Aroma Tubuh

16 4 0
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kemana kaki berpijak, ada aturan yang harus ditaati dengan bijak

Beberapa hal diciptakan untuk dipertemukan

Tapi tak semua pertemuan diciptakan untuk dipersatukan

Tuhan punya aturan, sedang kita hanya punya harapan

Berharaplah sewajarnya, karena jika hilang kau hanya akan terluka sewajarnya pula

Jangan terlalu sangat, jika kau tak ingin nestapamu berat

***

Tak! Tak! Tak!

Mesin pengukur detak jantung berjalan dengan baik dan stabil, memberi isyarat bila pasien masih bernyawa. Terselamatkan, semoga ya.

"Min Jee?" Lirih pria nan baru saja terjaga dari komanya, lipatan pada kelopak mata memberi penglihatan yang samar, bola mata belum seutuhnya terlihat. "Kau sudah sehat Min Jee?" lanjutnya, menatap wanita cantik dibalut gaun merah bergenggam setangkai mawar nan terlihat segar, seperti baru saja dipetik, menatapnya dengan sedikit keraguan.

Matanya berkedip dengan cepat, perlahan membelalak, pupil matanya membesar, jantungnya sedikit gelisah, "Min Jee ...," untuk kedua kalinya memanggil nama yang sama dengan sedikit keraguan, terlihat dari kerutan alisnya yang seolah menimbulkan beberapa pertanyaan. "Kau Min Jee kan? Jawab aku Min Jee," tegasnya untuk kesekian kali meyakinkan wanita cantik yang berada di hadapannya.

Senyum manis melukis bibir mungil wanita cantik di hadapannya tanpa kata. Pertanyaan Dae Ho yang semula bertumpuk-tumpuk dibuat luruh akan terbuai senyum manis yang dilemparkan teruntuk dirinya dan hanya mampu membalik senyum mesra terhadap wanita dihadapannya.

"Ahh ...," dengus Dae Ho menghirup aroma seisi ruangan di hidungnya. "Kenapa aroma tubuh Min Jee tidak tercium," gumamnya dalam hati. Ah, tapi siapa peduli, yang terpenting Min Jee saat ini berada di hadapannya.

"Tak seperti biasanya, kenapa hari ini kau tak memakai parfum kebanggaanmu?" cengengesnya mencoba merayu Min Jee yang hanya terdiam dari awal penglihatannya.

"Tidak," pungkasnya dengan singkat.

Jawaban yang sedikit menyakitkan memberi sayat pada segumpal daging yang terletak tepat di bawah tulang rusuk tubuh Dae Ho. Tapi tak apa, mungkin kejadian tempo itu masih tak diterima Min Jee, harapnya dalam lubuk hati Dae Ho.

"Aku minta maaf atas kata-kata dan tindakanku semalam, maaf bila tingkahku malam itu masih membekas luka di hatimu," ucapnya memohon belas kasih dan ampunan dari Min Jee.

Namun, ditengah obrolan keduanya, secara perlahan derap langkah kaki mengguncang gendang telinga Dae Ho, semakin dekat. Tatapannya pun berpaling dari Min Jee untuk melirik siapa yang datang.

Pria paruh baya dengan setelan jas putih tersangkut menutup buncit perutnya, berjalan mendekat ke arah Dae Ho. Dae Ho yang tidak peduli mengacuhkannya, dan kembali menatap ke arah Min Jee, tapi tatapannya menjadi hampa, Min Jee telah pergi dari hadapannya.

"Min Jee?" lirihnya tak percaya, nadanya sedikit ragu, hatinya berkecamuk dengan kebimbangan tiada tara. "Dimana Min Jee? Kemana ia pergi?"

Dokter yang baru saja datang sedikit khawatir dengan keadaan Dae Ho, terlebih setelah ia menyebut nama kekasihnya dengan panik, Min Jee. "Min Jee tidak apa-apa. Dia baik-baik saja," ucapnya dengan lembut mencoba mengembalikan ketenangan Dae Ho.

"Apa aku sudah boleh pulang dok? Aku ingin minta maaf pada Min Jee, aku tak ingin pernikahanku dengannya gagal, aku mohon dok. Aku sangat mencintainya," tuturnya tanpa daya, bermohon belas kasih dari tuan berjas putih. Telaga matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh, mata sayu itu kini mulai bersimbah air mata. Napas Dae Ho mendesah tak beraturan, seolah beban berat baru saja terembus dari hidungnya.

"Anda boleh pulang, tapi pastikan kondisi anda baik-baik saja. Jangan terlalu memikirkan seuatu yang menurut anda menyakitkan ya!"

Ketenangan Dae Ho perlahan kembali, dokter menempelkan stetoskop di dada Dae Ho, memeriksa keadaan Dae Ho yang baru saja tersadar dari komanya.

"Kondisi anda masih belum stabil, tapi peningkatannya sangat bagus. Saya pastikan lusa anda sudah boleh pulang," tuturnya memberi ketenangan pada Dae Ho, tak luput melemparkan senyum ramah, lalu enyah dari hadapannya.

***

"Bagaimana kondisi Dae Ho dok?" ucap pria yang tak berselisih umur terlalu jauh dari Dae Ho baru saja datang di depan kamar rawat Dae Ho.

"Dia baik-baik saja. Tapi jangan bahas hal-hal yang membuatnya gelisah, apalagi nama Min Jee!"

"Baik dok," ucapnya seakan paham apa yang disampaikan dokter padanya. "Boleh saya masuk untuk menjenguknya?"

Dokter hanya mengangguk dengan pelan, memberi tanda peng-iya-an pada pertanyaan yang dilemparkan sahabat Dae Ho.

Terlihat Dae Ho tengah memandang ke arah jendela di kamar rawatnya, membuatnya tak tega akan melihat tubuh kekar Dae Ho harus terbaring lemah di ranjang.

"Dae Ho, bagaimana kondisimu?" ucap pria yang baru saja masuk kamar Dae Ho.

"Eun Sik?" sahutnya dengan berbalik secara perlahan ke arah suara yang memanggilnya. Dengan menghapus air mata yang membanjiri pipinya. "Aku baik-baik saja, lusa sudah boleh pulang katanya."

"Baguslah. Lagian masa iya seorang Dae Ho dengan perawakan kekar harus selamanya terbaring di rumah sakit," ucapnya dengan beberapa kali melempar tawa pada Dae Ho mencoba untuk menghiburnya.

Tatapan hampa itu perlahan mulai berwarna, kehadiran Eun Sik seolah mengundang keceriaan di wajah lusuh Dae Ho.

"Lihat apa yang aku bawa ini!" ucap Eun Sik dengan menunjukan beberapa buah tangan yang ada digenggamannya. "Aku yakin, kau pasti bosen kan tiap hari hanya makan sup, sup dan sup lagi. Haha."

"Sialan kau Eun Sik. Setelah sembuh, aku hajar kau nanti."

"Pipi kanan apa pipi kiri?" tantang Eun Sik semakin menggoda Dae Ho.

Keduanya pun dengan bersamaan melempar tawa, seakan penat di kedua pikiran orang itu terlepas sesaat. Kedua teman yang sudah berhubungan sejak lama selalu merasakan apa yang dirasa teman lainnya. Bahkan keakraban antara keduanya akan selalu terjalin dengan baik.

"Sudahlah, lebih baik kau makan buah yang kubawa ini. Kau pasti akan suka. Atau perlu kukupaskan pula?" ucapnya kembali menggoda senyum Dae Ho.

"Sialan. Aku tak separah itu, biarkanlah, letakan saja makanannya di meja, nanti aku makan."

Dae Ho kembali menatap jendela di kamarnya, seakan tak mempedulikan kehadiran Eun Sik. "Dimana kau Min Jee?" gumamnya dengan pelan.

Eun Sik yang sekilas mendengar ucapan Dae Ho tak bisa berkata, ia pun tak tahu harus menjawab apa. sahabat karibnya harus terbaring di rumah sakit, sementara ia tak ada daya, tak kuasa melakukan apa pun. Walaupun Eun Sik paham betul dengan kepribadian Dae Ho, tapi ia tak pernah tahu bagaimana isi hati seseorang, termasuk Dae Ho.

"Cepat sembuh Dae Ho. Aku tahu kau tak selemah itu," gumam Eun Sik dalam hatinya, menatap gelagat Dae Ho yang nampak gelisah dan ingin segera enyah dari ranjang yang ditempatinya.

Please, Wake Up!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang