Part 8 (Our Team)

4 2 0
                                    

Syifa masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya terutama pergelangan tangan dan kakinya akibat kejadian tadi malam. Namun, Syifa merasa lebih baik pagi ini. Ia memutuskan untuk tetap masuk ke kantor, mengingat dirinya adalah staff baru.

"Fa, kamu mau masuk ke kantor hari ini? Kamu, 'kan masih sakit. Itu wajahmu aja masih pucat," protes Talitha yang tampak khawatir saat melihat kondisi Syifa.

"Aku enggak apa-apa, Tha. Aku juga bingung kalau enggak kerja aku mau ngapain," jawab Syifa.

"Mau ngapain, ya kamu istirahat dulu, Fa." Talitha tampak gemas.

"Udah cukup aku istirahat tadi malem, Tha. Ya, anggap aja kalau aku di kantor aku bisa ketemu sama banyak orang dan aku bisa terhibur." Syifa berusaha tersenyum.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa nanti, kalau kamu pusing atau apalah, kamu harus bilang ke aku, ya." Talitha tak tega melihat Syifa.

"Iya, Tha. Makasih, ya."

Talitha seketika memeluk Syifa. Sahabat yang baru dikenalnya itu pasti butuh perhatian lebih sejak kejadian yang hampir saja merenggut keselamatan nyawanya. Talitha menggandeng tangan Syifa menuju taksi online yang sudah menunggu mereka di depan indekos.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Syifa masih terngiang dengan kabar kematian Pak Aziz. Semuanya terasa janggal di pikiran Syifa. Ia belum menemukan titik terang terkait kasus sang ayah. Kini, sosok yang membantu menguak kasus itu pun telah tiada.

"Kamu kenapa, Fa? Pusing, ya?" Suara Talitha membuat Syifa menoleh.

"Hm, ya, gitu, Tha. Aku cuma kepikiran dengan kejadian yang aku alami akhir-akhir ini, ditambah lagi kemarin." Syifa berkata jujur.

"Kamu yang kuat, ya, Fa. Kalau butuh bantuan apa pun, jangan sungkan bilang ke aku. Ya, walaupun kita baru kenal, tapi aku udah anggap kita sebagai saudara, Fa. Kamu harus tetap semangat, ya." Talitha tampak iba menatap ke arah Syifa.

Syifa tersenyum hangat saat mendengar penuturan sahabatnya itu. Tentu saja ia bersyukur, bertemu dan bisa mengenal Talitha di kota perantauan ini. Bahkan, Talitha menjadi sahabat yang tulus baginya.

"Fa, kalau kamu mau menyelidiki kasus ayahmu, aku siap membantu. Oke?" Talitha berusaha menguatkan Syifa yang kini tampak rapuh.

"Makasih, ya, Tha. Aku bersyukur, Allah masih memberikanku kemudahan. Jalan untuk menguak misteri kematian ayahku itu sangat rumit. Namun, aku yakin aku tidak sendiri. Aku yakin Allah mempertemukan aku denganmu, ini pasti ada alasannya." Syifa menyeka sudut matanya.

"Ya, benar, Fa. Aku juga sudah kehilangan ayahku bertahun-tahun silam saat aku masih kecil. Aku tahu apa yang kamu rasakan, Fa." Kedua mata Talitha tampak berkaca-kaca.

Syifa mengelus lembut pundak sahabatnya itu. Benar, tentu saja sangat berat kehilangan sosok laki-laki yang menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya. Ditambah lagi ada kenyataan pahit yang harus diterima Syifa bahwa ada kejanggalan di balik kematian sang ayah.

***

"Ingat, ya, Fa, kalau kamu ngerasa pusing atau enggak enak badan, kamu bilang ke aku," ucap Talitha sebelum berpisah dengan Syifa menuju meja kerjanya.

"Iya." Syifa menganggukkan kepalanya. Ia pun segera berjalan menuju meja kerjanya.

Perlahan Syifa melangkahkan kaki ke arah meja kerjanya. Dari kejauhan Syifa menangkap sosok Akna yang rupanya sudah hadir di kantor. Akna tampak sedang memberikan penjelasan kepada beberapa staff lain. Syifa tidak terlalu memedulikan hal itu. Ia hanya fokus supaya segera sampai ke meja kerjanya.

Setelah Syifa terduduk, Akna menyadari keberadaan Syifa. Ia langsung bergegas menghampiri Syifa.

"Kok, kamu masuk kerja? Kamu kan masih sakit." Akna langsung mencecar keberadaan Syifa.

"Saya udah sembuh, Pak," jawab Syifa dengan singkat.

Mendengar jawaban Syifa, Akna mengembus napas dalam. Akna menangkap wajah Syifa yang masih terlihat pucat. Sudut bibirnya pun masih terlihat memar. Akna memutar kedua bola matanya.

"Untuk hari ini, saya sudah laporkan kalau kamu izin karena sakit," ujar Akna.

"Ya, saya kan tidak tahu, Pak. Lagian, saya memang harus kerja. Ini pekerjaan saya yang kemarin." Syifa menyerahkan hasil kerjanya kepada Akna.

Akna melirik tajam ke arah Syifa. Perlahan tangannya meraih beberapa lembar keras dari Syifa. Akna membuka hasil pekerjaan Syifa lembar demi lembar. Raut wajahnya tampak tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Syifa melirik ke arah Akna sekilas. Tentu saja Syifa tidak bisa menebak apa yang ada dipikirkan oleh Akna saat memeriksa hasil pekerjaannya itu.

"Oke. Kamu beneran sudah sembuh, kan? Jam 9 kita ada rapat. Kamu siap-siap, ya." Akna meletakkan hasil pekerjaan milik Syifa ke atas mejanya.

Syifa membulatkan kedua matanya. "Rapat apa, Pak?" tanya Syifa dengan hati-hati.

"Jadi gini ...." Akna melipat kedua tangannya di dada.

"Kemarin, saya rapat dengan seluruh divisi. Kita mendapat tugas untuk menyelesaikan proyek di sebuah sekolah. Dari pihak atasan, memilih beberapa orang dari tim desain untuk menangani proyek ini," tambah Akna.

Syifa tertegun sejenak. Ia merasa semua proses terlalu cepat untuknya. Syifa menyadari bahwa belum banyak yang ia pahami di dalam perusahaan itu.

"Syifa? Kamu paham, 'kan?" tanya Akna.

"Iya, Pak, paham," jawab Syifa dengan cepat.

"Bagus. Nanti rapatnya di meeting room 12. Jangan terlambat!" titah Akna sembari berjalan menuju meja kerjanya yang tidak jauh dari meja kerja Syifa.

"Proyek baru? Astaga, aku bahkan belum terlalu paham yang kemarin. Pak Akna juga enggak kasih komentar atau koreksi tentang kerjaanku. Haduh," keluh Syifa sembari menggigit bibirnya.

Saat jam menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit, Akna bersiap untuk menuju ruang rapat. Syifa yang menangkap gerak-gerik Akna, ia langsung bergerak menyusul. Syifa sempat melihat ke arah meja kerja Talitha, tidak ada pergerakan dari sana.

"Kok, tim desain yang bergerak menuju ruang rapat cuma Pak Akna dan aku, ya? Perasaanku jadi makin enggak enak gini," batin Syifa.

Langkah kaki Syifa dengan cepat bisa menyusul Akna. Akna menyadari ada seseorang berjalan di belakangnya. Seketika Akna menoleh. Syifa menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Akna saat menatap wajah kaget Syifa.

"Enggak apa-apa, Pak. Oh, iya, Pak, dari tim desain berapa orang, ya, untuk proyek ini?" tanya Syifa dengan hati-hati.

"Kita berdua," jawab Akna dengan singkat sambil menuruskan langkahnya.

"Ha? Cuma berdua? Aku kira bakal ada Talitha juga," keluh Syifa dalam hati.

"Kenapa?" tanya Akna lagi.

"Oh, iya, Pak. Tidak apa-apa." Syifa berusaha senyum seramah mungkin.

Rapat pun berjalan dengan lancar. Semua rancangan proyek dijabarkan sedemikian detail. Beberapa kali Akna memberikan pendapat serta ide-ide yang menarik dalam membuat rancangan desain properti di sekolah. Sesekali Syifa tersenyum kecil, ia mengagumi ide-ide yang disampaikan oleh Akna.

Syifa membereskan catatan-catatannya. Ia pun berdiri dari tempat duduknya untuk segera keluar dari ruangan rapat yang sudah kosong. Akna masih berdiri di depan ruangan rapat.

"Syifa, kita survey ke sekolah sekarang. Kamu siap-siap, udah ditunggu sopir di luar."

"Sekarang, Pak?"

"Iya, sekarang. Ada masalah?"

"Oh, enggak, Pak. Baiklah, Pak."

Syifa segera menyusul langkah Akna yang kian menjauh darinya. "Ampun, deh. Enggak ngerti dengan cara Pak Akna. Kerjanya emang cepat, tapi komunikasinya enggak gini juga, 'kan. Serasa tiba-tiba gitu," lirih Syifa sembari terus melangkahkan kaki menyusul Akna.

"Gimana nasibku ini yang harus satu tim dengan Pak Akna yang muka datar begini," tambah Syifa.

Bersambung ...

PenumbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang