Mobil yang aku kendarai memang sudah berhenti di pekarangan rumah, tapi itu tidak menghentikan getaran pada kedua telapak tanganku yang memegangi stir, jantungku juga masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Kelebatan ingatan tentang kejadian memalukan itu masih saja berputar-putar di dalam kepalaku. Seolah mengejekku, ingatan itu enggan menghilang.
Kubenturkan kepalaku pada stir, berharap aku bisa amnesia tapi yang kudapat malah memar di dahi. Aku meringis memegangi memar yang baru saja kubuat.
"Aku harap tidak bertemu dengan Jason lagi seumur hidupku."
Aku mendesah panjang, menenggelamkan wajahku pada lipatan lengan di atas stir mobil. Setelah mengatakan hal memalukan itu aku berhasil merampas paper bag-ku dan kabur dari Jason. Entah ini harus disebut keberuntungan atau justru malapetaka. Aku memang bisa lolos dari Jason, tapi sekarang... Membayangkan diriku bertemu Jason... bertatap muka dengannya... aku tidak akan sanggup!
Astaga, demi Tuhan! Ini benar-benar memalukan!
Kembali kujedukan kepalaku pada stir sambil menangis dalam diam. Menangisi kebodohanku.
"Apa menyakiti diri sendiri sekarang menjadi hobi barumu?"
Aku nyaris saja berteriak dan melompat dari tempatku duduk ketika pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar. Baru nyaris jika saja yang kutemukan bukan wajah menyebalkan sepupuku yang super cerewet.
"Kau!" aku menarik pipinya dengan gemas. "bagaimana kau bisa ada disini?!" oke, aku tadi memang tidak jadi berteriak. Namun sekarang? Lihat, aku berteriak padanya.
Dia menepis tanganku dengan kasar sebelum menarikku ke dalam pelukannya. "Aku merindukanmu, sangat merindukanmu," katanya tanpa melepaskanku dari pelukannya. "asal kau tahu, aku sudah menunggumu dari tadi."
Dia melepaskanku dan aku buru-buru meraup udara sebanyak mungkin dan melemparkan tatapan jengkel padanya.
"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk datang mengunjungiku apalagi sampai menungguku," balasku sengit. Ekspresi wajahnya langsung berubah muram, aku mendengus keras melihat ekspresinya itu. Ekspresi yang kuyakini hanya dibuat-buat.
"Kau kejam sekali."
Aku membuat gerakan seperti mau muntah mendengar nada suaranya yang dibuat-buat. Tak butuh waktu lama hingga sebuah pukulan -tidak terlalu kuat sebenarnya, tapi cukup untuk membuatku mengaduh sakit- mengenai kepalaku.
"Hei, kenapa kau memukul kepalaku?!"
"Karena kau menyebalkan."
"Kau lebih menyebalkan!"
"Anak-anak," suara Rob menginterupsi perdebatan kami. Aku melemparkan pandangan ke teras, Rob sedang berdiri di sana sambil berkacak pinggang. "bisakah kalian berhenti berdebat dan membantuku menyiapkan makan malam?"
Aku menghela napas, membuka pintu mobil dan keluar untuk menghampiri Rob.
Baru kusadari ada mobil lain -selain pick up Rob- yang terparkir di belakang mobilku. Seingatku tadi tidak ada mobil itu di sana.
"Terpesona pada mobilku, Fanny?"
Aku mendengus, tanpa menjawab pertanyaan menyebalkan itu aku menatap Rob.
"Dad, bisakah kau jelaskan padaku kenapa dia bisa ada di sini?"
"Kenapa kau tidak bertanya pada orangnya langsung?"
Rob memutar tubuhnya dan berjalan mendahuluiku memasuki rumah. Aku melirik jengkel ke arah mahluk menyebalkan yang berjalan santai sambil bersiul dengan kedua lengan dilipat di belakang kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella And Her Boots
عاطفيةApa yang kau ketahui tentang dongeng Cinderella? Apakah kisah tentang seorang gadis yang hidup menderita karena ibu dan saudara tirinya? Aku tahu tidak hanya itu saja. Tapi juga tentang seorang peri yang sangat murah hati -karena mau repot-r...