Saudara Kembar

118 110 52
                                    

"Pagi kembaran."

Gue yang sedang duduk di bangku sambil meletakkan kepala di atas kedua lipatan tangan, mengangkat kepala tatkala mendengar ucapan itu.

Menatap seorang lelaki yang juga menatap gue dengan senyum lebar, tapi terlihat sangat menyebalkan di mata gue.

"Gue kembaran sama lo? Punya cermin? Ngaca gih biar sadar diri. Gue secantik ini dan lo?" tanya gue dengan nada sinis sambil menilai penampilan lelaki itu.

"Iya, dua huruf nama depan kita sama kan? Alkaf dan Altina trus teman kelas juga sering bilang kita kembar karena nama panggilan kita juga sama," Jelasnya masih dengan senyuman, bahkan ia tidak tersinggung dengan ucapan gue barusan.

Alkaf Faidil Tafardhal, sahabat cowok gue yang paling menyebalkan. Tapi, beruntung dia ganteng. Setiap gue mencibir, Alkaf akan selalu bilang 'orang ganteng mah bebas'. Benar-benar menyebalkan bukan? Gue baru nemu orang yang senarsis itu dalam kehidupan gue.

"Gue ogah punya kembaran kayak lo!"

"Jahat banget sih, sampe kembaran sendiri enggak diakuin." Alkaf memasang wajah sedih membuat gue ingin sekali memukulnya.

Mengenai nama panggilan gua dan Alkaf yang sama, itu memang benar. Kita berdua dipanggil Al, oleh semua teman kelas gue dan beberapa teman kelas lain yang akrab dengan kami berdua. Walaupun gue udah ngasi tau ke mereka buat manggil gue Altina atau Gita, tapi mereka enggak mau. Panggilan itu terkadang membuat gue dan Alkaf sebal.

"Al, Pak Syam nyariin lo," ucap Deli teman kelas gue ketika memasuki kelas.

"Dimana?" tanya gue bersamaan dengan Alkaf.

"Sorry, maksud gue Alkaf." Deli menatap gue sambil meringis.

Gue memutar bola mata malas. Nah kan, baru aja gue bilang, panggilan itu sungguh menyebalkan seperti tingkah Alkaf.

Deli lalu memberitahu keberadaan pak Syam pada Alkaf dan tanpa membuang waktu Alkaf segera ke sana.

"Lain kali kalau lo mau manggil salah satu dari kita, lo langsung nyebut nama lengkap biar kita berdua tau yang dipanggil siapa," tukas gue dengan nada sebal.

"Jadi gue harus panggil lo Altina Regita Stasyah?" Deli menatap gue dengan polosnya.

Gue melotot. "Maksud gue bukan begitu Deli!"

Ini salah gue atau dia yang salah paham, sih?

"Trus gimana?" tanya Deli.

"Panggil gue pake nama depan gue, Altina. Jangan panggil Al, terlebih kalau gue lagi deket sama Alkaf." Gue berusaha sabar menjelaskannya, terlebih dengan seorang Deli yang terkenal dengan sikap kurang tanggap atau kata lainnya lemot.

"Tapi, kalau gue manggil Altina tuh ribet. Nah kalau Al kan gampang." Deli lalu tersenyum setelah mengucapkan itu.

Gue mendengus sebal. Begitulah tanggapan teman kelas gue, saat nyuruh mereka manggil gue Altina.

~~***~~~***~~~***~~~***~~~***~~~***~~~***~~~***~~

"Dhal, ke kantin yuk," ajak gue pada Alkaf.

"Bentar, Syah," balas Alkaf sedang fokus bermain game, entah apa namanya.

Gue lupa bilang kalau gue manggil Alkaf itu Ardhal. Sedangkan Alkaf manggil gue Stasyah. Mengenai nama itu sebenarnya atas usul dari Alkaf sendiri, katanya biar beda dari yang lain. Gue sih nurut aja, selagi nggak merugikan.

"Buruan gue laper, mumpung kita lagi nggak belajar," rengek gue.

"Dikit la----" Tatapan Ardhal pada hp-nya tak lagi bersemangat. "Gara-gara lo, nih! Gue jadi kalah kan." Ardhal menatap sebal kearah gue.

Emang gue ngapain?

"Yuk, kantin." Ardhal kini berdiri dari kursinya dan berjalan mendahului gue.

Itu orang kenapa sih? Gue mengejar Ardhal yang kini menjauh dari pandangan gue. Kayaknya dua langkah kaki gue sebanding satu langkah kaki dia deh. Jalanya cepet banget lagi.

"Jalannya jangan cepet banget dong, Dhal. Capek tau ngikutin langkah, lo." Gue udah mensejajarkan langkah dengan Ardhal.

"Makanya kaki lo panjangin." Ardhal menatap gue dengan tatapan jailnya.

"Dih, mentang-mentang kakinya panjang."

"Orang ganteng mah bebas."

Gue enggak nanggepin perkatannya Ardhal karena terlanjur kesal.

Hening menyelimuti langkah kami berdua menuju kantin. Saat tiba di kantin pun, yang biasanya ramai diisi oleh para siswa, kini hanya ada gue dan Ardhal sebagai pembeli. Maklum, semuanya masih belajar. Dan beruntung kelas gue lagi nggak belajar jadi gue pas istirahat nanti nggak saling berebutan buat mesen makanan.

"Mau pesen, apa?" tanya Ardhal sambil menatap gue.

"Nasi goreng sama es teh." Ardhal mengangguk kemudian berlalu.

Jika kalian berpikir Ardhal itu baik karena berinsiatif untuk memesankan gue makanan, maka kalian salah besar. Karena sebenarnya kami berdua membuat kesepakatan yang sebenarnya sangat merugikan gue tapi, karena gue baik akhirnya gue memilih mengalah. Jadi, Ardhal yang akan memesan makanan jika kantin sedang sepi, tapi kalau kantin rame, itu giliran gue mesan makanan. Ardhal tak suka berdesak-desakan, gue juga gitu sih. Tapi, mau gimana lagi terlebih waktu itu, sebelum kesempatan ini dibuat, gue pernah nyuruh Ardhal mesan makanan, dia lama banget dan lebih parahnya lagi dia nggak bawa makanan malah marah-marah karena ada siswa yang langsung ngambil pesanannya. Seharian itu, Ardhal terus mendumel sambil mengumpati orang itu.

Tak lama kemudian, Ardhal datang membawa pesanan gue disusul dengan ibu kantin yang membantu membawanya. Bahkan ibu kantin cukup akrab dengan kami berdua.

"Lo kemarin izin kemana, sih? Gue chat, tapi lo nggak bales?" tanya gue disela-sela suapan.

"Rumah nenek gue, setiap disana gue emang nggak pernah buka hp." Ardhal terlihat sangat menikmati semangkuk baksonya, buktinya dia tidak menatap ke arah gue sambil menjawab pertanyaan itu. Padahal kan yang nanya itu gue, bukan baksonya.

"Nenek lo sakit parah, sampai lo buru-buru ke rumahnya?" Kemarin, Ardhal sudah tiba di sekolah, tapi karena mendapat telpon dari seseorang, dia langsung meminta izin untuk pulang.

"Nenek gue masih sehat. Dia rindu makanya nyuruh gue ke rumahnya." Kayaknya bakso itu emang lebih menarik ketimbang gue.

"Cuma karena itu?" tanya gue memastikan.

"Iya."

Gue membelalak mata, jadi cuma karena neneknya nelpon kalau dia rindu, trus si Ardhal langsung pergi? Sungguh Ardhal cucu yang paling berbakti.

"Nenek gue kan masih hidup jadi selagi gue mampu, enggak ada salahnya nurutin kemauannya. Kalau udah mati kan enggak mungkin lagi gue bisa ketemu sama dia."

Bener juga sih. Gue baru dapat point plus dari Ardhal. Mengingat tentang nenek, gue mendadak sedih. Pasalnya nenek yang gue punya satu-satunya, satu tahun yang lalu sudah meninggal.

"Oiya, gue punya oleh-oleh." Kali ini Ardhal baru menatap gue, mungkin karena lagi minum juga.

"Apa?"

"Rahasia. Nanti habis pulang sekolah gue kasih."

"Awas aja kalau lo lupa."

"Enggak akan."

Ardhal bakal ngasi gue oleh-oleh apa ya? Baju? Tas? Sepatu? Atau yang lain? Ck ngapain gue mikirin segala kan nanti juga tau sendiri.

~~~~~***~~~~~

Wuih, Stasyah bakal dapat oleh-oleh nih dari Ardhal. Kira-kira apa, ya?

AgistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang