6. BUNUH AKU!

173 26 3
                                    

"Chandra, saya turut berduka atas meninggalnya ayahmu." Pak Ilyas menatap lekat pada Chandra yang hari ini tampak begitu pendiam dan tak bersemangat.

Lemah kepala itu mengangguk. Ia tidak mengatakan apa-apa, cukup anggukan saja sebagai jawaban. Chandra tidak pula menatap wajah Pak Ilyas, ia menurunkan pandangan. Bukan seperti Chandra yang dikenal banyak orang, tak pernah kalah menantang sorot mata siapa pun.

Buk Nur yang duduk di belakang para siswanya, terlihat prihatin menatap Chandra. Beliaulah yang beriteraksi dengan ibu Chandra, hingga tahu hal menyedihkan yang dialami oleh muridnya itu.

Banyak guru yang datang melayat, sebab merasa segan dengan ayah Chandra yang bergaul baik dengan semua orang. Berbeda dengan anaknya, sang pembuat onar. Tak melihat Chandra di rumah duka, bukanlah hal besar yang perlu dipertanyakan bagi mereka yang mengenal pemuda itu. Lain hal dengan Buk Nur yang mendengar langsung luapan perasaan ibu Chandra pada orang yang datang melayat.

"Semoga ini bisa menjadi pelajaran buatmu, agar lebih berhati-hati lagi dalam bersikap." Pak Ilyas menambahkan. Ia sudah membuka catatan di sebuah buku yang didapat dari guru piket. Laporan kenakalan Chandra dan kawan-kawannya yang sudah tak termaafkan, barangkali begitu.

"Saya sudah memanggil ke lima teman kalian yang lain, kemarin." Sorot netra Pak Ilyas seakan menguliti Juki, Codot, dan Chandra. "Dan orang tua mereka sudah memberikan jaminan kalau anak-anaknya tidak akan berbuat onar dan mempermalukan sekolah lagi."

Ini pemberitahuan. Chandra sudah bisa menebak akhir dari pembicaraan ini. Ia akan dikeluarkan, minimal mendapatkan skorsing atas kenakalannya. Pemuda itu sudah pasrah. Meski masa depan akan terlihat begitu suram, ya sudahlah.

"Tinggal kalian bertiga yang belum. Chandra, Codot dan Juki."

Anggukan gugup dari Codot dan Juki menjawab pernyataan Pak Ilyas tersebut. Chandra masih bergeming, ia tidak mengangkat wajah sama sekali. Menunduk membuatnya merasa lebih baik.

"Apa kalian bersedia memanggil orang tua untuk datang ke sekolah dan membuat perjanjian seperti yang teman-teman kalian lakukan kemarin?"

Juki meringis, rasa perih di punggung karena hantaman kayu masih sangat terasa. Bapaknya tidak akan mau datang ke sekolah. Meminta ibu sama saja. Wanita itu pasti akan mengomel sepanjang hari selama satu bulan, karena telah membuatnya sangat malu.

Sementara Codot, langsung mengangguk dengan mantap. Keluarganya tidak terlalu mempermasalahkan hal apa pun yang ia perbuat. Sebab itulah, tangan mereka terbuka menerima Chandra untuk menginap di rumah, terserah hingga kapan pun juga.

Lalu Chandra. Ia hanya mengembuskan napas berat. Tidak akan ada yang bisa datang dan menjaminnya di sekolah. Ibu takkan sudi. Mengusirnya saja beliau sangat tega.

"Bagaimana denganmu, Chandra?" tanya Pak Ilyas memaksa kepala Chandra terangkat.

"Sa-saya ...." Chandra pasrah. Ia tidak punya apa pun untuk mempertahankan diri. Keinginan tetap bersekolah masih ada di dalam hati, tetapi jika jalannya sudah tidak mungkin ada lagi, ya sudahlah ... ya sudahlah.

Codot ikut risau memikirkan nasib Chandra. Tapi ia tak mampu memikirkan solusi yang akan diberikan untuk membantu temannya itu.

"Pak--."

Ucapan Buk Nur langsung dihentikan oleh Pak Ilyas dengan mengangkat tangannya. "Saya ingin mendengar dulu masalah anak ini," katanya kemudian sambil menatap lekat ke arah Chandra yang kembali menunduk pasrah.

"Bukankah kau berandal yang tak terkalahkan? Semua siswa di sekolah ini tunduk kepadamu!" Kepala sekolah terdengar sangat sinis pada pemuda itu.

"Saya minta maaf, Pak." Pemuda yang dulunya begitu garang akhirnya menyerah. Ia tidak ingin lagi terlihat buruk di hadapan semua orang. Meminta maaf atas segala salah yang sudah dilakukan takkan merendahkan harga diri.

Juki terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Chandra meminta maaf pada orang lain? Ini tak pernah sekalipun terjadi.

"Kau sudah menyerah?"

"Sudah, Pak." Tanpa ragu Chandra mengakui.

Keadaan sudah membuatnya lemah. Kini ia hanya mampu tertunduk pasrah.

Pak Ilyas tersenyum dan menatap Buk Nur sambil menganggukkan kepala.

"Saya sudah putuskan. Siapa yang tidak membawa orang tuanya untuk datang ke sekolah sebagai penjamin atas kenakalan kalian, akan saya keluarkan dari sekolah ini. Waktu satu minggu dari sekarang. Saya tahu kau masih dalam suasana duka, Chandra."

Pak Ilyas menatap Chandra tanpa berharap apa-apa.

"Baik. Silakan keluar."

Ke tiga pemuda berandal itu keluar. Menyisakan Buk Nur dan Pak Ilyas di dalam ruangan tersebut.

"Pak, tidak bisakah dipertimbangkan lagi. Saya sudah ceritakan masalah yang dialami oleh Chandra." Buk Nur kembali mengajukan keringanan untuk murid-muridnya, terkhusus Chandra.

"Kenapa Buk Nur? Kehilangan satu siswa seperti dia tidak ada ruginya bukan. Memangnya prestasi apa yang sudah ia torehkan untuk mengharumkan nama sekolah ini? Apa ada? sebutkan satu saja, supaya saya bisa mempertimbangkan kembali keputusan yang sudah dibuat ini."

Buk Nur terdiam. Selama ini Chandra tidak punya prestasi apa-apa. Ia terlalu nakal dan tak pernah serius belajar di kelas. Tiga tahun di sekolah ini, buku hitam itu sudah dipenuhi namanya saja.

"Tidak ada, bukan?" Pak Ilyas kembali memberikan komentar, karena tidak ada jawaban dari Buk Nur setelah dua menit berlalu.

"Saya yang akan menjamin, Pak. Serahkan saja dia kepada saya. Saya akan memberinya pemahaman. Kasihan sekali, jika di penghujung tahun ajaran, ia harus berhenti sekolah."

Pak Ilyas tersenyum masam menanggapi pernyataan yang baru saja ia dengar dari mulut Buk Nur.

***

Satu minggu. Waktu yang akan ia biarkan berlalu begitu saja. Chandra memisahkan diri dari teman-temannya termasuk Codot. Pulang sekolah ini ia memilih untuk menepi dan sendiri.

Kaki melangkah ke mana saja tak tentu arah. Seragam sekolah masih lekat dengan sempurna. Tas yang berisi buku-buku dan pakaian terlihat memberat di punggung. Chandra menyusuri jalan yang terasa asing. Entah bagaimana caranya, ia kembali berada di tepian sungai deras berwarna kuning kecoklatan.

Pemuda itu memilih menghentikan langkah dan berdiri di sisi pembatas jembatan. Menatap ke air sungai yang mengalir begitu deras.

"Ini dia jagoan itu!" Suara seorang lelaki terdengar setelah beberapa sepeda motor berhenti di belakang Chandra.

Musuh yang terlalu banyak membuat pemuda itu selalu dibayang-bayangi ancaman balas dendam. Momen kesendirian seperti ini yang ditunggu oleh lawan. Mereka berlima, tampak sudah siap hendak menghajar Chandra dengan segala kekuatan yang dimiliki. Seragam dengan tempelan lambang sekolah yang dikenakan telah memperlihatkan identitas mereka.

Chandra berbalik. Ia menatap wajah beringas itu satu per satu. Berandal dari sekolah lawan yang pernah dia serang, datang menghadang.

"Kau sudah membuat kami muak! Sekarang bersiaplah untuk mati!" Salah satu dari lima pemuda itu mengeluarkan kata-kata ancaman. Sayangnya tidak berpengaruh apa-apa bagi Chandra.

Pemuda yang tampak pendiam dan terlihat pasrah itu tak menggubris. Ia kembali membalik tubuh dan menatap aliran sungai yang deras.

Tidak menunggu waktu lama, satu dari mereka menarik kerah seragam Chandra, membalikkan badan pemuda itu, dan melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajah lawannya.

Chandra tidak punya kekuatan untuk melawan balik. Ia biarkan tubuh itu sakit menahan dera hantaman yang datang tak berjeda. Silakan bunuh saja dirinya. Chandra merentangkan tangan, setelah bangkit dari hantaman keras yang mengenai kepala. Wajahnya sudah memar di mana-mana. Sudut bibir pecah dan berdarah.

"Bunuh aku!" pintanya sambil tersenyum.

                                                                               ***

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang