Asa

36 8 7
                                        

Sesulit apapun hidupmu, se-gakberharga dirimu di dunia, tetaplah hidup. Hidup demi hal sekecil apapun, hidup untuk membuktikan ke khalayak kalau imajinasimu bisa menjadi nyata.

•••

ZEA

Gue selalu dengar dari orang-orang di sekitar gue kalau hidup itu memang gak sempurna, kalau setiap manusia itu memang gak sempurna.

Gue setuju, selalu setuju dengan mereka semua.

Tapi menurut gue kesempurnaan itu ketika elo masih punya keluarga yang utuh. Dalam artian elo masih bisa makan bareng keluarga lo di meja makan, masih bisa bercengkrama dengan orangtua lo adik kaka lo, dan bercerita tentang perjalanan hidup yang sudah lo lewati sejauh ini.

definisi sempurna sesimpel itu. Kalau lo bisa merasakan maknanya, gue yakin setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Elo pasti selalu bersyukur atas rumah yang lo punya untuk pulang sekarang.

Kalau ngebandingin tentang permasalahan hidup sih, pasti gak akan ada habisnya. Elo, gue, kita semua. Pasti punya masalah yang rasanya sulit banget untuk diperbaiki.

Kali ini biarkan gue bercerita panjang lebar, karna gue gak yakin kalau gue bicara, apa ada yang mau benar-benar mendengarkan cerita semembosankan ini.

Dulu, dulu banget sekitar sepuluh tahun yang lalu. Hidup gue diisi dengan kebahagiaan, tawa gempita dimana-mana, setiap akhir pekan gue gak pernah absen untuk piknik keluarga entah itu sekedar duduk-duduk di taman komplek.

Tapi itu dulu sebelum ayah kena Tuduhan korupsi dan berakhir dipecat. Kebahagiaan itu semua seolah-olah hancur seperti mimpi belaka.

Gue harus pindah ke rumah yang lebih kecil, ayah yang harus cari kerja serabutan, dan ibu yang selalu kurang dengan apa yang ada.

Sekarang meja makan kosong, sepi. Cuma ada gue sendirian ditemani suara televisi.

Mata gue kearah telur dadar beserta nasi yang sudah dingin sejak sejam yang lalu. Tapi tatapan gue kosong, sekosong bangku yang seharusnya ditempati oleh mereka.

Gue membuang nafas kasar, entah untuk keberapa kali. "Mulai lagi."

Ayah datang dari luar dan masuk ke ruang tamu dengan keringat mengucur dari segala arah, dan ibu mulai menghampiri.

Selalu terjadi seperti ini, berulang-ulang.

Ibu datang sambil berdandan dengan dompet di tangan kanannya. "Uangnya mana?"

"Belum ada, besok baru dikasih gaji sama pak ahmad."  Ujar ayah sambil mengipas-ngipas area wajahnya.

Raut wajah ibu mengeras "Aku butuhnya sekarang. Aku belum bayar arisan."

"Uang yang kemarin habis?" Terdengar helaan nafas yang keluar dari mulut ayah.

"Udah aku beliin baju."

Ayah menggeleng sabar "Lainkali jangan terlalu boros, kita masih punya keperluan yang penting, untuk beli beras aja kurang."

Nada bicara ibu mulai meninggi. "Kamu bilang ga penting? aku iri sama jeng calista yang selalu punya tas branded, sedangkan aku? untuk beli baju satu aja diungkit-ungkit."

Ayah mulai berdiri. "Bukannya gak boleh bu, tapi lihat kondisi kita."

"Aku selalu ngertiin kok, kamu nya aja yang gak bekerja keras."

"Kamu gak liat aku ngapain dari pagi sampai malam? aku kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kita."

Dan suara keras pun mulai mengisi rumah ini, tanpa ngelihat dampaknya. Tanpa peduli perasaan gue sedikit aja.

Gue membanting sendok dan bergegas pergi ke dalam kamar, meninggalkan mereka dengan suara kegaduhan yang masih jelas ditelinga.

Di dalam kamar, gue meraih earphone dan memasangnya dalam-dalam, berharap suara mereka gak terdengar lagi di indra pendengaran gue.

Sesekali, lo pernah kepikiran kenapa lo milih buat lahir ke dunia padahal lo tahu dunia itu kejam?

Gue selalu percaya, ketika gue milih di lahirkan. Pasti ada satu-dua hal yang paling membahagiakan sehingga gue berani minta ke tuhan untuk dilahirkan.

Nama gue Zea, Zeanika Eunoia putri. Seseorang yang selalu berharap dapat melihat pelangi dihidupnya.

•••

Cerita tak berjudulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang