3. DUNIA YANG SEOLAH HANCUR

171 29 1
                                    

Hujan yang membasahi raga tak sedikit pun mengurungkan niat Chandra untuk terus berlari hingga mencapai tujuannya, rumah. Tidak jauh berbeda dari apa yang ia rasakan saat di penjara tadi pagi, hatinya begitu hancur kala mendengar berita kematian sang ayah. Kasih sayang yang ada di dalam hati untuk kedua orang tua tak bisa ia ungkap dengan nyata. Tidak segera pulang adalah salah satu cara yang menurutnya tepat untuk menghindari pertengkaran hebat dengan ayah dan ibu.

Rupanya semua itu salah besar. Chandra justru tidak menemui akhir perjumpaan dengan sang ayah. Beliau telah lebih dulu mengembuskan napas terkahir tanpa menunggu Chandra pulang. Ayahnya pergi dengan membawa kekecewaan mendalam terhadap anak satu-satunya yang diharapkan dapat memberikan kebanggaan baginya.

Selama ini apa yang dia lakukan sama sekali tidak bisa membuat ayah dan ibunya tersenyum senang. Tidak sama sekali dan hal itu membuat Chandra sangat menyesali waktu yang berlalu dengan percuma.

Di tengah guyuran hujan yang seakan tidak ingin berhenti, jasad sang ayah tetap di kebumikan. Keranda jenazah terlihat mendekat ke arahnya. Chandra sangat yakin bahwa yang tengah dibawa oleh orang-orang yang bergerombol dengan payung-payung sebagai pelindung diri dari hujan, adalah ayahnya. Pemuda itu menghentikan langkah kaki, ia menatap mereka yang terus mendekat.

"Chan. Bawa ini." Seorang pemuda berteriak dan memberikan tempat agar Chandra dapat ikut andil mengantar ayahnya ke peristirahatan terakhir. Tetapi, suara wanita yang sangat dikenal, melarangnya dengan keras.

Chandra termangu, mengalihkan pandangan ke arah asal suara yang tadi memaki dengan keras.

"Jangan pernah berikan itu padanya!" Ibunya yang mengatakan hal tersebut.

"Tapi, Tek Mur, Chandra juga berhak membawa tandu ayahnya sendiri." Pemuda yang tadi memanggil Chandra mencoba bernegosiasi. Sudah menjadi rahasia umum, kalau kematian Pak Daud terjadi setelah ia mendapatkan telepon dari kantor polisi, memberitahukan kalau Chandra tengah berada di sana.

Pria berusia empat puluh tujuh tahun itu mendadak mendapatkan nyeri tak terperi di dada. Lambat laun napasnya sesak dan mengalami dengkuran hebat. Hanya Ibu Murni yang menemani sang suami saat berjuang di akhir hayat. Kehilangan belahan jiwa telah menjadi pukulan berat bagi wanita itu. Memiliki seorang anak, tapi tak mampu memberikan ketenangan bagi jiwanya. Kenapa bukan Chandra saja yang mati? Kemarahan teramat sangat membuat Ibu Murni jadi tak bisa menahan diri.

"Sudahlah, hujan masih deras, kita tidak boleh mengundur waktu. Ayo, Sal, segera jalan." Pria yang memegang besi keranda bagian belakang meminta agar Faisal—pemuda yang menyapa Chandra—untuk segera berjalan kembali.

Chandra tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Melihat sang ibu yang menyorot dengan netra merah menyala, sudah menjadi jawaban, betapa dirinya tidak lagi dibutuhkan meski hanya sekedar untuk membawa salah satu besi keranda jenazah ayahnya.

***

Chandra tidak mendekat. Tubuhnya dibiarkan basah kuyup dengan netra menatap dari kejauhan, bagaimana jasad ayahnya dimasukkan ke liang lahat. Ia berdiri di balik sebatang pohon besar. Hujan mungkin bisa menyamarkan air yang keluar dari mata, tapi tak bisa menutupi bahu yang bergetar hebat. Kepalan tangan kanan menutup bagian mulut agar dapat meredam suara, sementara telapak tangan yang lain menumpu pada batang pohon.

Kepala yang mulai berdenyut membawa rasa sakit, diabaikan saja oleh Chandra. Hujan telah mereda. Banyak pelayat mulai beranjak dari pusara Pak Daud. Ketika orang-orang melewatinya, pemuda itu bersembunyi di balik pohon tersebut. Ia tidak ingin terlihat oleh siapa pun, walaupun ibunya sendiri.

Tanah merah itu sangat becek. Chandra seolah menginjak bubur yang tergenang di bawah kaki. Sama sekali tak dipedulikan sepatu yang kotor dan seragam putihnya berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Ia sudah memeluk gundukan tanah yang basah. Petrikor begitu menyengat sekali dan Chandra benci dengan aroma ini.

Tangisannya pecah bersama duka yang sudah dibawa mati oleh jasad sang ayah. Ia begitu menyesal telah menjadi anak yang sama sekali tiada guna.

"Ayah!" Hanya meraung seperti itu saja yang dia bisa.

Sepatah kata pun masih tidak dapat dirangkai untuk menggambarkan betapa saat ini ia begitu terdayuh. Air mata tak jua surut. Ada sesak yang menyeruak, tapi tak terucap. Ingin memukul dada hingga terbelah atau mengempaskan kepalanya pada batu besar yang ada di dekat sana hingga pecah, agar bisa segera mati dan menyusul ayahnya.

Hanya saja, bagaimana dengan ibu kalau dirinya juga tiada? Semarah apa pun, beliau tidak akan membenci Chandra selamanya.

"Chan."

Arul, Beri, Ari, Ronal, dan Eru datang lalu mendekat. Tapi Chandra sama sekali tidak menoleh pada mereka. Bukan karena malu telah menangis. Ini luka paling tajam yang membuatnya terpaku tak mampu bergerak.

"Kau harus tabah menghadapi ini semua." Arul berjongkok dan menepuk pelan pundak sang pemimpin kelompok. "Aku juga telah kehilangan bapakku. Rasanya kaki ini patah sebelah. Aku seakan tidak mampu lagi untuk berjalan."

Ia mengenang kembali momen ketika dirinya berada di posisi Chandra saat ini. Tangisan tujuh hari tujuh malam pun takkan dapat membuat sang ayah kembali hidup.

"Yang kita bisa memang hanya mengikhlaskan saja, Chan. Seterusnya biarkan berjalan sebagaimana mestinya. Apa yang akan terjadi di hadapan, hadapi saja. Semua sudah ada jalannya." Arul menambahkan. Ia memang menjadi salah satu pemuda bijak di antara kelompok berandal yang mereka bentuk. Kehilangan sosok ayah jualah yang membuatnya jadi seperti sekarang. Menguatkan diri untuk terus berdiri tegak menatap hari yang tampak kelabu.

Chandra masih bergeming. Mungkin benar apa yang Arul katakan. Menghadapi segala hal yang akan terjadi di depan sana tanpa surut selangkah pun. Kini ia hanya berdua dengan sang ibu. Beruntung wanita itu masih memiliki usaha kecil-kecilan sebagai bekal mereka tanpa kehadiran tonggak kokoh penopang hidup.

Dengan ditemani oleh ke lima sahabatnya. Chandra pun pulang ke rumah. Wajah tertunduk saat memasuki pekarangan yang masih tersusun kursi-kursi plastik berwarna biru di bawah sebuah tenda kecil.

"Mau apa lagi kau pulang ke sini, dasar anak tidak tahu diuntung!"

Sebuah suara yang dulunya begitu hangat, sekarang terdengar sangat memilukan bagi Chandra. Ibunya masih tidak bisa meredam amarah. Wajarkah? Tidak bisakah untuk memaafkan saja, toh, Pak Daud sudah tenang di sana.

"Sudah, Mur, jangan begitu sama anakmu sendiri." Tek Ija mencoba menenangkan tetangga yang sudah terasa bagai saudara.

"Dia yang menyebabkan ayahnya meninggal. Karena ulahnya yang tidak mau berubah itulah saya kehilangan suami, Ja." Ibu Murni meratap kembali. Wajahnya terbenam di dada Tek Ija yang memang sengaja mendekap.

Chandra masih berdiri di tempat, selangkah pun belum masuk ke dalam rumah. Perkataan ibunya menorehkan kepedihan di sanubari. Bukan hanya kehilangan ayah saja yang membuat dunianya hancur, perkataan sang ibu telah mampu menyempurnakan kebinasaan hidup yang kini seolah tiada guna.

***

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang