Part 7 (Hari yang Menegangkan)

8 3 2
                                    

Sorot kedua mata Akna semakin tajam. Kedua laki-laki itu masih belum juga melepaskan Syifa. Akhirnya Akna maju beberapa langkah dengan gerakan cepat langsung melayangkan pukulan. Satu laki-laki penjahat itu langsung tersungkur ke tanah.

Akna pun bergerak cepat menarik Syifa setelah melayangkan pukulan ke arah laki-laki yang membungkam mulut Syifa. Akna menarik Syifa ke belakang. Akna masih terus waspada, sebab dua orang laki-laki itu kini tengah bangkit dari jatuhnya.

Syifa yang masih gemetaran tetap menjaga dirinya agar tidak terjatuh. Akna pun langsung melawan saat dua orang itu menyerang kembali. Syifa semakin panik.

"Kamu menjauh dari sini sekarang!" perintah Akna. Syifa tidak menjawab, ia segera bergerak menjauh.

Akna masih melawan, menahan segala serangan dari dua orang penjahat itu. Saat Syifa bergerak mundur, tiba-tiba ada dua orang polisi berlari mendekat ke arahnya.

"Hentikan!" teriak polisi itu.

Kehadiran polisi membuat salah satu penjahat itu mencoba kabur. Namun, dengan segera polisi melepaskan tembakan. Penjahat itu pun terjatuh. Sedangkan penjahat yang satunya sudah terkunci oleh Akna. Akna pun segera menyerahkan penjahat itu kepada polisi.

"Mereka berdua adalah perampok. Mereka residivis yang sedang buron. Terima kasih sudah membantu kami."

"Terima kasih kembali, Pak," jawab Akna.

Polisi pun segera membawa pergi dua penjahat itu ke kantor polisi setelah mengantarkan Akna dan Syifa ke sebuah klinik. Akna menghampiri Syifa yang masih terduduk lemah. Kedua mata Syifa tampak masih berair. Sudut bibirnya pun tampak berdarah. Akna memberikan sebotol air mineral kepada Syifa. Syifa mengangkat wajahnya. Ia menatap Akna dengan tatapan sendu.

"Kamu minum dulu. Setelah ini, dokter akan mengobati luka-lukamu," ucap Akna.

Syifa tidak menjawab apa-apa. Perlahan tangannya meraih botol air minum itu dari tangan Akna. Kedua tangannya masih terasa sakit. Saat ia mencoba meneguk air, bibirnya terasa perih sekali. Bibir Syifa berdarah saat salah satu penjahat menamparnya. Syifa terus berteriak meminta tolong, si penjahat itu pun langsung melayangkan tamparan ke wajah Syifa.

Akna menarik kursi dan duduk di hadapan Syifa. "Maafkan aku," ucap Akna.

Syifa masih belum membuka suara. Ia merasakan pita suaranya masih terasa tercekik. Pikirannya saat ini sangat kacau. Ia hampir saja celaka. Akna yang telah membuat Syifa harus pulang malam, tetapi Akna pula yang menolong dirinya.

"Tadi aku kembali ke kantor. Staff desain sudah tidak ada yang di sana. Aku ngecek checklock, aku lihat namamu baru saja pulang 5 menit yang lalu. Aku langsung keluar, memastikan ke security apakah ada staff yang baru saja pulang dari kantor. Security membenarkan, beliau mengatakan kalau kamu jalan kaki ke arah barat. Perasaanku jadi tidak enak, karena daerah itu rawan kejahatan," jelas Akna merasa sangat bersalah dengan Syifa.

Syifa masih merasa ketakutan. Ia tidak tahu harus menanggapi penjelasan Akna dengan kata-kata apa. Kepalanya terasa sakit sekali. Saat Syifa hendak mengeluarkan suaranya, dokter pun datang untuk memeriksa dirinya. Akna berdiri, ia bergerak keluar dari ruangan dan menutup pintu.

"Astaga, aku hampir saja membuat orang celaka. Aku kira, ah ... kenapa dia begitu polos," lirih Akna.

Beberapa saat kemudian, Syifa keluar ruangan bersama dokter.

"Biar aku aja yang menebus obatnya ke apotek sebelah. Kamu tunggu di sini," tegas Akna dan langsung berlari keluar.

Syifa hanya mematung melihat sikap Akna yang tampak sangat khawatir terhadap dirinya. "Baru hari pertama kerja aja sudah begini. Kalau ibu tau, pasti ibu khawatir dan sedih banget," batin Syifa.

Syifa segera mengusap air matanya saat melihat Akna berjalan masuk kembali ke dalam klinik.

"Aku udah pesan taksi online. Aku antar kamu pulang." Akna mengisyaratkan kepada Syifa untuk segera mengikuti langkahnya menuju keluar klinik.

***

"Fa, kamu kok bisa begini, sih? Ya ampun, Fa. Kamu luka-luka gini." Talitha sangat sedih melihat keadaan sahabatnya itu.

"Ya, aku enggak tau kejadiannya bakal begini, Tha," jawab Syifa sambil terisak.

"Ya udah, kamu makan, ya, aku suapin. Setelah ini kamu minum obat dan istirahat. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh lagi." Talitha berusaha menenangkan Syifa.

Setelah Syifa tertidur, Talitha kembali ke kamarnya. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Telepon seluler Syifa berdering. Syifa tersentak kaget. Perlahan Syifa bangkit dan meraih ponselnya. "Ibu ...." Syifa langsung menggeser tombol hijau.

[Assalamualaikum, Bu.]

[Waalaikumussalam, Syifa kamu sudah tidur, ya?]

[Sudah, Bu. Baru aja. Ada apa, Bu? Tumben telepon malem gini.]

[Suaramu kenapa serak? Kamu sakit?]

Deg. Pertanyaan sang ibu membuat Syifa gugup. Tentu saja ibunya tidak harus tahu kejadian apa yang baru saja ia alami. Syifa tidak mau membuat ibunya merasa khawatir.

[Enggak, Bu. Mungkin aku kecapean aja. Hari pertama kerja jadi agak melelahkan. Ibu tidak perlu khawatir.]

Syifa berusaha meyakinkan sang ibu. "Semoga ibu tidak bertanya lebih jauh lagi," batinnya.

[Alhamdulillah, kalau kamu sehat. Oh, iya, Syifa. Ibu mau kasih kabar ke kamu. Ini kabar yang kurang baik. Tadi siang, Ibu mendapat kabar kalau Pak Aziz meninggal, Nak.]

[Innalillahi wa innailahi rajiun. Astaga, Pak Aziz kenapa, Bu? Sakitkah?]

Perasaan Syifa semakin campur aduk. Ia benar-benar tidak menyangka kejadiannya seperti. Pak Aziz adalah harapan yang bisa menjadi jalan untuk menguak kasus di balik kematian sang ayah.

[Ibu juga tidak paham, Nak. Tadi siang anaknya Pak Aziz menghubungi. Katanya, sebelum Pak Aziz meninggal, beliau sempat menitip pesan untuk menyampaikan kabar duka ke Ibu jika Pak Aziz meninggal. Ibu semakin bingung, Syifa. Mengapa kejadiannya bisa sekebetulan ini.]

Syifa meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Jantungnya berdetak semakin cepat setelah mendengar kabar dari sang ibu.

"Pak Aziz meninggal? Ya Allah. Padahal beliau yang bisa membuka jalan untuk menyelidiki lebih jauh kasus ayah." Tangisan Syifa pecah seketika.

Baru saja Syifa mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Kini, orang yang membantunya untuk menguak kasus sang ayah pun telah tiada.

"Kenapa kejadiannya sekebetulan ini. Beberapa hari terakhir Pak Aziz tidak memberikan kabar apa pun. Hari ini, beliau meninggal. Apa yang terjadi dengan Pak Aziz?" ucap Syifa.

"Enggak! Ini enggak bisa dibiarkan. Pak Aziz meninggal seperti ini aku jadi malah semakin yakin ada suatu hal yang tidak beres di balik kematian ayah," tukas Syifa. Emosinya menguap. Rasa sakit di seluruh badannya terasa hilang seketika, tertutup oleh perasaan kesal.

"Aku harus segera menyelidiki kasus ayah. Ini enggak bisa ditunda lagi. Jika Pak Aziz telah tiada, masih ada aku yang harus menyelesaikan ini semua," tegas Syifa. Kedua matanya terasa menghangat.

Hari ini adalah hari yang penuh ketegangan bagi Syifa. Remuk rasa di badannya, ditambah dengan kenyataan pahit harus kehilangan sahabat sang ayah. "Aku harus kuat, enggak ... aku enggak mau ada orang lain yang ikutan kenapa-kenapa lagi. Aku harus bertindak cepat."

Bersambung ...

PenumbraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang