8. SEBUAH HADIAH DARI GURU TERBAIK

178 27 0
                                    

Tengah malam Chandra terbangun. Netranya memeriksa ruangan yang sempat terlupa saat membuka mata. Beberapa detik kemudian, pemuda itu akhirnya bisa mengingat setelah melihat sosok Uda Ujang yang tengah tertidur di lantai ruangan marbot Surau Lakuk.

Perasaan tidak enak merongrong sanubari Chandra. Orang-orang baik ini benar-benar telah memanusiakan dirinya. Hati kecil pemuda garang itu tersentuh. Tubuh yang terasa masih remuk redam, dipaksakan bangkit. Keinginan hendak buang air kecil begitu mendesak.

Tak ingin mengganggu tidur Ujang, Chandra turun dari ranjang dengan sangat hati-hati. Membuka pintu pun begitu pelan, nyaris tidak terdengar deritnya sama sekali. Tempat salat gelap gulita ketika pintu ruangan marbot kembali ditutup. Namun, Chandra tidak takut sedikit pun. Ia melangkah dengan hati-hati, sebab setiap gerakan membuat tubuhnya terasa nyeri dan pegal.

Chandra membuka pintu surau, pemandangan di luar sana sangat hening dan tenang. Dedaunan bergerak seirama dengan tiupan angin malam yang lembut. Pemuda itu melangkah perlahan, meraba-raba lantai yang terinjak. Tidak ada alas kaki yang digunakan.

Posisi toilet berada di sisi kanan. Di belakangnya semak belukar, banyak ditumbuhi pohon durian. Chandra masih tidak merasakan apa pun hingga selesai membuang hajat. Tak berhenti sampai di situ, Chandra melanjutkan dengan mengambil wudhu. Ia ingin salat, itu saja.

Baru saja keluar dari tempat berwudhu. pemuda itu dikejutkan dengan kehadiran Uda Ujang di dekat pintu.

"Uda—." Chandra pias seolah kehilangan darah. Ia meraba dadanya yang seakan hendak melompat keluar.

"Kenapa tidak bangunkan Uda? Kan bisa Uda temani. Nanti kalau kau jatuh atau kenapa-napa bagaimana?"

Chandra menundukkan sedikit kepalanya. "Saya sudah terlalu merepotkan di sini. Tidak enak membangunkan di saat Uda tidurnya terlalu nyenyak."

"Ah, kau ini. Masuklah dahulu." Ujang tersenyum sambil menepuk pundak Chandra pelan.

***

Dua hari telah berlalu. Kini Chandra bersama dengan Rizal—salah satu murid silek yang diamanatkan untuk menjaga surau—ketika Ujang tidak bisa tidur di Surau Lakuk.

Kondisinya pun sudah cukup membaik. Ia bisa membantu membersihkan tempat ibadah itu semampunya. Mereka duduk bersandar pada sisi surau yang mengarah ke pohon durian yang lebat. Angin sepoi-sepoi berembus membelai wajah dua pemuda yang baru saling mengenal, tetapi sudah terlihat sangat akrab.

"Bang Chandra kenapa tidak pulang ke rumah?" Pertanyaan yang tak pernah sampai ditanyakan oleh Uda Ujang dan Bang Buyung kepada Chandra. Namun, dapat diucapkan oleh Rizal dengan lancar.

Wajah polos remaja lugu itu memang seolah tanpa dosa. Chandra menanggapi dengan tawa santai, tidak ada yang salah dari pertanyaan tersebut. Rizal benar, menanyakan akan hal ini adalah sesuatu yang wajar saja.

"Saya diusir dari rumah, Zal." Chandra pun tanpa basa-basi mengakuinya.

Mata pemuda yang berusia tiga tahun di bawah dirinya ini, terbelalak. "Ibu kandung atau ibu tiri, Bang?" Ia benar-benar terlihat polos dengan apa yang telah ditanyakan barusan.

Chandra kembali tertawa. "Sudahlah. Jangan jadi beban buat kamu, Zal."

"Saya tidak terbebani sama sekali, Bang. Tapi, kasihan saja melihat Abang, seolah tidak punya rumah dan orang tua saja." Rizal terkejut dengan apa yang ia ucapkan sendiri. Segera mata itu melirik ke arah Chandra yang termenung dengan pernyataannya barusan. "Maafkan saya, Bang. Saya tidak ada maksud—."

Chandra menggeleng lemah, rasanya sesak tapi tak apa. "Kamu tidak salah, Zal. Saya juga tak marah. Santai saja."

Rizal membekap mulutnya dengan telapak tangan. Gelengan menandakan bahwa ia tengah berjuang untuk tidak banyak bicara lagi. Meski Chandra berkata tidak mengapa, tapi sinar di mata itu terlihat sangat sendu. Ah, bodohnya, Rizal menepuk mulutnya berkali-kali.

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang