HAPPY READING 📌🥀
****
Hari Minggu biasanya menjadi momen bagi Inggit untuk berkutat dengan dapur kesayangannya, menciptakan aroma manis dari adonan kue yang kelak dijual demi menyambung hidup. Namun, pagi ini terasa berbeda. Alih-alih apron, ia sibuk mengenakan seragam kerjanya di kafe, meski Minggu biasanya menjadi hari libur."Kak Inggit mau ke kafe ya?" tanya Bella, adiknya, dengan nada polos, memandangi kakaknya yang sedang merapikan kerah bajunya.
Inggit menoleh dan tersenyum lembut, senyum yang menghangatkan ruang hati. "Iya, Dek," jawabnya sambil menghampiri Bella, mengusap rambutnya penuh kasih.
Bella cemberut, bibir mungilnya sedikit mengerucut. "Yah, aku sendirian dong di rumah," ucapnya lirih, rasa kecewa tergambar jelas di wajahnya.
Inggit tertawa kecil, menggelengkan kepala dengan lembut. Baginya, Bella adalah setitik terang dalam gelapnya hidup. Namun, sejak ibu mereka tiada, Bella menjadi lebih manja-hal yang terkadang membuat hati Inggit terhimpit rasa bersalah.
"Kakak harus cari uang tambahan buat kita, Dek. Kalau kakak nggak kerja, kita makan apa?" ucapnya lembut, suaranya serupa angin yang berusaha menenangkan badai kecil di hati adiknya.
Bella terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Lalu, tanpa diduga, ia memeluk Inggit erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Makasih ya, Kak. Selama ini kakak udah biayain hidup aku. Walaupun aku bukan adik kandung kakak, aku sayang banget sama kakak," katanya dengan suara bergetar, seperti sebuah gelas rapuh yang nyaris jatuh.
Inggit tersenyum, meski matanya mulai basah oleh emosi yang tak tertahan. Ia membalas pelukan itu dengan kehangatan yang tulus, mencoba meresapi momen penuh haru ini. "Kakak juga sayang banget sama kamu, Bella," bisiknya, menyelipkan rasa cinta dalam setiap kata.
Bella melepaskan pelukan, mendongakkan kepala untuk menatap kakaknya. Wajah mungilnya memancarkan kesungguhan. "Kak, jangan pernah tinggalin aku ya," katanya dengan nada memohon, seolah Inggit adalah satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap bertahan.
"Ngga akan, sayang."
"Promise?" Bella mengulurkan kelingking kecilnya, meminta sebuah janji yang tak mungkin diingkari.
"Promise," jawab Inggit sambil mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Bella, menciptakan ikatan yang terasa lebih kuat dari sekadar kata-kata.
"Jangan sedih lagi ya, Dek. Kakak sayang banget sama kamu. Cuma kamu yang kakak punya," ucap Inggit pelan, suaranya serupa nyanyian lirih yang mengisi ruang hati Bella dengan kehangatan.
"Aku juga sayang banget sama Kakak," balas Bella dengan senyuman kecil yang akhirnya terbit di wajahnya.
Inggit memandang adiknya dengan perasaan penuh syukur. Meski dunia terasa berat, kehadiran Bella adalah alasan baginya untuk terus bertahan. Di dalam hati kecilnya, ia berdoa agar momen ini bertahan selamanya, seperti bunga yang mekar abadi di musim semi.
000
"Vano!" Suara seorang gadis bergema di lorong rumah, memanggil dengan nada yang lebih menyerupai perintah daripada permintaan. Langkahnya menghentak pelan menuju kamar Vano, diiringi ekspresi malas yang terpampang di wajahnya.
"Apa lagi?" sahut Vano tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer di depannya. Jarinya sibuk menari di atas keyboard, menciptakan deretan kata yang hanya ia mengerti.
"Anterin gue ke kafe, sekarang!" ucap gadis itu dengan nada cerewet khasnya.
Vano menghela napas panjang, seolah seluruh udara di ruangan ikut tertarik ke dalam dadanya. Matanya berputar, memancarkan rasa jengah yang tak mampu ia sembunyikan. Hari Minggu seharusnya menjadi momen istirahat, saat otak bisa menyerap ketenangan. Tapi tidak, bukan untuknya. Kedamaian itu selalu terenggut oleh makhluk kecil yang satu ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/250320631-288-k432032.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPOTONG HATI
De Todo[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ] 𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...