lima

3 2 0
                                    

Hari Minggu tentunya menjadi hari yang dinanti-nanti semua orang. Begitupun dengan gadis cantik yang kini telah siap dengan stelan sweater dan celana jeans panjang. Zeya sudah bersiap untuk kencan hari ini bersama seseorang.

Zeya keluar dari kamarnya, ia menuruni tangga dengan langkah semangatnya. Gadis mana yang tidak semangat jika akan berkencan dengan kekasihnya.

Langkah Zeya terhenti ketika Damian dengan sengaja berdiri di hadapan Zeya. Zeya menatap Damian sengit.

"Minggir" ucap Zeya dingin.

"Mau kemana? Abang di rumah adek nggak kangen?"

Zeya tersenyum hambar. "Kangen? Sama lo? Sory gue masih waras buat nggak nyia-nyiain waktu gue cuma buat kangen sama orang modelan kayak lo" Zeya berucap sinis.

Damian menarik nafasnya pelan. Menatap Zeya dengan seksama. "Zeya, gue tau lo benci sama gue karena gue nggak bisa jadi Abang yang baik dulu, tapi izinin gue mulai sekarang buat belajar jadi Abang yang baik buat lo"

Lagi-lagi ucapan Damian membuat Zeya tertawa hambar. Zeya menatap sinis ke Damian, matanya menyorotkan amarah yang terpendam. "Gue ingetin satu hal buat lo, inget baik-baik, gue.nggak.butuh.abang.macem.lo!"

"Semua udah terlambat. toh lagian sekarang gue udah terbiasa hidup seperti ini, nggak ada yang perlu di ubah, gue udah nyaman hidup tanpa bayang-bayang lo sebagai Abang gue. Gue nggak peduli Lo mau di rumah atau bahkan nggak pulang selamanya itu bukan urusan gue. Sejak awal emang lo udah kayak gitu kan? Yaudah lanjutin aja nggak perlu ada yang di ubah. Minggir lo ngalangin jalan gue". Setelah berucap demikian, Zeya mendorong bahu Damian agar menyingkir dari hadapannya, ia berjalan keluar menuju pintu. Tanpa memperdulikan Damian yang masih mematung.

Damian hanya terdiam membisu mendengar semua ucapan Zeya. Bagai ribuan belati menusuk jantungnya. Satu-satunya keluarga yang tersisa miliknya bahkan membencinya. Tidak menganggapnya. Damian tidak bisa menyalahkan Zeya. Karena semua ini memang salahnya sendiri, Yang tidak bisa menjadi kakak yang baik untuk Zeya. Apa yang ia tanam adalah hasilnya.

Damian mengusap wajahnya frustasi. Melihat punggung kepergian adiknya yang sudah hilang di balik pintu.

Setelah keluar dari gerbang rumahnya, Zeya berhenti di depan rumah Laksa. Seperti biasa, ia tidak mau capek-capek masuk ke dalam halaman rumah Laksa yang luasnya seperti stadion bola. Lebih praktis ia melempar batu kerikil yang selalu ia arahkan ke jendela kamar Laksa.

Sudah puluhan kali Laksa mengganti kaca jendela kamarnya yang retak atau bahkan sampai pecah karena seringnya terkenal lemparan batu kerikil yang di lemparkan Zeya. Sudah di larang pun Zeya tetap melakukan tindakan tersebut berulang-ulang. Sudah Zeya katakan kan, bahwa ia tidak punya rasa jera dari aksi yang menurutnya seru.

Zeya mulai melempari batu kecil-kecil ke arah jendela kamar Laksa. Mungkin orang yang lewat akan mengira ada maling gila di siang bolong seperti sekarang.

Akhirnya Laksa menampakkan dirinya di balkon kamarnya. Ia melihat ke bawah, luar dari pagar. Zeya melambaikan tangannya, tangannya bergerak mengisyaratkan Laksa agar mengambil ponselnya.

Dengan bodohnya Laksa menuruti instruksi dari Zeya. Saat Laksa sudah menunjukkan bahwa ia sudah memegang ponselnya, Zeya langsung menekan nomor Laksa. Seketika panggilan terhubung.

"Laksa lo ganteng banget sumpah diliat dari bawah sini" ucap Zeya dari seberang telepon. Laksa mengerutkan keningnya sejenak, kemudian ia paham dari ucapan Zeya pasti ada gadis itu sedang ada maunya.

"Udah banyak yang bilang, lo nggak perlu nambahin."

"Nyenyenyenye"

"Sumpah lo kalau nggak ada kerjaan jangan ganggu gue, gue orang sibuk nggak kayak lo"

ZeyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang