Papa

45 45 14
                                    

Malam ini, angin berhembus sedikit kencang. Hal itu tidak lantas membuat gue memutuskan untuk masuk ke kamar. Saat ini gue lagi duduk di kursi yang ada di balkon kamar, dan sesekali mengeratkan lilitan selimut yang membungkus tubuh gue.

Gue mendongakkan kepala menatap banyaknya bintang di langit malam ini dan mencari dimana keberadaan bintang yang paling terang. Kebiasaan itu sering gue lakuin kalau lagi nggak ada kerjaan.

Seperti sekarang ini, gue bener-bener bosen. Gue nggak tau harus ngapain buat ngusir rasa bosan itu.

Mau ngerjain pr, tapi takut di kerjain balik. Eh enggak deh, hari ini enggak ada pr yang mau di kerjain. Kok gue tumben banget mau ngerjain pr ya? Giliran ada pr gue malas ngerjain trus kalau pr-nya nggak ada malah mau ngerjain.

Aneh banget kan, gue? Tapi, nggak papa, yang penting gue rajin menabung. Apa hubungannya coba? Udah saling hubungin aja siapa tau mereka cocok, tapi kalau enggak yaudah jangan di paksain entar endingnya enggak enak. Lah gue lagi bahas apaan sih?

Gara-gara bosan, gue jadi suka bermonolog kan. Tapi, gue serius deh, gue bosen banget dan benar-benar mati gaya.

Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran gue beberapa hari ini. Seseorang yang kehadirannya sangat gue nantikan beberapa hari ini.

Papa.

Gue kangen sama papa.

Gue juga merasa ada yang aneh dengan tingkah laku papa, seperti ada yang dia sembunyiin. Mulai dari dia yang sering keluar kota, lembur sampai tengah malam, berangkat kerja terlalu pagi dan hal itu membuat dia jarang ikut sarapan karena alasan takut terlambat. Padahal dulu, papa bahkan sering pergi jam 8 pagi, tapi sekarang dia lebih dulu berangkat daripada gue.

Mungkin hal itu terdengar wajar bagi kebanyakan orang, tapi enggak bagi gue.

Kehadiran papa yang di rumah pun, seperti hanya raga nya saja yang ada sedangkan jiwa nya sedang berkelana entah kemana. Saat pulang ke rumah, gue sering melihat papa sedang melamun.

Alasannya karena pekerjaan.

Gue sebenarnya enggak harus mikirin semua itu karena kata mama, pekerjaan papa ada yang bermasalah jadi dia super sibuk dari biasanya.

Tapi, terkadang pemikiran itu datang tiba-tiba.

Sesibuk-sibuknya papa yang gue kenal selama ini, dia enggak pernah bawa masalah pekerjaan ke rumah. Papa akan selalu mengajak gue mengobrol, entah menanyakan kegiatan apa aja yang gue lakuin di sekolah atau menceritakan suatu kejadian lucu yang dialaminya.

Dan akhir-akhir ini, untuk sekedar menyapa saja papa tidak melakukannya. Dan saat gue yang nyapa, papa hanya membalasnya dengan senyuman tanpa ada sepatah-kata yang keluar dari mulutnya.

Sebesar apakah masalah papa alami sampai untuk membalas sapaan saja dia tidak bisa.

Puas menatap bintang di langit, gue memutuskan untuk masuk ke dalam takutnya gue bakal masuk angin kalau kelamaan di luar.

Tanpa melepas lilitan selimut itu, gue bangkit dan berjalan pelan menuju ranjang setelah menutup pintu balkon.

"Gita."

Gue mengurungkan niat untuk berbaring saat mendengar teriakan mama.

"Iya, Ma." Dengan sangat terpaksa, gue melepas kan selimut itu.

Gue membuka pintu kamar dan mencari keberadaan mama.

"Kenapa, Ma?" tanya gue.

Gue menghampiri mama yang ada di dapur.

"Ayo, makan. Ini ada makan kesukaan kamu." Mama membawa sepiring ikan bakar ke atas meja.

Gue mengekori mama dari belakang dan saat mama duduk di kursi, gue pun ikut duduk di kursi yang ada di samping mama.

"Wah, ini Mama yang masak?"

"Iya dong, masa pak Haeril."

Gue terkekeh mendengar ucapan mama.

"Siapa tau Mama beli yang langsung jadi." Gue masih mencoba menggoda mama.

"Enggak lah. Mending Mama sendiri yang bikin. Rasanya enak dan sangat pas di lidah kamu."

Gue akuin kalo masakan mama memang sangat enak .

"Iya deh, masakan Mama emang paling the best." Gue mengacungkan kedua jempol tangan gue.

"Udah-udah, ayok kita makan, Mama udah laper."

"Mama aja yang makan soalnya Gita udah Kenyang. Tadi, Gita habis makan terang bulan sama martabak yang ada di kulkas."

"Kamu habisin?"

"Iya, Ma." Gue mengangguk.

Kok liat mama makan jadi pengen juga.

Gue beranjak dari kursi untuk mengambil piring.

"Kamu ngapain ngambil piring? Tadi katanya udah kenyang, masa mau makan lagi?"

Gue menyengir.

"Ikan bakar buatan Mama, manggil Gita minta di cicipin."

Mama hanya menggelengkan kepala sebagai respon.

"Ikannya dari Papa."

Gue menghentikan gerakan tangan untuk menyuap lalu menatap mama.

"Papa pulang? Trus Papa mana? Gita kok belum pernah liat Papa dari tadi?" tanya gue penasaran.

"Papa pulang waktu maghrib, cuma sebentar. Ngasi ikan dan ganti baju, habis itu Papa pergi lagi. Lagian kamu kan di kamar terus, jadi enggak tau kalau Papa pulang."

Mendengar penjelasan mama, gue jadi nggak nafsu makan. Sedih banget pas tau papa pulang bentar doang dan nggak nyempetin waktu ketemu gue.

Sudah dua hari, gue enggak pernah ketemu papa karena dia keluar kota dan disaat papa pulang ke rumah, gue bahkan belum sempat ngeliat dia.

"Papa kemana lagi?" Gue bertanya dengan suara pelan bahkan gue menaruh kembali ikan bakar yang ada di tangan gue ke atas piring.

Mama yang tadi menatapku, kini mengalihkan pandangannya. Gue menatap mama yang memperlambat kunyahannya.

"Ma!"

Mama terlihat gelagapan sebelum menjawab pertanyaan gue.

"Itu...emm...Papa... Oiya, katanya Papa mau ketemu sama temannya sekaligus makan malam bareng makanya tadi buru-buru."

Gue menatap mama yang terlihat gelisah lalu gue  mengangguk dan saat itulah mama terlihat menghela nafas lega.

"Duh, perut Gita kok tiba-tiba mules ya, Ma. Kayaknya Gita nggak jadi makan deh." Gue memegang perut dengan tangan kiri sambil pura-pura meringis untuk menambah kesan dramatis.

Dosa gue kayaknya makin banyak karena lagi-lagi ngebohongi mama.

Maaf kan anak mu yang cantik ini karena telah membohongi mu.

Lagian, gue nggak mungkin bilang kalau gue udah nggak nafsu makan setelah mendengar kalau ternyata tadi papa pulang tapi dia nggak nemuin gue.

"Yaudah, nanti biar mama yang mencuci piringnya."

"Gita aja, Ma. Kalau perutnya udah enggak sakit m, Gita cuci piringnya.

"Nggak usah, kamu langsung tidur aja. Yang mau di cuci cuma sedikit."

Nah kan, gue semakin merasa bersalah.

"Gita ke atas dulu, ya."

Gue beranjak dari kursi lalu berjalah menaiki tangga untuk sampai ke kamar gue.

Tiba di kamar, gue langsung masuk ke kamar mandi. Eits, bukan karena perut mules, tapi gue mau cuci muka sama gosok gigi sebelum baring di kasur. Karena terkadang, gue jadi malas pergi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur kalau udah di kasur.

~~~~~***~~~~~

Yang kek Gita ada ga sih?

AgistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang