7. PERTEMUAN DENGAN ORANG BAIK

171 24 1
                                    

Tubuh babak belur itu ambruk di tanah. Sebelum penglihatan menggelap, Chandra sempat mendengar auman harimau yang menggelegar di sekitar lokasi pengeroyokan. Lantas tongkat kayu yang beriringan dengan langkah kaki tua menggunakan sendal kulit bermotif loreng—jingga dan hitam, berjalan mendekat ke arah pemuda yang baru saja dikeroyok. Sayangnya, Chandra tak mampu bertahan dan melihat apa yang terjadi sesudahnya.

Pemuda tanggung itu membuka mata setelah hampir lima jam tak sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Bang Buyung—Guru silat Surau Lakuk—yang kebetulan tak sengaja melewati jalan lengang, tempat ia dikeroyok. Lelaki berusia tiga puluh satu tahun itu berboncengan dengan teman sekaligus adik iparnya—Uda Ujang—dan membawa Chandra ikut bersama dengan mereka.

"Kau sudah sadar?" Bang Buyung bertanya. Memar di wajah Chandra sudah diobati dengan perlengkapan K3 yang tersedia di Surau Lakuk, seadanya saja.

Chandra tidak mengenal Bang Buyung, pun sebaliknya. Mereka hanya kebetulan dipertemukan dalam kondisi seperti ini.

Surau Lakuk sendiri, jaraknya tidak berapa jauh dari sekolah Chandra. Berada di tengah-tengah antara rumah dan sekolah.

"Saya di mana, Bang?" tanyanya sambil memegang pelipis, berusaha untuk bangkit, tetapi seluruh tulangnya seolah remuk, otot-otot tubuh juga terasa tegang. Belum lagi perih yang terasa di seluruh wajah. Kepala pun sakit sakit.

"Kau ada di Surau Lakuk. Saya sering mengajar silat kalau malam di sini." Bang Buyung tersenyum ramah. Lelaki yang bukan warga desa itu menyodorkan air mineral di dalam gelas plastik untuk Chandra.

Pemuda itu berusaha bangkit, ia tahu lokasi surau ini, tak jauh dari rumahnya. Ia kemudian fokus pada gelas yang berisi air. Tenggorokannya kering sekali, terasa sudah sangat lama tidak mengalirkan air ke dalam sana.

"Apa yang terjadi denganmu? Kenapa berada di sana? Saya menemukan sudah tak sadarkan diri."

Minuman sudah tandas, tetapi rasa dahaga masih terasa. Chandra melirik sebuah galon berwarna biru, di dekat pintu masuk surau.

"Maaf, Bang. Apa galon itu masih ada airnya?" Chandra sungkan, tapi ia merasa masih ingin minum. Pertanyaan Bang Buyung tadi saja tak terjawab olehnya. Segelas kecil air itu tak sampai membuat tenggorokan Chandra terasa basah, masih kering kerontang dan hal itu sangat tidak nyaman.

"Oh, sini, biar saya yang ambilkan. Kau di sini saja."

Chandra mengangguk pelan, ia beringsut mundur ke belakang agar tubuhnya bisa bersandar pada dinding surau.

"Ini, kau minumlah yang banyak. Nanti kalau mau tambah lagi, akan saya ambilkan kembali." Bang Buyung memberikan gelas yang sudah ia isi dengan air minum, penuh.

Tanpa basa-basi, Chandra menghabiskannya.

"Mau tambah lagi?"

Pemuda itu menggeleng.

Hening beberapa saat, hingga akhirnya Chandra memutuskan untuk membuka suara. Sebelumnya ia menatap sekitar, barang yang tadi ada bersamanya tak ditemukan sama sekali.

"Tas saya di mana, Bang?"

Bang Buyung pun tersentak. "Oh iya, ada di kamar pengurus." Telunjuknya mengarah ke sebuah ruangan kecil dengan pintu yang tertutup rapat. "Sebentar saya ambilkan. Tadi Ujang yang meletakkan di dalam sana. Takut nanti ada yang mengambil saat kau masih belum sadar."

Pria itu bangkit, berjalan perlahan menuju ruangan tersebut. Di luar sana langit sudah mulai gelap. Sebentar lagi mereka akan menghidupkan lampu.

"Coba kau periksa. Isinya masih seberat yang tadi apa tidak?" Bang Buyung mengulurkan tas sekolah yang padat itu.

"Tidak ada hal yang berharga di dalamnya, Bang." Chandra meringis saat menggapai tas yang langsung terjatuh ketika dilepaskan Bang Buyung, walau telah tergenggam olehnya.

"Kau masih sangat lemah, Chan." Bang Buyung melirik label nama yang ada di dada kiri Chandra. "Saya melihat namamu di sana." Telunjuk lurus mengarah ke tempat yang dimaksud.

"Kau istirahat saja dulu di sini. Saya sudah meminta Ujang untuk menjemput adik saya yang kebetulan istrinya. Dia adalah bidan desa, bisa mengobati kamu, supaya luka-lukanya cepat sembuh."

Chandra pasrah. Ia kembali merebahkan tubuh, raganya sedang tidak baik-baik saja.

***

Suara perempuan terdengar memasuki area surau. Tidak mengapa karena ada dua mahram yang menjaganya. Tidak akan menjadi fitnah apabila ia mengobati seorang pemuda yang terbaring tak berdaya di sisi surau.

Upik melihat dengan seksama wajah yang tampak familiar olehnya.

"Dia kan Chandra, salah satu anak STM di dekat puskesmas, Bang." Upik menatap kakaknya—Bang Buyung—lekat.

Mendengar namanya disebut, Chandra membuka mata. Ia sama sekali tidak kenal dengan Upik, tetapi bidan desa itu terkesan sangat tahu dirinya.

"Ada apa denganmu, Chan?" tanya Upik. Tangannya sigap mengeluarkan peralatan yang dibutuhkan untuk mengobati luka-luka Chandra, yang tadi hanya sempat dibersihkan alakadarnya saja oleh Bang Buyung.

Tak lupa Upik mengenakan masker dan sarung tangan medis. Perempuan ini langsung serius menekan-nekan tisu yang telah diberinya alkohol pada bagian yang memar dan terluka, di wajah Chandra.

Chandra masih bergeming. Ia sedang tak ingin berkomunikasi dengan siapa pun. Dipejamnya mata agar tak diajak berbicara terus sembari menahan perih yang terasa.

"Sudahlah, Pik. Jangan ditanya dulu." Uda Ujang duduk bersandar tak jauh di bagian kepala Chandra.

Selesai membersihkan luka pemuda ini, waktu Magrib pun tiba. Bang Buyung segera maju dan memperdengarkan suara merdunya pada semua. Langkah-langkah kaki para jamaah mulai menghampiri surau.

Upik juga telah mengambil tempat di bagian shaf wanita setelah berwudhu. Uda Ujang sempat membantu Chandra membawanya ke dalam ruangan marbot surau. Ia dibiarkan beristirahat di dalam sana, sebab untuk ikut berjamaah, raga pemuda itu terlihat masih belum kuat. Chandra terlelap kembali. Harapan untuk mati tadi sia-sia belaka. Para musuhnya sama sekali tidak menghabisi nyawanya, malah meninggalkan sakit yang terasa membebani diri.

Pemuda itu terbangun ketika mendengar suara anak-anak yang tengah berlatih ilmu bela diri di halaman surau. Ada dorongan di dalam diri untuk keluar sekedar melihat keramaian di sana. Tetapi, gejolak hebat di dalam perut membuatnya semakin tersiksa. Belum reda nyeri-nyeri di sekujur tubuh, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit lainnya. Perutnya sangat lapar.

"Kau lapar?" Suara Uda Ujang terdengar mendekat ketika Chandra memutuskan untuk merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur. Ia terkejut dan mengangkat sedikit kepala.

"Ini, tadi Buyung membeli nasi bungkus, buat kau juga. Silakan makan. Setelah itu, minum obat ini." Tak hanya bungkusan nasi yang diberikan, sejenis obat yang masih terkungkung di dalam plastik obat berwarna biru juga tertulur ke arah pemuda itu.

Matanya menghangat. Perlakuan dari orang asing seperti mereka membuat dadanya sesak. Kenapa di saat ia ingin mati dan merasa tak berguna? Justru dipertemukan dengan orang-orang ini.

"Sa—saya tidak tahu harus bilang apa kepada Uda berdua." Chandra berusaha bangkit sekuat tenaga demi menggapai pemberian itu.

"Sudahlah. Sebagai sesama manusia kita harus saling tolong-menolong. Terlebih kita satu kampung." Ujang mendekat dan menepuk pelan bahu Chandra. "Makanlah dan minum obat itu."

Chandra mengangguk. "Terima kasih banyak, Uda."

"Hem. Kalau kau butuh apa-apa, saya ada di luar."

Chandra mengangguk pelan. Ia menatap jam yang menempel di dinding. Sudah pukul sembilan malam. Ia telah melewatkan waktu Isya tanpa terbangun sedikit pun.

***

ICHAN (Inyiak dan Chandra) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang