Part 10 (Anak Pak Aziz)

7 2 2
                                    

"Syifa, tunggu!"

Syifa perlahan menoleh ke arah sumber suara. Kedua matanya menangkap sosok laki-laki yang berlari kecil ke arahnya. Seketika kening Syifa berkerut bingung.

"Siapa orang ini?" tanya Syifa dalam hati.

"Kamu Syifa, 'kan?" tanya laki-laki itu.

"Ya, benar. Saya Syifa," jawab Syifa dengan perasaan yang semakin bingung saat sosok itu menyebut namanya.

"Perkenalkan saya Eldar Perwira. Saya staff desain senior, saya mentornya Talitha. Kamu temannya Talitha, 'kan?"

"Oh, ya, Pak Eldar. Salam kenal. Ada yang bisa saya bantu?"

"Hari ini Talitha tidak masuk kantor, 'kan? Saya mau memberikan berkas ini ke Talitha, terus Talitha menyampaikan untuk menitipkannya ke kamu." Eldar menyerahkan tumpukan berkas yang terbungkus map itu kepada Syifa.

"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan ke Talitha," jawab Syifa.

"Baiklah, terima kasih, ya."

"Iya, Pak. Sama-sama."

Eldar pun berpamitan pergi. Syifa masih terpatung dengan sosok yang baru saja berlalu dari hadapannya itu. "Oh, jadi ini mentornya Talitha. Kelihatannya orangnya baik dan sabar," batin Syifa sembari tersenyum kecil menatap berkas yang baru saja diterimanya dari Eldar.

Syifa pun bergegas kembali ke meja kerjanya. Ia meletakkan berkas titipan itu di sisi komputernya. Pandangan mata Syifa tertuju kembali ke arah komputer. Ia meneruskan pekerjaan yang sempat tertunda karena panggilan dari Akna.

"Enggak gini desainnya, Fa. Ini enggak sesuai konsep. Coba kamu ulangi, deh. Contohnya biar saya kirim dari email. Besok harus udah jadi, ya. Lusa kita harus ketemuan lagi dengan pihak yayasan."

Perkataan Akna masih terngiang di dalam telinga Syifa. Tugas demi tugas dari Akna mulai menempa dirinya. Tak jarang perbedaan pendapat di antara mereka pun ikut menghiasi.

"Pak, ini kan desainnya sudah pernah dipakai. Kenapa kita tidak coba dengan desain klasik saja? Biar ada ciri khasnya."

"Enggak bisa, Fa. Desain ini yang udah disetujui oleh pihak yayasan."

"Kenapa kita tidak tawarkan opsi saja, Pak? Toh ini malah harga bahan bakunya lebih murah, tapi dari segi kualitas sama bagusnya bahkan lebih memberikan ciri khas sekolah."

"Enggak bisa. Pokoknya desainnya kita tetap pakai yang ini."

Syifa memejamkan kedua matanya. Perdebatan dengan Akna pun masih berputar-putar di dalam kepalanya. "Sabar, Syifa. Walaupun nyebelin, Pak Akna udah banyak bantu kamu. Kamu harus tetap semangat," batin Syifa. Ia terus berusaha menyemangati diri sendiri.

Telepon seluler Syifa bergetar, pertanda sebuah pesan baru saja masuk. Syifa dengan cepat meraih benda pipih segi empat itu. "Ibu mengirimkan nomor kontak anaknya Pak Aziz. Semoga aja semua ini cepat menemukan titik terang," harap Syifa.

Syifa mengatur napasnya berulang kali.  Ia mencoba tetap tenang apa pun yang akan terjadi ke depannya.

***

"Syifa, kamu belum pulang?"

"Eh, Pak Eldar. Belum, Pak. Sebentar lagi, ini masih beres-beres berkas." Syifa berusaha tersenyum ramah.

"Oh gitu. Baiklah, semangat, ya," ucap Eldar.

Syifa tertegun melihat Eldar yang selalu semangat, tersenyum, dan ramah kepada siapa saja. Jam kerja telah berakhir, tetapi Eldar tampak masih mengecek hasil kerja timnya. Syifa menatap dari kejauhan ke arah Eldar.

"Pantas saja Talitha terlibat enjoy banget kerja di sini. Mentornya super baik dan care gitu, sih, ya," gumam Syifa.

Syifa masih membereskan meja kerjanya. Beberapa saat telepon selulernya berdering. Syifa dengan cepat mengangkat panggilan itu.

[Assalamualaikum. Ya, halo, Bu.]

[Waalaikumussalam. Kamu masih di kantor, ya?]

[Iya, Bu, tapi sebentar lagi aku pulang. Kenapa, Bu?]

[Oh, gitu. Enggak, ibu cuma mau nanya, kamu sudah coba menghubungi anaknya Pak Aziz?]

[Belum, Bu. Insyaallah nanti Syifa hubungi, Bu.]

[Baiklah, Nak, jangan lupa, ya. Ya, ibu berharap kamu bisa berhasil meminta bantuan anaknya Pak Aziz untuk sedikit demi sedikit menyelediki kasus ayahmu. Soalnya saat mengabarkan Pak Aziz meninggal, anaknya bilang jika butuh bantuan bisa menghubungi beliau, Nak.]

Syifa mendengarkan penjelasan sang ibu dengan seksama. Ia paham benar bagaimana perasaan ibunya. Syifa pun merasakan ada nada suara yang bergetar dari ucapan sang ibu barusan.

[Iya, Bu. Sesegera mungkin Syifa akan menghubungi anaknya Pak Aziz, Bu. Ibu jangan terlalu khawatir, ya.]

Setelah sambungan telepon dengan sang ibu selesai, Syifa segera menggerakkan jemarinya untuk mencari nomor kontak anak Pak Aziz. Beberapa detik kemudian, Syifa menekan tombol berwarna hijau di layar ponselnya.

Tiba-tiba ada suara nada ponsel yang berdering, terdengar jelas di telinga Syifa di saat yang bersamaan. Perlahan Syifa bangkit dari duduknya. Kedua matanya menyapukan pandangan ke seluruh sudut ruangan.

Perlahan kedua mata Syifa membulat saat melihat Eldar yang juga sedang melekatkan ponsel di telinganya. Syifa mematikan panggilannya. Ia sengaja melakukan itu untuk memastikan prasangka yang tiba-tiba saja berdesir di dalam hatinya. Eldar tampak menurunkan telepon selulernya.

Syifa memberanikan diri berjalan mendekat ke arah Eldar. Ia meraih ponselnya lagi. Jemari Syifa dengan cepat menekan tombol hijau. Terdengar kembali suar dering sebuah telepon seluler. Eldar tampak mengangkat benda pipih segi empat dari dalam saku celananya lagi.

"Halo, ini siapa, ya?" Suara Eldar terdengar jelas di dalam telinga Syifa.

Syifa terdiam. Ia mendengar deru napasnya sendiri yang mulai hilang kendali. Kedua mata Syifa masih merekam setiap gerak-gerik Eldar yang kini hanya berjarak tiga meter dari posisi ia berdiri. Syifa memutus sambungan teleponnya kembali.

Eldar pun seketika menoleh saat menyadari Syifa tengah berdiri menatap ke arah dirinya. Eldar mengernyit bingung. Namun, ia segera melengkungkan bibirnya.

"Syifa, ada apa? Kamu sudah dari tadi berdiri di situ, ya?" tanya Eldar.

Syifa belum membuka suara. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. "Apakah Pak Eldar adalah anak Pak Aziz? Mungkinkah dunia sesempit ini?" batin Syifa.

"Syifa? Ada apa? Ada sesuatu yang mau kamu sampaikankah?" Suara Eldar menyadarkan Syifa kembali.

"Eh, maaf, Pak Eldar. Saya ... saya mau nanya sesuatu ke Pak Eldar, boleh?" Syifa berucap dengan penuh kehati-hatian.

Eldar menyapukan pandangan ke beberapa staff yang masih berada di ruangan. Ia memastikan semua staff yang ada di sana tidak terlalu memperhatikan dirinya dan juga Syifa.

"Enggak apa-apa, Syifa. Kamu mau nanya apa? Silakan saja," ujar Eldar.

Perlahan Syifa melangkahkan kaki menuju ke arah Eldar yang masih menunggu pertanyaan darinya. Syifa mengatur pernapasannya agar kembali normal. Sejenak, ia menggigit bibirnya untuk menghilangkan perasaan gugup.

Syifa membuka layar ponselnya sejenak. "Maaf, Pak Eldar. Pak Eldar kenal dengan bapak yang ada di foto ini?" Syifa mengarahkan ponselnya ke arah Eldar.

Eldar membulatkan kedua matanya dan perlahan tersenyum. "Kenal, beliau papa saya," jawab Eldar. Seketika detak jantung Syifa berdegup cepat.

Bersambung ...

PenumbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang