Penyelamat - 2

1.3K 143 6
                                    

Mulmed : Jackson James Wood

========================================================

Alunan musik dari tape yang ada di dashboard mobil mengisi keheningan. Aku duduk diam di jok sambil menatap penuh tanya sosok yang duduk di balik kemudi. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalaku, tentang dia yang tiba-tiba muncul dan hubungannya dengan Jason. Aku merasa Jason dan dia sudah saling mengenal, tapi bukan saling kenal dalam artian teman, melainkan sebaliknya. Di lihat dari cara mereka saling menatap saja sudah terlihat betapa besarnya aura permusuhan antara keduanya.

"Stef, bisakah kau berhenti memelototiku?" dari nada suaranya, ia terdengar jengah.

Aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya ketika mulai mengatakan hal yang sejak tadi sudah ingin aku tanyakan. "Kenapa kau tadi bisa ada di sana?" tanyaku.

"Ayahmu menyuruhku untuk memastikan kondisimu setelah mendapat telpon dari pihak sekolah. Mereka bilang kau sakit, tapi yang kutemukan sepertinya tidak sama dengan yang mereka katakan."

Aku mengalihkan pandangan ke depan. Mobil-mobil di depan kami berhenti melaju ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Sekarang kurasakan tatapan matanya menghujamiku.

"Ada hubungan apa antara kau dan dia?"

"Aku tidak punya hubungan apapun dengan Jason," aku mengangkat bahu. "kau sendiri ada hubungan apa dengannya?" tanyaku sebelum dia bertanya lebih banyak tentang aku dan Jason.

"Aku juga tidak punya hubungan apapun dengannya."

Mobil kembali melaju saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Deru mesin mobil dan musik yang masih mengalun dari tape tua mengisi keheningan.

Sepertinya dia sama denganku, sama-sama tidak mau membahas tentang Jason. Tapi entah kenapa, aku merasa sangat penasaran dengan hubungannya dan Jason. Dia seolah sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku, apapun itu, aku rasa bukanlah hal yang baik.

Aku masih ingat jelas kejadian di belakang gedung olahraga tadi. Begitu menyadari kehadirannya, Jason melepaskanku begitu saja. Bukannya aku tidak ingin dilepaskan -Oh, demi tuhan! Kau tidak akan tahu betapa bersyukurnya aku bisa lepas dari Jason-, hanya saja Jason terlihat tak berdaya di depannya. Ini seperti lelucon yang tak lucu, seorang Jason Butler tak pernah terlihat lemah di depan siapapun. Tapi kali ini...

"Stef."

"Stefie," senggolan di lenganku mengembalikanku ke dunia nyata. Aku menoleh ke kanan, dia sedang menatapku dengan sebelah alis terangkat. "apa kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.

"Sepertinya aku baik-baik saja," aku menghela napas. "Jack, kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Apa kau juga akan jujur padaku?"

"Maksudmu?"

"Ayolah Jack, kau tahu apa yang kumaksud." aku memutar bola mataku.

Jack menghempaskan punggungnya ke sandaran jok setelah memarkir mobil di halaman rumahku. "Baiklah," Jack menyerah. "tapi kau dulu. Bagaimana?"

Aku mendengus sebelum menyetujui. "Oke. Berjanjilah padaku kau juga akan menceritakan hubunganmu dengan Jason," setelah Jack mengangguk. Aku mulai menceritakan semuanya padanya, mulai dari insiden di parkiran sampai kejadian di gedung olahraga tadi. Lima belas menit berlalu, aku mengakhiri ceritaku lalu menatap Jack, menunggu penjelasannya.

"Sepertinya kau dalam masalah besar, Stef," komentar Jack.

"Jack, aku sudah tahu itu. Asal Jason tidak tahu kalau akulah pemilik sepatu boots itu, aku akan baik-baik saja," kataku. "sekarang, daripada mengomentari nasibku yang malang ini. Bagaimana kalau kau mulai menceritakan padaku hubunganmu dengan Jason? Aku tahu, kau dan Jason saling kenal. Apa kau punya masalah dengannya?"

"Apa terlihat sangat jelas?"

Aku mengangkat bahu.

"Kami dulu pernah berteman," Jack tersenyum samar.

Aku menegakan punggungku. Sedikit memutar tubuhku ke samping, aku menatap tak percaya Jack. "Kau pasti bercanda?" aku menggumam tak kentara.

Jack kembali melanjutkan ceritanya. "Tapi karena suatu hal, kami tidak berteman lagi," sinar di mata Jack yang selalu terlihat meredup. Dia terlihat sedih ketika membicarakan Jason. "dia sekarang membenciku, aku sudah berusaha memperbaiki hubungan persahabatan kami. Dan pada akhirnya, aku harus menerima kalau semua usahaku sia-sia ketika secara terang-terangan dia memutuskan untuk membenciku selamanya." Jack mengakhiri ceritanya dengan satu hembusan napas kasar.

"Dan kau juga memutuskan untuk membencinya?" sebenarnya aku sedikit tak enak untuk melanjutkan obrolan ini. Jack terlihat murung ketika membicarakan ini, dia tidak seperti Jack yang kukenal. Karena Jack yang kukenal adalah lelaki paling hangat, ceria dan penuh semangat di Frankenmuth.

Jack hanya tersenyum tipis, dia tidak menjawab pertanyaanku. "Masuklah, aku harus segera kembali ke bengkel. Aku akan mengatakan pada Ayahmu kalau kau baik-baik saja." Aku hanya mengangguk, mengiyakan perkataan Jack.

"Terima kasih, Jack."

"Sama-sama."

Begitu keluar dari mobil, Jack langsung menyalakan mesin dan membawa mobil yang tadi kami naiki keluar halaman rumahku. Mataku terus mengikuti kemana arah mobil Jeep yang kukenali milik salah satu pelanggan bengkel Rob melaju hingga menghilang dipersimpangan jalan.

Aku memutar tubuhku, berjalan malas memasuki rumah.

Baru saja kuinjakan kaki di anak tangga pertama, telpon berdering. Aku berdecak, setengah menggerutu kuangkat telpon yang ada di atas meja kecil di sudut ruangan.

"Hallo?"

'Stefie, ini aku.'

Aku menyandarkan tubuhku pada tembok. "Dad, aku baik-baik saja," kataku sebelum Rob bertanya yang macam-macam. Dapat kudengar helaan napasnya, aku yakin dia sekarang sedang memijat pelipisnya -kebiasaan Rob ketika mengkhawatirkanku. Memang terkadang Rob terlalu berlebihan, namun beginilah caranya menunjukan kasih sayangnya sebagai seorang ayah kepadaku.

'Apa Jack masih bersamamu?'

"Dia langsung pergi setelah mengantarku sampai rumah."

'Stefie.'

"Hm."

'Aku akan pulang cepat.'

"Pulang cepat? Bagaimana dengan acara makan malam di rumah keluarga Wood? Dad, aku baik-baik saja. Kau tak perlu cemas bahkan sampai membatalkan acaramu."

'Tapi, Stef-'

"Tidak ada tapi-tapian. Aku baik-baik saja, dan kau tak perlu mencemaskanku," aku menjeda sebelum memutuskan untuk menutup telpon. "semoga harimu menyenangkan, aku mencintaimu."

Setelah menutup telpon, aku memutuskan untuk segera naik ke lantai dua, ke kamarku. Suara derap langkahku terdengar begitu jelas, membuat kesunyian di rumah ini semakin kentara. Rumah yang kami tinggali ini memang terlalu besar untuk dua orang. Aku tidak tahu kenapa Rob memilih membeli rumah seperti ini. Jika aku ada di posisi Rob, aku pasti akan memilih rumah yang minimalis, karena menurutku itu akan kauh lebih simple. Toh kami hanya tinggal berdua. Tapi Rob bukanlah aku, dia punya pemikiran sendiri.

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Mataku menatap kosong langit-langit kamar. Banyak sekali kejutan-kejutan di hari ini. Aku membuang napas yang terasa menyesakan dada. Sendirian seperti ini membuatku teringat pada Mom, biasanya dulu ketika aku berada dalam masalah, aku selalu menceritakannya padanya, kemudia dia akan memberiku saran. Aku tersenyum miris, tidak seharusnya aku memikirkan wanita itu lagi. Jika Rob tahu aku masih memikirkannya, pasti dia sedih.

Kupejamkan mata, mencoba merilekskan otot-ototku yang kaku kemudian mencoba bangun. Aku menggeliat, sedikit mengangkat tubuhku, salah satu usahaku untuk bangun tapi gagal. Rasanya tubuhku terlalu lelah untuk sekedar beranjak dari ranjangku yang empuk dan pergi mandi. Aku menyerah, tidak lagi berniat untuk bangun dan mandi. Kubiarkan rasa kantuk menyerangku, rasa kantuk yang membawaku jatuh tertidur dan masuk ke alam mimpi.

Cinderella And Her BootsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang