Part 1 (Petir yang Menyambar)

27 8 10
                                    

"Bu, Ibu kenapa?" tanya Syifa dengan nada panik.

"Syifa, kita harus ke rumah sakit sekarang!"

"Iya, tapi ada apa, Bu? Siapa yang sakit?"

Bu Mira tidak menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya fokus mengunci pintu dengan cepat setelah berhasil menarik Syifa keluar dari rumah. Syifa hanya terdiam. Sang ibu benar-benar tidak seperti biasanya. Hanya ada raut wajah panik dan air mata yang tampak sedang ditahan.

"Siapa yang di rumah sakit, Bu? Ibu, ja-"

"Ayahmu, Syifa. Ayahmu kecelakaan kerja, sekarang sedang di rumah sakit." Suara Bu Mira tercekat, kakinya melemas.

Syifa dengan cepat merangkul sang ibu. Kedua matanya terasa menghangat. Pikirannya berputar-putar atas apa yang baru saja ia dengar dari ibunya. Syifa berusaha menahan sekuat tenaga air matanya dan mencoba menunjukkan ekspresi senormal mungkin di hadapan ibunya.

"Bu, Ibu harus kuat. Ayo, kita berangkat ke rumah sakit, Bu. Kita harus segera melihat bagaimana keadaan Ayah, Bu."

"Kamu benar, Syifa. Ayo kita berangkat sekarang," jawab Bu Mira dengan nada lemah.

Perjalanan Syifa dan ibunya menuju rumah sakit di pusat kota memakan waktu selama tiga puluh menit. Sepanjang perjalanan, air mata Syifa luruh. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ia sangat khawatir bagaimana keadaan sang ayah yang sebenarnya. Sesekali Syifa melirik ke arah sang ibu yang sedang menatap ke jendela.

"Bu, Ibu tidak apa-apa, 'kan?" Syifa membuka suaranya dengan hati-hati.

Ibunya menoleh perlahan dan hanya menggeleng lemah. Syifa mengembuskan napas pelan. Walaupun sang ibu menggeleng, Syifa tahu jika ada sesuatu hal berat di dalam pikiran ibunya saat ini.

Taksi yang mereka tumpangi sampai di area rumah sakit. Bu Mira bergegas membuka pintu dan turun. Syifa membayar tarif taksi kepada sopir dan segera menyusul langkah sang ibu dengan cepat.

Syifa setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit bersama ibunya. Beberapa petugas rumah sakit menghentikan langkah Bu Mira. Syifa pun ikut memperlambat langkah kakinya.

"Maaf, Bu. Anda istrinya Pak Haryono?"

"Benar, saya Mira, istrinya Pak Haryono karyawan PT. Sae Jaya."

"Maaf, Bu, Pak Haryono sudah tidak dapat diselamatkan. Beliau sudah dibawa ke ruang jenazah beberapa menit yang lalu. Mari saya antar Ibu ke sana."

Syifa langsung memeluk ibunya. Perlahan air matanya menetes. Syifa tidak mengeluarkan suara apa pun. Ia terus memegang erat lengan sang ibu dan berjalan ke arah ruang jenazah sesuai arahan dokter.

Perlahan dokter membuka kain penutup yang menutupi wajah ayah Syifa. Saat kain penutup dibuka, Bu Mira langsung teriak histeris. Tangisan Syifa pun pecah. Seketika Syifa memalingkan wajahnya. Ia menutup rapat kedua matanya. Kedua tangannya menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apa pun.

"Enggak! Enggak mungkin, Ayah!" teriak Bu Mira di samping jenazah suaminya.

"Bu, sudah, Bu." Syifa berusaha menenangkan ibunya.

"Ayahmu, Syifa. Kenapa Ayahmu bisa seperti ini, Nak?" tanya Bu Mira dalam isakan.

"Maaf, Bu. Luka di bagian kepala belakang Pak Haryono sangat parah. Pak Haryono sempat sadar, tapi kemudian kondisinya drop," jelas dokter.

Syifa semakin terpukul dengan penjelasan dokter. Ia tak pernah menyangka harus kehilangan sang ayah untuk selamanya dengan kejadian seperti ini. Syifa terus mendekap erat ibunya yang masih terisak.

***

"Syifa, kita makan, yuk!"

Suara sang ibu membuyarkan putaran masa lalu yang tiba-tiba melintas di dalam pikiran Syifa. Syifa menoleh ke arah ibunya yang membawa sepiring nasi goreng. Syifa tersenyum hangat.

"Maaf, ya, Bu. Syifa enggak bantuin Ibu masak," ujar Syifa merasa bersalah.

"Enggak apa-apa, Sayang. Yuk, kita makan," ajak ibunya.

Syifa langsung melahap nasi goreng buatan ibunya. Aroma nasi goreng membuat Syifa sejenak menyimpan kembali kenangan pahit atas kehilangan sosok yang sangat ia cintai. Sampai saat ini, Syifa dan ibunya merasa tidak menyangka semuanya terjadi begitu cepat serta tiba-tiba.

"Bagaimana perusahaan kamu lamar, Nak? Sudah ada panggilan?"

"Belum ada, Bu. Kalau dari timeline-nya, jarak antara interview ke pengumuman final itu sekitar dua pekan, Bu. Berarti, kemungkinan sekitar tiga hari lagi. Ibu doain, ya, Bu," jawab Syifa penuh harap.

"Insyaallah, Nak. Ibu selalu berdoa untuk kamu, untuk kita agar diberikan rizki terbaik," ucap ibu Syifa sembari mengusap sudut matanya. Syifa mengelus lembut punggung tangan sang ibu.

Bu Mira bergegas ke belakang setelah membereskan peralatan masak. Sedangkan Syifa merapikan meja makan. Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk dari luar.

"Siapa, ya, Nak?" Ibu Syifa muncul dari belakang. Syifa menggeleng pelan.

"Aku saja yang bukain pintu, Bu," ujar Syifa. Ia pun bergegas menuju pintu depan.

Syifa memutar kunci dengan cepat. Ia menarik gagang pintu. Ketika pintu terbuka, ada seorang lelaki paruh baya sedang berdiri menatap Syifa. Syifa sedikit terkejut. Bu Mira berjalan cepat dan berdiri di samping Syifa.

"Maaf, ada apa, ya, Pak?" tanya Bu Mira.

"Anda Bu Mira, 'kan? Istrinya Pak Haryono?"

"Benar, Pak. Bapak siapa, ya?" tanya Syifa.

"Saya temannya Pak Haryono," jawab lelaki itu dengan nada getar.

Syifa dan ibunya saling berpandangan sejenak. Keduanya tampak bingung dengan kedatangan lelaki itu. Belum sembuh luka yang tertoreh karena kepergian sang ayah. Syifa tentu saja masih terus berusaha mengikhlaskan ayahnya.

"Maaf jika kedatangan saya terasa mengganggu. Saya ingin membicarakan suatu hal penting, Bu. Ini hal yang berhubungan dengan kematian Pak Haryono."

Mendengar ucapan lelaki itu, Bu Mira tampak terkejut. Syifa membulatkan kedua matanya. Pikiran Syifa mulai berpikir yang macam-macam. Perasaannya saat di rumah sakit terasa ada yang mengganjal. Hanya saja ia terus berusaha berprasangka baik.

Bu Mira masih terdiam. Ia berkutat dengan pikirannya sendiri terlebih ini terkait kematian suaminya. Lelaki itu masih menunggu jawaban dari Bu Mira ataupun Syifa yang keduanya belum membuka suara.

"Kalau kehadiran saya mengganggu, tidak apa-apa, Bu. Saya bisa pulang sekarang jika Ibu tidak berkenan," ujar lelaki itu. Ia tampak merasa kurang nyaman melihat raut kesedihan Bu Mira dan Syifa.

"Tidak apa-apa, Pak. Silakan masuk. Bapak sudah berusaha datang ke sini, saya anggap berarti Bapak membawa kabar yang penting terkait mendiang suami saya," jawab Bu Mira dengan cepat.

Syifa menoleh ke arah ibunya dengan senyuman kecil. Di dalam hati Syifa, ia pun penasaran dengan kabar apa yang akan disampaikan oleh teman ayahnya itu. Kepergian sang ayah bagai petir yang menyambar di hati Syifa. Kejadian yang begitu cepat, menakutkan, dan menyakitkan. Lelaki itu pun masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu.

Syifa duduk di samping ibunya, berhadapan dengan lelaki itu. Lelaki itu tampak menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya. Bu Mira menunggu apa yang akan diucapkan oleh laki-laki itu.

"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Aziz, teman kerja dari almarhum Pak Haryono. Saya ke sini, mau menyampaikan suatu kabar terkait kematian Pak Haryono. Saya juga sangat sedih dengan apa yang menimpa Pak Haryono. Beliau, sudah saya anggap seperti saudara, Bu." Laki-laki itu tampak mengatur napas.

"Ada apa dengan kematian ayah?" batin Syifa.

Bersambung ...

PenumbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang