#14

373 59 12
                                    

Park Chanyeol's Eyes~

11 January at Chanyeol's house – 02.18 KST

"...have you slept with him?" Wendy yang betah dalam pelukanku terdiam, nafasnya masih terdengar tenang. Aku tau pertanyaan ini beresiko, namun aku ingin memastikan. Tanganku tak berhenti mengelus punggungnya yang telanjang dengan lembut, mencoba menyampaikan perasaanku padanya dan mungkin saja bisa membuatnya berkata jujur.

"as long as I remember, you just took my virginity." Aku terdiam sejenak lalu akhirnya tertawa pelan. Astaga, aku melupakan fakta bahwa Wendy kehilangan ingatannya. Suasana hangat yang tercipta saat aku dan Wendy akhirnya bisa saling menurunkan ego masing-masing sangat membuaiku hingga bisa-bisanya aku melupakan fakta menyakitkan itu. Ku cium kepala belakang Wendy, keringat masih membasahi rambutnya pasca aktifitas yang bisa ku bilang sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan akan bisa ku lakukan lagi.

"maaf jika semuanya terasa asing bagimu." Dia mengangguk pelan, deru nafasnya masih sangat tenang, membuatku jadi ikut tenang. Kemudian kami kembali diam dalam pikiran masing-masing, meski sebenarnya aku mencoba menutupi rasa bersalahku pada Wendy setelah apa yang terjadi. Dia terlihat begitu canggung dan malu, karena baginya saat ini adalah yang pertama. Padahal kenyataannya dia sudah sangat terbiasa melakukan hal itu denganku selama bertahun-tahun. Dia yang tak ingin menunjukan wajahnya, dia yang tak ingin bersuara dan selalu minta diyakinkan bahwa yang kami lakukan ini tak akan melukai siapapun membuatku sadar bahwa wanita ini membutuhkanku untuk membantunya mengingat segala hal yang telah kami lalui.

Semakin ku peluk erat wanita itu, aku tak ingin ada celah diantara kami. These couple of months feel like I've been through a hell. Emosiku benar-benar diuji hingga batasnya. Ku pikir saat aku menawarkan pilihan itu, -pilihan yang sangat aku hindari itu, ia akan menyetujuinya dengan senang hati. Tapi aku salah. Meski Wendy kehilangan ingatannya, namun jiwanya masih sama. Ia memang terlahir sebagai seorang pejuang, ia rela korbankan perasaannya sendiri demi menyelamatkan apa yang baginya penting. Tak perduli betapa sulitnya belajar menerima kenyataan, ia mau berjuang untuk menyelamatkannya. Aku tau Wendy adalah ibu yang hebat bagi kedua anak-anakku, mungkin melihat Dexter dan Zara membuatnya sadar bahwa ia tak bisa bersikap egois. Ia ingin memulainya, memulai untuk pelan-pelan mengingat apa saja hal seru yang telah ia lewati sebagai seorang ibu. Aku tau itu, karena dari caranya menatap Dexter dan Zara masih sama seperti dulu. And once again, she makes me feel amazed. I adored her all over again. Aku begitu memujanya.

"hari ini kau ada penerbangan kemana?" tanyanya dengan suara serak, butuh sepersekian detik untukku menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang rasanya sudah ribuan tahun tidak aku dengar darinya.

"Hongkong...pukul 19.00." jawabku pelan, nyaris tak percaya dengan pertanyaan itu. Biasanya aku dan Wendy akan selalu mengobrol sebelum tidur. 1 jam sebelum tidur, kami meletakan ponsel masing-masing dan akan saling berpelukan sambil menceritakan kegiatan apa saja yang telah dilalui hari itu dan berakhir dengan pertanyaan Wendy mengenai jadwal penerbanganku untuk hari esoknya. Akhirnya kini aku bisa mendengar pertanyaan tersebut, padahal aku sudah siap menerima kenyataan jika Wendy tidak akan pernah bertanya seperti itu lagi padaku.

"baiklah, ayo tidur. Pagi nanti kita harus menjemput Dexter di rumah ibumu." Aku menganggukan kepalaku tanda setuju dan sekali lagi menghirup aroma keringatnya yang manis, aroma yang membuatku candu. Ku raih tangannya dan ku genggam erat, dan dia balas menggenggamnya dengan erat.

"...I feel so loved by you." Kalimat Wendy itu yang akhirnya jadi pengantar tidur nyenyakku setelah berbulan-bulan lamanya.

*

15 January at 07.48 KST

Akhirnya kehidupanku kembali seperti awal sambil membantu Wendy untuk mengembalikan ingatannya. Dimulai dari memberitau kebiasaannya sejak bangun tidur hingga bersiap tidur dimalam hari, apa saja yang harus disiapkan untuk keperluan sekolah Dexter, makanan yang tidak disukai Zara, hingga letak piring dan sendok di dapur. Agak sedih sebenarnya jika dipikirkan, rasanya seperti menceritakan kembali apa saja yang pernah aku dan dia lakukan dirumah ini. Tangis bahagia ketika untuk pertama kalinya mendengar Dexter bisa memanggilku Papa, tangis sedih saat Wendy merasa frustasi dengan pekerjaannya, tawa Zara yang sangat khas tiap kali bercanda denganku, dan terkadang juga suara teriakan frustasi saat aku dan Wendy sedang memiliki masalah. Semua terjadi disini, dirumah ini. Bagian sedihnya adalah, aku hanya mengingat momen itu sendirian meski wanita yang kini ada dihadapanku juga jadi bagian penting dari momen-momen itu.

I Do Love You [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang