𓆩CHAPTER 03𓆪

22 2 0
                                    

After You

✎_____________________________________________
"Kalian denger nggak si guys kalau ternyata Reihan udah putus dari Anara?"

Gadis dengan rambut keriting modisnya yang sepanjang punggung itu menyeringai, terlihat sekali dia sengaja membesarkan suaranya agar Anara mendengar gunjingan busuk dia dan teman-temannya.

Cewek sinting.

"Dan gue denger denger, Reihan yang mutusin dia. Udah gue duga, mana mungkin Reihan betah sama cewek kayak dia." Talita melirik pada Anara, tersenyum miring.

"Heh tali pocong, asal lo tau ya, Anara yang mutusin Reihan, bukan sebaliknya!" Riesa angkat suara.

Mendengar itu, Talita tertawa terbahak-bahak, dia memandang Anara dengan tatapan meremehkan.

"Mana mungkin, Reihan yang mutusin Anara, sifat dia aja kayak tai begitu, siapa yang sudi?"

"Najis. Sok tahu." Anara memutar bola matanya kesal, dia mengacungkan jari tengahnya pada Talita.

Talita menggegat lidahnya, dia berdiri dari kursinya, dia berjalan ke bangku Anara dan mendorong Anara dengan marah.

"Lo berani sama gue!?"

Anara yang tak terima langsung ikut berdiri dari kursinya, matanya melotot tajam pada Talita.

"Sejak kapan gue takut?" Anara tersenyum miring.

Plakk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anara, gadis itu terperanjat saat merasakan pukulan keras di pipinya, panas. Dia mengepalkan tangannya saat merasakan darahnya mulai mendidih, dengan marah, gadis itu melayangkan pukulan balasan tepat di wajah Talita.

Perkelahian diantara mereka tak terelakkan, Talita murka, dia segera menarik rambut gadis itu dengan kasar, sedangkan Riesa dan Lia berkelahi dengan ketiga teman Talita.

Beberapa teman sekelas mereka buru-buru mencoba memisahkan mereka agar tidak berkelahi lebih jauh.

"Lo beraninya jambak rambut ya! Kalau berani ayo tonjok tonjokan bangs*t!" Anara tak mau kalah, dia balas menarik rambut Talita.

"Siapa takut anj-"

Talita melayangkan tangannya, tapi gerakannya terhenti Ketika terdengar suara ketukan keras di pintu kelas, mereka semua menoleh ke pintu kelas. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di daun pintu itu tersenyum canggung pada mereka.

"Sorry. Anaranya ada nggak?"

✎______________

"Sorry nunggu lama. Tadi ngantri, ini es batunya, sini gue bantu kompres." Reihan mengeluarkan sekantung es batu dari plastik, dia segera duduk disebelah gadis itu.

Laki-laki itu tersenyum tipis saat Anara mengangguk, dia mengulurkan tangannya, dengan perlahan dan hati-hati mengompres pipi lebam gadis itu dengan es batu.

"Sakit?" Reihan bertanya saat tangannya masih sibuk menekan dengan lembut kantong es batu itu ke bagian lebam pipi Anara.

"Pake nanya."

Reihan terkekeh pelan mendengar jawaban Anara, dia menjitak kening gadis itu pelan.

"Agh! Lo apaan si! Sakit!" Anara melotot, dia mengusap keningnya pelan.

"Habisnya, lo ngapain coba berantem kayak tadi?"

"Dia yang mulai, gue cuma membela diri." Anara merengut, dia mengerucutkan bibirnya, kesal.

Reihan menghela napas, lalu tersenyum tipis "Bahaya, Ra. Syukur kalau cuma masuk BK, kalau masuk UGD gimana?"

Untung saja laki-laki itu tadi melewati kelas Anara dan menyaksikan perkelahian mereka sebelum guru datang, jadi dia bisa membawa kabur Anara dan mengamankan situasi dikelas tersebut.

"Lo nggak ngaca? Lo pikir balap liar lo nggak bikin masuk UGD?" Sarkas Anara yang membuat Reihan langsung kicep, dia menyahut kantong es batu itu dari tangan Reihan.

"Gue cowok. Lo cewek."

"Terus? Masalahnya?"

"Ya beda, Ra."

"Jadi maksud lo, cewek lemah gitu? Cuma cowok doang yang boleh seenaknya?"

"Lo bisa nggak, stop berasumsi negatif sama omongan gue!?" Laki-laki itu menaikkan nada suaranya, dia meletakkan penekanan di setiap kata-katanya.

Dia mencengkeram kedua pundak Anara, memutar tubuh gadis itu agar menghadap padanya.

"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa, Ra."

✎______________

"BERANI PULANG KAMU!?"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reihan, laki-laki tidak kaget lagi karena dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia membawa kabur motor Abangnya dan tidak pulang ke rumah selama dua hari ini, itu juga sebenarnya tidak akan dia lakukan kalau motornya tidak disita oleh Papinya yang sok berkuasa itu.

"Reihan capek. Mau tidur. "

Reihan berusaha mengabaikan Andrew, bukan karena dia benar-benar lelah atau mengantuk, tapi debat dengan Papinya itu tidak akan berujung baik. Dia jamin itu.

Dia baru saja akan melangkahkan kakinya ke tangga, tapi Andrew lebih cepat, dia melemparkan vas tepat ke anak tangga pertama. Reihan sebenarnya sama sekali tidak masalah kalau vas-nya mengenai kepalanya, tapi ternyata Papinya itu masih ingin dia hidup walau ujung-ujungnya hanya untuk bahan pelampiasan emosinya.

"REIHAN! Kamu udah bawa motor Reinald dan nggak pulang selama dua hari, OTAK KAMU DIMANA HAH!? " Andrew berteriak murka.

Reihan tidak menjawab walaupun sebenarnya dalam batinnya, laki-laki itu ingin sekali mengumpat dan mengeluarkan seluruh emosinya, tapi dia sudah terlalu lelah.

"Pi udah pi jangan terlalu sering marahin Reihan.. "

Riana berlari menghampiri Andrew, dia dengan lembut memeluk lengan Andrew yang sedang emosi, wanita itu mengusap lengan suaminya dengan lembut, menenangkan supaya Andrew tidak memarahi Reihan lebih jauh lagi.

Dia sudah menduga suara pecahan vas yang memekakkan telinga itu membuat Mami dan Abangnya terbangun. Reihan memutar bola matanya malas saat melihat Reinald hanya berdiri diam seperti orang bodoh- padahal Reinald adalah penyebab utama Andrew memarahi dirinya sekarang. Demi apapun sekarang rasanya Reihan ingin sekali menonjok Abangnya itu.

Terkadang Reihan iri dengan Reinald, Abangnya itu sama sekali tidak pernah dimarahi Andrew, selalu diperhatikan Andrew, jalan hidup Reinald bagaikan sudah terpampang jelas didepan mata. Kenapa Andrew tak pernah memperlakukan Reihan seperti dia memperlakukan Reinald? Pertanyaan itu terus-terusan terlintas di benak laki-laki itu, tapi sampai sekarang dia tak pernah mendapatkan jawabannya.

"Ini bukan urusan kamu!"

Andrew menepis tangan Riana dengan kasar, dia berjalan dengan marah mendekati Putranya, Pria itu meninju wajah Reihan sekali lagi, membuat punggung laki-laki itu membentur tembok dengan keras.

"Sekali lagi kamu melawan saya, saya tidak akan segan-segan membereskan kamu! Dasar anak tak tahu diuntung!"

Andrew melangkahkan kakinya meninggalkan Reihan. Riana segera memeluk Putranya itu, dia mengusap pipi merah Reihan yang mulai membiru, air matanya tumpah. Reihan hanya bisa berdiri diam, nyeri di pipinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan suara tangisan Riana.

Tangannya yang mengepal bergetar menahan emosi, apalagi saat melihat Reinald berbalik badan mengikuti Andrew, dia merasa dikhianati. Seperti dugaan, debat dengan Andrew tidak akan pernah berakhir baik, dan pada akhirnya, Riana yang tidak pernah membantah apa yang dikatakan Andrew, hanya bisa menangis dan Reihan benci melihat Maminya menangis.

"Reihan, maafin Papi kamu ya? Jangan pernah dendam sama Papi, dia sebenarnya sayang banget sama kamu kok."

Riana membelai wajah Reihan, laki-laki itu tersenyum miris menanggapi ucapan Riana.

"Sayang banget ya, Mi. Sampai anaknya dipukulin, mungkin besok-besok Reihan dibunuh kali ya sama dia?" Reihan tertawa getir.

✎_____________________________________________

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Udah apa?

Udahan ya gamonnya
.

Btw

Wdyt?

After YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang