2. PERPINDAHAN DIMENSI

209 26 2
                                    

Chandra berjalan gontai keluar dari kantor polisi. Kepalanya tertunduk pilu, bahu sesekali bergetar menahan isak yang tak mampu diredam. Terbayang kenangan saat ayah masih hidup. Meski seringkali mendapat hujaman lidi atau kawat di sekujur tubuh, tapi itu semua tak mampu menyurutkan kesedihan yang mendera diri.

Pemuda ini sangat sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini begitu melukai hati orang tuanya. Berkali-kali diberi peringatan, tapi Chandra tak juga jera. Entah apa yang ada di kepalanya. Berkelahi dan menciptakan keributan serta sangat malas belajar, adalah cerminan dirinya di mata semua guru bahkan orang sekitar.

"Chan, sini aku antar kau pulang." Suara Codot membuatnya tersentak.

Chandra mengangkat kepala dan menoleh ke kiri, Codot tengah duduk di atas sepeda motor milik kakaknya.

"Sejak kapan kau di sini? Bukankah tadi sudah pulang?" Kakinya melangkah dengan wajah penuh duka, menghampiri Codot.

"Iya, tapi aku balik lagi ke sini. Kasih kabar sama polisi, biar kau bisa keluar tanpa ada yang jemput." Codot tersenyum nakal. Cerita kematian ayah Chandra adalah hasil dari rekayasa yang dia ciptakan. Lalu, polisi percaya begitu saja. Sungguh ironi.

"Kau membohongi mereka?" Chandra sudah menaiki sepeda motor yang mulai melaju perlahan keluar dari area parkir kantor kepolisian kota.

Dengan bangga pemuda yang tengah membonceng Chandra mengangguk, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Iya, aku sudah menyelamatkanmu, bukan?"

Akan tetapi bukannya mendapat pelukan terima kasih dari temannya itu, kepalanya malah berkali-kali didorong kuat oleh Chandra hingga menyebabkan laju sepeda motor jadi tak teratur, bahkan hampir oleng. Codot segera menghentikan kendaraan, ia pun langsung turun setelah menegakkan kaki standar motor.

"Aku sudah menolongmu! bukannya bilang terima kasih." Ia mengusap kepalanya berkali-kali. Merasa kesal dengan sikap Chandra kepadanya.

"Aku tidak butuh bantuanmu! Kau telah membuat cerita kematian ayahku! Bagaimana kalau hal itu sampai terjadi? Apa kau mau bertanggung jawab!" Chandra membentak Codot sambil mengepalkan tinju bersiap hendak memukul sahabatnya itu.

"Aku tadi lewat rumahmu, mereka tidak kenapa-napa!"

Mendengar jawaban dari Codot, sedikit banyak memang telah membuat perasaan Chandra membaik. Hanya saja, ia tidak suka kalau orang tuanya diberitakan secara tidak baik seperti ini.

"Cukup sekali ini saja! Kalau kau lakukan lagi, akan kupecahkan kepalamu!"

Emosi masih menguasai diri. Ia sama sekali tidak ingin segera pulang. Chandra mengambil alih kemudi sepeda motor. Mereka lalu bergerak menuju warung kopi yang ada di sekitar sekolah. Di sanalah Chandra dan tujuh teman akrabnya seringkali berkumpul.

"Halo, anak muda. Kau sudah keluar rupanya!" Ajo Zal—pemilik warung—menyapa Chandra saat memasuki pondok kopi miliknya. Kabar penangkapan Chandra dan teman-temannya memang sudah menjadi berita yang menyebar dengan cepat di lingkungan sekolah.

Situasi terlihat cukup sepi karena masih jam belajar. Pemuda itu duduk di kursi sambil menaikkan kaki kiri.

"Rokok, Jo," ujarnya kepada Ajo Zal tanpa membalas ucapan selamat datang yang tadi telah terlontar dari si Pemilik Warung.

"Utangmu sudah banyak, Chan. Kapan mau kau bayar?" Dengan menggerutu Ajo Zal memberinya sebatang cigarette berwarna putih.

"Ajo tenang sajalah. Aku pasti bayar, tapi nanti."

Ajo Zal hanya mengembuskan napas berat. Selalu saja jawaban seperti ini yang diberikan setiap kali menagih hutang kepada pemuda si Biang Rusuh.

Chandra melempar pandangan jauh ke depan. Menatap deretan pohon yang berjejer menciptakan sebuah kerimbunan, hampir menyerupai hutan yang tak terlalu luas. Belum banyak rumah warga yang dibangun di sekitar sini. Hanya satu-dua dan itu pun belum selesai pembangunan.

Asap rokok yang keluar dari hidung dan mulutnya, cukup membuat pikiran pemuda itu tenang. Tertangkap polisi karena menjadi dalang keributan, memang baru kali ini. Situasinya cukup membuat Chandra menjadi tegang. Sebelumnya, ia tak pernah tertangkap. Meski hampir setiap hari melayangkan tinju pada siapa saja yang tak disukai.

"Kau tak takut nanti Buk Nur datang?" Codot membuyarkan lamunan Chandra.

Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah sejak kemarin, menatap tajam ke asal suara. "Kau sejak tadi membuat kepalaku sakit saja, Dot. Bisa kau pergi dari sini?"

Lagi, Codot hanya mampu diam. Perlahan mulai berdiri dan pergi dari sana. Membiarkan Chandra sendiri saat ini adalah solusi yang tepat. Lebih baik menghindari pertengkaran sedari awal.

Ketika melewati rumah Chandra, sebuah bendera hitam berdiri di tengah jalan. Banyak yang datang ke rumah itu. Jantung Codot berdegup kencang. Pemuda itu segera memarkir kendaraan di sisi kursi plastik yang sudah mulai tersusun, di bawah sebuah tenda kecil.

Baru saja menginjakkan kaki di depan pintu, suara tangis ibunya Chandra terdengar memilukan. Di hadapannya terlihat jasad terbujur yang sudah dilapisi kain jarik. Beberapa ibu-ibu yang lain berusaha menenangkan wanita yang telah melahirkan Chandra itu.

"Dot, mana si Chandra? Kalau kau bertemu, bilang, ayahnya sudah pergi lebih dulu meninggalkan dia."

Tek Ija memberitahu. Wanita ini adalah tetangga rumah Chandra. Ia melihat Codot berdiri mematung di depan pintu dengan wajah pias, lalu mendekati pemuda itu.

"I-iya Tek Ija, nanti saya sampaikan."

Tubuh Codot bergetar hebat. Ia takkan berani menemui Chandra dalam beberapa hari ke depan. Pemuda yang mereka anggap pemimpin dalam kelompok berandal ini pasti akan mengamuk dan menghajarnya habis-habisan. Codot pun memutuskan mengendarai sepeda motornya pulang dengan suhu tubuh yang panas dingin.

***

Chandra tengah menghempaskan batu domino ke tengah meja kopi yang saat ini beralih fungsi menjadi tempat berjudi. Teman-temannya yang lain sudah datang. Mereka bermain domino demi menghibur Chandra yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Tawa pemuda itu lepas, manakala ia memenangkan perjudian untuk ke sekian kali. Di kantong baju seragamnya sudah menyembul uang lima ribuan.

"Chandra!" Suara berat seorang lelaki menyentakkan para pemuda yang tengah asyik berjudi. "Di sini kau rupanya! Ayah kau sudah pergi untuk selamanya, pulanglah segera!"

Batu domino yang akan dihempaskan untuk kesekian kalinya, terlepas dari tangan Chandra. Hatinya bertanya-tanya, apakah ini kebenaran? atau hanya sebuah cerita yang dibuat untuk memanggilnya pulang? Chandra masih diam termangu.

"Ndak ka pulang ang?" [Apa kau tak akan pulang?] Ajo Zal menghampiri setelah berbincang sebentar dengan lelaki seusia ayah Chandra yang tadi memberitahukan berita duka tersebut.

Ke lima teman Chandra yang lain pun tak mampu berkata-kata. Mereka menatap pemimpin kelompok itu dengan sorot miris. Apa yang akan terjadi pada Chandra setelah kematian ayahnya?

Gemuruh mulai terdengar berbisik, lambat laun bersahut-sahutan, lantas menggelegar. Petir menyambar-nyambar. Langit seketika kelam, awan hitam bergerombol, bersiap menurunkan hujan dengan intensitas lebat.

Pikiran Chandra sangat kalut, ia bahkan menutup telinga dan berteriak saat suara petir terdengar seperti letusan bom yang menghancurkan gendang telinga.

"Chandra!"

Teman-temannya memanggil saat pemuda itu keluar dan melangkah panjang di tengah hujan lebat. Dia pulang. Pemuda itu berlari menuju rumahnya. Kediaman yang saat ini sedang disinggahi banyak orang yang ingin datang melayat.

***

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang