DI URUT NEK ANI

1 0 0
                                    

Mobil yang kami naikki berhenti di depan pintu utama Rumah Sakit. Maria yang lebih dulu turun dari mobil langsung membantuku untuk berdiri keluar dari mobil.

“Maaf ya De Ibu gabisa anter Kamu sampai rumah, karna ada jadwal meeting sore ini.” Ibu itu mengucap maaf kepadaku dari kaca jendela mobil.

“Iya Bu, terima kasih juga sudah mengantar Saya ke Rumah Sakit dan diobati.” Balasku dengan senyum pada Ibu itu. Mobil yang dibawa Ibu itu pergi meninggalkan kami berdua. Aku pun bingung mau pulang naik apa dengan kaki yang pincang ini.

“Le, lu mau pulang naik apa?” Tanya Maria yang masih berada di sampingku.

“Gatau nih, kayanya angkutan umum deh Mar.” Jawabku agak ragu.

“Lu ga coba minta jemput sama orang rumah atau sama siapa gitu yang bisa bantu jemput lu?” Cemas Maria.

“Maunya juga gitu Mar, tapi hp gw lowbet. Kalau nomor Ayah gw si hafal tapi kan Ayah gw lagi kerja di laut, ada sih Paman gw cuma gak apal nomornya.” Pasrahku.

“Bingung juga sih ya, yauda kalau gitu gw anter lu pulang naik angkutan umum deh ya?” Tawarnya.

“Gausa Mar, udah sore gini nanti lu kemaleman pulangnya. Lagian juga gw udah makasi banget lu udah mau nemenin di Rumah Sakit. Pasti lu capek juga kan.” Ceplosku.

“Ya terus gimana dong Le, lu aja jalan pincang gini masa gw tega ninggalin lu pulang sendiri.” Bingungnya.

“Gpp Mar, gw bisa kok. Semoga aja gak ada orang yang nyenggol kaki gw” Ucapku.

“Yauda gw bantu lu nyebrang aja sampe lu naik angkutan ya Le. Tuh di sebrang ada yang lagi ngetem” Maria membantuku menyebrang sampai Aku naik angkutan umum. Luar biasa baiknya Maria, padahal Maria terlahir dari orang yang berada tapi kepribadiannya sangat sederhana dan tidak pernah sombong apalagi memilih-milih teman dari derajat atau keturunan keluarga. Hal ini yang membuatku kagum dengannya.

Aku pulang dengan raut muka yang tidak karuan karena terlihat bengap usai menangis tadi. Sepanjang jalan orang-orang melihatku dan sesekali orang yang kenal denganku menyapaku dan menanyakan pincangnya kakiku. Aku
hanya membalas dengan senyum karena badanku menahan rasa sakit.

Sesampainya di rumah, Mama kaget karena Aku pulang dengan kaki yang pincang terlebih lagi Aku membawa amplop coklat besar yang isi di dalamnya adalah hasil dari rontgen kakiku.

“Kamu kenapa Le?” Mama bertanya sambil menghampiriku dan membantuku jalan.

“Tadi ketabrak mobil di jalan.” Jawabku sambil menahan sakit.

“Kok bisa? Siapa yang udah nabrak Kamu? Kok Kamu malah jalan, yang nabrak kemana?” Tanya Mama yang khawatir dengan keadaanku.

“Tadi lagi nyebrang tapi Lea malah melamun Ma, Ibu yang tadi udah tanggung jawab kok Ma dan udah di rontgen juga hasilnya ga ada apa-apa.” Aku menjelaskan pada Mama.

“Alhamdulillah kalau yang nabrak tanggung jawab. Lagian kenapa bisa melamun gitu? Ditabraknya dimana tadi?” Sambil membuka isi amplop coklat besar.

“Ya gatau tiba-tiba melamun aja Ma, ditabrak depan Mall Indah Ma.” Aku tidak menceritakan pada Mama tentang kejadian sebenarnya.

“Beruntungnya Kamu ga ditabrak mobil dari belakang Le, lain kali hati-hati kalau nyebrang. Yauda sekarang Kamu istirahat” Suruhnya.

Aku berjalan menuju kamarku, aku merapikan dan salin baju seragam dengan kaos oblong sebelum akhirnya bisa istirahat dengan nyenyak. Belum lama Aku berbaring, Nenek datang melihatku. Nenek adalah orang yang kedua
memberiku semangat setelah Mamaku, sampai Aku selalu terharu jika Nenek memberikan perhatian lebih padaku. Nenek menyarani Aku untuk di urut dengan Nek Ani. Aku sempat menolak karena tahu pasti sakitnya bukan main kalau diurut. Tapi Nenek memaksaku agar Aku mau diurut, Aku hanya bisa menganggukan kepala tak berani melawan. Nenek pulang untuk memanggil Nek Ani. Nek Ani juga sama seperti Nenekku, beliau sangat baik dari Aku kecil sampai sekarang.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih berbaring di tempat tidurku sambil menunggu Nek Ani datang. Terlintas dalam benakku atas kejadian yang menimpaku hari ini. Aku sangat bersyukur kepada Allah yang masih
melindungiku dan memberikan Aku kesempatan untuk hidup. Aku membayangkan seandainya saja umurku pendek mungkin Aku sudah ditabrak mobil dari arah belakang karena tempat Aku ditabrak adalah jalan raya dimana mobil dan motor melaju dengan kecepatan tinggi.

“Assalamualaikum.” Nek Ani datang membuyarkan lamunanku.

“Waalaikumsalam.” Terdengar Mama menjawab salam Nek Ani.

“Neng si Ade katanya ketabrak ya?” Tanya Nek Ani pada Mama yang terdengar olehku dari kamar.

“Iya Ma, tadi pulang sekolah lagi nyebrang ditabrak.” Seru Mama.

“Mana dia sekarang anaknya, kata Emak tadi mau diurut.”

“Lea, ini ada Nek Ani. Katanya mau di urut kakinya.” Panggil Mama dari ruang tengah. Aku keluar dari kamar dan menghampiri Nek Ani dan Mama di ruang tengah.

“Sini De duduk, Nek Ani liat dulu mana kakinya.” Ucap Nek Ani. Aku duduk di sebelah Nek Ani dan memperlihatkan lukaku.

“Subhanallah sampe bengkak gini De. Nenek urut ya.”

“Tapi pelan-pelan ya Nek.” Pintaku.

“Iya Debsama Nek Ani pasti pelan kok.” Jawabnya.

“Neng, Emak minta air anget sama lapnya sekalian ya.” Pinta Nek Ani pada Mama. Aku yang mendengarnya semakin takut kalau nantinya akan terasa perihnya. Tapi apa boleh buat Aku tak bisa mengelak lagi. Gumamku dalam hati.

Mama datang membawa baskom kecil yang berisi air hangat dan diberikan pada Nek Ani. Nek Ani mulai menempelkan lap yang sudah dibasahi air hangat ke lukaku.

“Aww sakit Nek.” Aku merintih kesakitan.

“Apanya yang sakit si De, Nenek udah pelan banget ini, ditahan aja ya De.” Ucapnya.

“Sakit banget Ma.” Jeritku memanggil Mama.

Nek Ani tak hiraukan kesakitan Aku, beliau tetap mengelap kakiku yang luka dengan sesekali membaca doa, entah doa apa yang sedang dibaca Aku hanya bisa beristighfar sambil merintih kesakitan. Pamanku datang saat Nek Ani sedang mengurut kakiku. Paman menanyakan siapa yang sudah menabrakku. Paman adalah adik dari Mamaku, Pamanku orang yang gampang terpancing emosinya.

“Ditabrak dimana Le? Tanggung jawab gak orangnya” Tanya Paman.

“Di Mall Indah, yang nabrak udah tanggung jawab kok tadi.” Jelasku.

“Tolong tebusin obatnya nong.” Sambar Mamaku.

“Lah emangnya gak dibeliin sama orang yang nabrak?” Tanya Paman lagi.

“Tadi di rumah sakit kata Ibunya obat yang ditebus lagi kosong.” Jelasku.

“Oh gitu, yauda mana sini resepnya.” Pintanya. Mama mengambil resep dan uang yang ada di dalam amplop coklat besar lalu diberikan pada Paman.

Tanpa basa-basi Paman langsung pergi menebus obatku. Kakiku juga sudah selesai diurut dan aku kembali ke tempat tidur untuk istirahat.

TAK LAGI SAMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang