalinya aku mencoba pesan itu tetap tak berbalas. Dan itu hanya membuatku sakit hati. Aku berhenti untuk melakukannya.

Aku sudah putus asa. Mungkin ia memang bukan ditakdirkan untukku. Tapi hatiku masih berat untuk melepaskan dirinya. dia terlalu sempurna untuk dilupakan. Apakah memang aku yang tak pantas untukknya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Jake waktu itu. jika aku mau mendapatkan Nayra aku harus berubah. Jodoh itu cerminan diri. Yaa,, Nayra tak mungkin mau dengan lelaki sepertiku yang lalai menjalankan perintahnya. Aku pernah membaca mengenai kisah Zulaikha dan Nabi Yusuf. Ketika Zulaikha mengejar-ngejar nabi Yusuf ia tak mendapatkannya tetapi ketika Zulaikha mengejar Ridha Allah, Allah takdirkan Nabi Yusuf untuknya.

Mungkin itu yang harus aku lakukan saat ini. mengejar cinta Allah sebelum mengejar Cinta hamba-Nya. Kadang aku sering lupa bahwa aku punya Allah yang Maha Besar. Aku punya keinginan tapi aku tak pernah meminta kepada-Nya. Aku malah menyiksa diri dan tak melakukan apapun. Betapa bodohnya aku. Bagaimana bisa aku mendapatkan cintanya kalau aku saja tak pernah mencintai Tuhannya.

Aku beranjak dari ranjangku. Aku ke kamar mandi dan mulai mengambil air wudhu. Aneh. Kini rasanya berbeda. Air itu begitu sejuk mengenai wajahku. Apakah ini yang dinamakan hidayah? Kemudian aku memakai sarung dan menggelar sajadah di sebelah tempat tidur milikku. Aku shalat isya dengan khusyu. Rasanya nikmat.

Biasanya aku melakukan shalat dengan sistem kebut lima menit kali ini aku menikmati setiap gerakannya. Tenang. Itulah yang kurasakan. Aku mengangkat tanganku dan berdoa. Aku ucapkan segala keluh kesahku kepada Sang Pencipta. Aku tersenyum senang. Hatiku menjadi tenang. Rasanya lega sekali. Ternyata nikmat Allah sebesar ini. kemana saja aku selama ini?

Tak lama ponselku berdering. Pesan dari Naisha.

'bisakah kita bertemu besok?'

Aneh. Ada apa sebenarnya. Perasaanku berubah tidak enak. Aku tak sabar menunggu hari esok untuk mengetahui semuanya.

***

Thanks for reading guys...

jangan lupa vote dan komentarnya yaa

see u next chapter :))

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kenapa Ta'aruf? (sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang