Part 3 (Hujan Badai)

10 5 3
                                    

Bu Mira meletakkan telepon genggam di atas. Ia tergugu dan terisak. Mengapa cobaan di dalam hidupnya terasa sekejam ini. Perlahan tangan kanannya mengusap air mata yang masih deras mengalir.

Syifa menyaksikan setiap gerak gerik sang ibu dari bibir pintu. Perasaan Syifa semakin khawatir dengan apa yang sebenarnya terjadi, sehingga ibunya tampak sangat terpukul. Syifa melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar ibunya. Sang ibu seketika menoleh.

"Ada apa, Bu? Apakah Pak Aziz sudah memberi tahu Ibu tentang perkembangan kasus Ayah?" Syifa bertanya dengan hati-hati.

"Pak Aziz baru saja memberi kabar, Syifa. Beliau mencari rekaman CCTV area tempat Ayahmu kecelakaan saat itu. Ternyata, rekaman di tanggal itu error. Padahal perusahaan tempat Ayahmu bekerja termasuk perusahaan besar. Sangat aneh jika rekaman CCTV-nya error," jelas sang ibu.

Syifa terdiam. Ia berusaha menelaah ulang tentang apa yang dijelaskan oleh ibunya. "Kok, bisa aneh, ya, Bu? Seperti sudah direncanakan. Aku semakin penasaran sebenarnya apa yang terjadi dengan Ayah," keluh Syifa.

"Pak Aziz sudah memeriksa rekaman CCTV di hari lain, katanya ada. Namun, di hari kejadian itu rekamannya error. Jadi, Pak Aziz juga semakin yakin jika ada unsur kesengajaan di balik peristiwa yang menimpa ayahmu, Syifa." Bu Mira kembali meneteskan air matanya.

Bu Mira kembali merebahkan diri. Syifa memastikan sang ibu dalam keadaan tenang. Syifa paham jika ibunya pasti membutuhkan ruang untuk sendiri saat ini. Ia segera keluar dari kamar sang ibu.

Langkah kaki Syifa langsung tertuju ke ruang tengah. Ia terduduk di kursi depan televisi. Kedua mata Syifa tertuju pada sebuah foto keluarga yang terpajang di dinding tepat di atas televisi. Sebuah potret bahagia antara ayah, ibu, dan dirinya. Tanpa disadari, air mata Syifa turun membentuk aliran sungai di kedua pipinya.

"Yah, kenapa Ayah harus pergi dengan cara seperti ini? Mengapa kepergian Ayah menyisakan hal yang justru membuat Ibu dan aku terasa semakin terluka. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah?" Syifa terisak. Perasaan duka, luka, dan kecewa membuncah di dalam hatinya.

"Kepergian Ayah seperti petir yang menyambar di hidupku dan juga Ibu, Yah. Semuanya terjadi tiba-tiba, sangat menyakitkan, dan menakutkan. Ternyata sebab Ayah celaka pun menjadi hujan badai yang menyapukan kesedihan ke aku dan Ibu, Yah." Syifa mengusap air matanya dengan cepat. Matanya masih menatap lekat foto tersebut.

Syifa perlahan terduduk di lantai. Wajahnya tertunduk dalam. Kedua pipinya masih dialiri oleh air mata. Hatinya bergemuruh hebat. Pikirannya tidak tenang, bagaimana bisa sang ayah meregang nyawa dengan kemungkinan besar karena kesengajaan orang lain. Syifa terus mencoba menenangkan diri. Ia menghela napas dalam berulang kali agar tempo pernapasannya kembali normal.

***

"Syifa, kamu sudah tidur?"

Syifa menoleh. "Belum, Bu. Aku belum bisa memejamkan mata," jawab Syifa sembari duduk bersandar dan meraih bantal ke pangkuannya.

"Kamu masih memikirkan kasus ayahmu, ya?" tanya sang ibu sembari duduk di tepian tempat tidur Syifa.

Syifa tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan dari ibunya. Guratan kesedihan masih terlihat jelas di garis bawah kedua mata Syifa.

"Syifa, ibu ingat sesuatu. Ini terkait Ayahmu. Sebelum Ayahmu meninggal, ibu pernah mendengar jika ada suatu permasalahan. Permasalahan itu terjadi saat Ayahmu berkunjung ke kantor pusat perusahaan PT. Sae Jaya di Jakarta. Ibu merasa hal itu ada hubungannya dengan misteri kematian Ayahmu, Nak."

Syifa mendengarkan penuturan ibunya dengan khidmat. Air muka Syifa menunjukkan suatu kebingungan sekaligus binar petunjuk terkait sebab kematian sang ayah. Perlahan Syifa meraih dan menggenggam tangan ibunya. Syifa berusaha menguatkan sang ibu untuk bisa melanjutkan cerita.

"Apa permasalahannya, Bu?"

"Ibu kurang tau pasti apa akar permasalahannya. Hanya saja, Ayahmu sempat terlibat cek-cok dengan staff keuangan di sana. Ayahmu hanya bilang, ada suatu hal yang jika diceritakan pasti akan menjadi aib yang memalukan perusahaan itu," jawab Bu Mira.

"Berarti Ayah mengetahui suatu rahasia di perusahaan tempat Ayah bekerja itu, Bu. Begitukah?" Syifa tampak penasaran.

"Iya, Nak. Makanya Ayahmu sampai terlibat cek-cok saat itu."

"Ayah menyebutkan nama orangnya atau tidak, Bu?" Syifa semakin lekat menatap wajah ibunya.

"Sayangnya Ayahmu hanya cerita itu saja, Syifa. Ayahmu tidak menceritakan secara detail apa permasalahannya, termasuk siapa nama orang yang terlibat cek-cok dengan Ayahmu itu."

Bu Mira terdiam. Ia menutup kembali suaranya setelah berhasil menceritakan hal penting itu kepada putri semata wayangnya. Syifa pun masih belum bersuara. Ia mulai berpikir, mencoba menyatukan setiap kepingan puzzle terkait misteri kematian sang ayah.

"Ibu, kita harus kuat, ya. Kita selidiki pelan-pelan. Kita juga dibantu Pak Aziz, 'kan? Semoga segera ada titik terang." Syifa kembali mencoba menguatkan sang ibu.

"Iya, Nak. Semoga, ya." Bu Mira mengangguk pelan.

Syifa menggeser posisi duduknya. Ia mengambil selembar kertas di atas meja samping tempat tidurnya. Syifa memberikan kertas tersebut kepada sang ibu.

"Apa ini, Syifa?" Bu Mira menunjukkan ekspresi sedikit bingung sembari meraih kertas itu.

"Ibu buka saja, Bu." Syifa tersenyum hangat.

Bu Mira membuka kertas pemberian Syifa. Ia membetulkan posisi kaca matanya. Kedua matanya tampak fokus membaca isi dari tulisan yang tertera di kertas itu. Perlahan, kedua matanya membulat.

"Kamu diterima kerja?"

"Alhamdulillah, Bu. Berkat doa-doa Ibu," jawab Syifa disertai anggukan dan ekspresi haru.

"Alhamdulillah, Ya, Allah. Terima kasih, Ya, Allah. Ini rejeki dari Allah, Nak. Kamu harus semangat, ya." Bu Mira memeluk Syifa dengan erat.

"Insyaa Allah, Bu," jawab Syifa.

Bu Mira perlahan melepas pelukannya. Ia membaca kembali kertas panggilan kerja milik Syifa. Syifa terus tersenyum ke arah ibunya.

"Oh, iya, Nak. Perusahaanmu ini di Jakarta, 'kan?"

"Iya, Bu. Kenapa?"

Bu Mira terdiam sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan suatu hal yang membuatnya semakin takjub. Bu Mira seketika memandang ke arah Syifa dengan mata berbinar.

"Nak, mungkin ini adalah jawaban dari Allah. Kamu diterima bekerja di Jakarta, itu artinya kamu bisa sekalian menyelidiki kasus Ayahmu di kantor pusat yang ada di sana. Karena, sepertinya akar masalah terjadi di kantor pusat perusahaan itu, Nak. Biar Pak Aziz yang menyelidiki kasus itu di kantor cabang di mana kejadian Ayahmu kecelakaan," jelas Bu Mira.

Syifa tertegun mendengar penjelasan ibunya. "Benar juga, dengan aku bekerja di Jakarta, aku bisa sekalian mencari sumber masalah Ayah di kantor pusat PT. Sae Jaya. Setidaknya aku harus tahu dengan siapa Ayah cek-cok saat kunjungan kerja di kantor pusat saat itu," batin Syifa.

"Ibu mohon, Nak. Kamu harus berani dan berhati-hati saat menyelidiki kasus Ayahmu ini. Ibu merasa tidak tenang jika kebenaran belum terungkap." Bu Mira mengusap sudut matanya.

"Iya, Bu. Doain Syifa, ya, Bu," ucap Syifa sembari memeluk ibunya dengan erat.

Bersambung ...

PenumbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang