5. PERASAAN YANG MULAI PEKA

160 21 1
                                    

Sebelum ayam jantan berkokok, Chandra sudah bangun dan menyandarkan punggung di dinding kamar Codot yang tak bercahaya. Lampu sengaja dimatikan saat tidur tadi. Pemuda ini menangis dalam diam, ia biarkan air mata itu tumpah tanpa hambatan.

Rindu?

Ia sangat rindu suasana di rumah. Kepergian ayah membuat dirinya menjadi sangat mudah sekali tersentuh. Ibu apa kabar? baru sehari berseteru, rasanya ingin sekali melihat dan memastikan kondisi beliau baik-baik saja. Tidak ada orang lain di rumah itu, hanya ibunya seorang. Semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpanya.

Azan sudah menggema. Chandra sampai tersentak, padahal biasanya tak pernah peduli dengan suara itu. Ia menatap sekeliling, gelap, tidak ada yang tampak. Hanya semburat cahaya lampu yang masuk dari celah ventilasi udara yang terletak di atas pintu kamar.

Keluarga Codot sudah ada yang bangun. Ibunya selalu pergi ke masjid untuk salat berjamaah. Lain hal dengan ayah Codot, pria itu sangat malas sekali beribadah. Sering ibu Codot mencoba untuk mengingatkan, tapi sama saja tidak ada hasil.

Suara pintu dibuka lalu ditutup kembali, terdengar begitu jelas. Chandra pun keluar setelah memastikan ibu Codot sudah benar-benar pergi ke masjid. Ia ingin buang air kecil dan besar. Perutnya melilit sejak tadi, tapi sempat terlupa karena terlalu pedih merasakan kehampaan hati ditinggal ayah.

Chandra melangkah pelan menuju tempat paling belakang di rumah ini. Letaknya terpisah dari bangunan inti. Ia menggeser kunci pintu kayu, lalu menekan handle-nya ke bawah. Saat pintu terbuka, udara dingin waktu Subuh pun terasa menyejukkan. Chandra melangkah menuju sebuah sumur yang dikelilingi oleh dinding melingkar yang tak beratap. Di sanalah kamar mandi dan toilet berada.

Pintu yang terbuat dari papan triplek itu berderit saat Chandra membukanya. Pemuda tersebut lantas masuk dan menutup pintu kamar mandi kembali, tak lupa menggeser sebuah kayu kecil sebesar dua jari yang disatukan untuk mengunci, agar pintu tak mudah terbuka.

Ia sangat menikmati sekali suasana pagi kali ini. Selama proses pembuangan, kepala Chandra menengadah menatap ke langit kelam. Terlihat bintang masih berkerlap-kerlip di atas sana. Rembulan yang berbentuk sabit juga masih terlihat jelas. Daun-daun dari pohon-pohon besar di belakang rumah Codot tampak menari-nari mengikuti irama tiupan angin.

Begitu menenangkan ... suara jangkrik dan ayam berkokoklah yang memecah keheningan.

Tak butuh waktu lama. Chandra pun menyudahi aktivitasnya. Ia menimba air sumur yang sangat jernih itu, kemudian menyalinnya ke dalam ember besar berwarna hijau lumut yang tersedia di dekat sana. Sudah terisi sebagian, tapi karena tadi terpakai untuk bersih-bersih, Chandra menggantinya dengan air yang baru.

Pemuda itu tanpa sadar membasuh kedua telapak tangan, lalu membersihkan hidung dengan air dan berkumur-kumur. Selanjutnya, gerakan berwudhu ia lakukan hingga tuntas. Chandra baru tersentak saat ada yang menggedor pintu dari luar.

"Siapa di dalam?"

"Saya Uni Cece, Chandra." Ia bergegas membuka pintu. Bersitatap dengan Cece—kakak Codot—membuatnya sedikit canggung.

Gadis yang berjarak empat tahun lebih tua dari dirinya itu memang selalu berbeda saat berhadapan dengan Chandra. Berkali-kali juga Codot pernah terdengar memperingatkan Cece agar bersikap biasa-biasa saja pada temannya yang satu ini.

Banyak yang yakin kalau Cece sejak tiga tahun lalu menyukai Chandra, gadis itu tak peduli dengan perbedaan usia yang lumayan jauh.

"Eh, kamu." Cece langsung merasa salah tingkah. Untunglah ia sudah merapikan rambut dan wajah sebelum keluar dari kamar. Mengetahui Chandra menginap di rumah, dirinyalah yang paling bersemangat untuk memberikan izin. Codot lagi-lagi mengeluarkan wanti-wantinya. Namun, Cece tidak pernah ambil pusing. Urusan hati hak pribadi.

Iqamah telah terdengar. Chandra bergegas masuk ke dalam. Tidak ingin terlalu lama berdua dengan Cece di tempat itu. Meski pencahayaan lampu cukup membantu penglihatan, tapi pemuda tampan tersebut merasa tidak nyaman.

"Chan. Kau dari mana?"

Bunyi pintu yang terbuka membangunkan Codot dari tidur nyenyaknya. Matanya setengah menyalang. Tampak sekali masih sangat mengantuk.

"Aku dari belakang." Ragu untuk bertanya. Tapi sudah kepalang tanggung. "Hei, pinjami aku sajadah dan kainmu."

Codot terperanjat. Ia langsung terduduk, seolah yang ia dengar ini adalah sesuatu yang menakjubkan.

"Kau mau salat?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya.

"Berikan saja, atau kupecahkan kepalamu." Kepalan tinju sudah terkacung pada Codot yang langsung bergerak turun dari tempat tidur.

"Ini." Diberikannya sajadah dan kain kepada orang yang meminta tanpa bertanya dan berkata sepatah kata pun lagi.

Codot kembali berbaring di ranjang, ia yakin Chandra pasti tahu arah kiblat.

***

Perjalanan menuju sekolah mereka tempuh dengan bersepeda. Sepeda motor tidak boleh digunakan, sebab Cece akan berangkat kerja pagi. Dia menjadi salah satu tenaga honor di Kantor Pencatatan Sipil Kota. Mendapatkan sepeda motor ini dengan membujuk ayahnya yang bekerja sebagai sopir bus antar kota. Ia pun berjanji akan membantu angsuran kreditnya setiap bulan.

Dalam diam Chandra berdiri di boncengan belakang. Ia tak memperhatikan sekitar, kecuali saat melewati rumahnya sendiri. Bangunan itu seolah memanggilnya untuk pulang. Pintu yang tertutup rapat menandakan kalau ibunya sudah tidak di rumah. Beliau telah pergi berjualan di pasar.

Jendela kamar orang tuanya sudah terbuka, pun jendela kamarnya.

"Kau mau pulang?" tanya Codot saat tahu Chandra sampai memutar badan untuk melihat rumah itu.

Beberapa detik tak terdengar sahutan, sementara sepeda tetap dikayuh.

"Tidak. Ayo ke sekolah."

Mendengar jawaban dari Chandra, Codot pun mempercepat kayuhannya. Mereka sudah berada di jam genting. Jangan sampai mendapat sorotan tajam dari kepala sekolah karena keterlambatan.

Codot setengah berlari hendak masuk ke dalam kelas. Sementara Chandra tidak sama sekali. Ada perasaan tak enak di dalam hati.

"Kau dan dia, pergi ke ruang kepala sekolah. Sekolah ini bukan tempat para berandal!" Seorang guru berteriak pada Codot di depan pintu kelas sambil mengarahkan tunjuk dengan penggaris kayu sepanjang seratus senti meter kepada Chandra.

"Ada apa ya, Buk?" Dengan lugunya Codot bertanya.

Chandra datang, menunduk pada guru yang memarahi tersebut dan menarik Codot menuju ruang kepala sekolah.

"Chan."

"Kau tak lupa kalau dua hari yang lalu kita ditangkap polisi."

"Tapi kenapa cuma kita?"

Chandra mengangkat bahu. Bagaimana ia bisa tahu? sedangkan mereka saja datang bersamaan.

Pintu ruangan kepala sekolah tertutup rapat. Butuh satu ketukan sebagai penanda kedatangan mereka.

"Silakan masuk." Suara berat lelaki yang berusia empat puluh tahun terdengar dari dalam. Dengan perlahan Chandra membukanya. Di belakang, Codot terlihat pasi seolah tak berdarah.

Sorot tajam dari Pak Ilyas, sang kepala sekolah mengiringi perpindahan gerakan Chandra dan Codot dari depan pintu ke hadapannya.

Di sana ternyata sudah ada Juki dan Buk Nur, guru agama yang kebetulan menjadi wali kelas mereka.

"Duduk." Pak Ilyas menunjuk dua kursi kosong di hadapannya.

***

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang