Sentuhan

15 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Berjuang saja dulu

Jangan terlalu cepat menyimpulkan dia tak mencintaimu

Toh jika dia bukan jodohmu tak akan bersama juga

Syukur-syukur kalo berjodoh

***

"Tanggal berapa sekarang?" lirih Dae Ho menatap dalam bola mata Eun Sik.

"Lima belas januari."

"Apa?" lirikan mata Dae Ho seketika tak beraturan, pupil matanya perlahan membesar, mulutnya masih ternganga setelah menucapkan kata terakhirnya penuh ketidakpercayaan, jantungnya berdegup dengan cepat. "Aku harus pergi!" tegasnya, melepaskan selang oksigen yang tergantung melilit kepalanya.

"Tahan Dae Ho! Kau belum sembuh total. Lagi pula ada apa sebenarnya?"

Dae Ho menghela napas panjang, perlahan mengucapkan kata pembuka untuk kalimat penjelasnya, "Dua puluh tujuh Januari, aku sudah sepakat dengan Min Jee untuk menikah. Sementara aku belum mempersiapkan apapun?"

"Tenanglah! Kau kan disini hanya tinggal dua hari lagi, masih banyak waktu buat kau mempersiapkan semuanya," ucapnya menahan tiap gerakan Dae Ho yang ingin melepaskan diri. "Sepertinya Min Jee pun tengah mempersiapkannya juga," senyum tanpa kerutan dahi dilemparkannya, bola matanya menghindar dari tatapan Dae Ho, raut wajah yang tak bisa dipercaya.

"Tidak ... tidak bisa. Aku tak bisa tenang, aku harus memilihkan gaun untuk Min Jee agar tampil cantik, aku harus mempersiapkan cincin berlian untuk kusematkan di jemari manisnya. Aku pun harus mempersiapkan dekorasi yang megah agar Min Jee tak kecewa," napasnya berhembus dengan cepat, kepanikan seakan menggoyahkan kedamain jiwa Dae Ho, raut wajah penuh seri berputar 180 derajat penuh kecemasan.

"Dae Ho ...," lirikan mata Eun Sik kembali tertuju pada bola mata Dae Ho, menatapnya dengan tajam tak seperti biasanya. "Aku paham kau sangat mencintai Min Jee. Tapi, kau harus memikirkan diri sendiri. Kepalamu saat ini tengah berbalut perban, hidungmu dililit selang oksigen, di tanganmu pun tertancap selang inpus. Aku yakin Min Jee akan memahami kondisimu," tuturnya sangat serius. Sungguh, Eun sik sangat peduli pada sahabatnya.

Dae Ho tertunduk tak berdaya, gelagatnya seolah dikalahkan ucapan Eun Sik. Tatapnya kembali tertuju pada jendela kamar yang perlahan menghitam pekat.

"Jam sepuluh," ucap Eun Sik setelah melihat jam tangan yang terlilit dipergelangan tangannya. "Sudah habis jam besukku, aku pamit ya, Dae Ho. Kau harus cepat sembuh!"

"Tunggu!" teriak Dae Ho menghentikan gerakan Eun Sik yang baru saja bangkit dari kursinya, "Boleh aku minta satu permintaan padamu?"

Perasaan Eun Sik mulai tak karuan, kedua bibirnya terkatup rapat, diiringi alis kanan yang terangkat memendam rasa ingin tahu akan permintaan Dae Ho.

Dae Ho mengangguk pelan, dan melempar senyum perpisahannya pada Eun Sik. "Terima kasih sudah menjengukku."

Eun Sik tak berbalik sedikitpun menyahut ucapan Dae Ho, tangannya mengesamping dan mengacungkan jempol kanannya, gerakan yang memberi isyarat peng-iya-an, langkahnya perlahan membawa Eun Sik berlalu dari tatapan Dae Ho.

***

Jarum jam menunjuk pada angka 08.00, Dae Ho sudah terjaga sebelum matahari menyambutnya.

Dengan waktu dan situasi yang sama, Dae Ho kembali menatap wanita cantik berbalut gaun merah dengan setangkai mawar digenggamannya.

"Min Jee kau datang lagi?" menatap seakan penuh keraguan, "Kau sudah memafkanku Min Jee?"

Tanpa kata, Min Jee hanya menjawab lewat senyum tipis di bibirnya.

Satu persatu keraguan mulai tertumpuk di pikiran Dae Ho, membuat napasnya berhembus begitu berat. Tak bisa, tak bisa jika selamanya ditahan seperti ini, dengan sedikit keberanian Dae Ho mencoba mengucap satu permohonan pada Min Jee, "Boleh aku memegang tanganmu Min Jee? Aku merindukanmu," entah Min Jee yang berdiri tegap dihadapannya itu nyata atau tidak, tak peduli. Dae Ho ingin memastikan dengan sangat, ada sebuah keraguan dibalik kata rindu yang diucapnya.

Tanpa sepatah kata Min Jee melangkah semakin dekat pada Dae Ho, ia mengulurkan tangannya tak ada keraguan sedikit pun. Dae Ho tertegun sesaat, menatap tubuh Min Jee dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Dae Ho mulai menggenggam tangan Min Jee, "Dingin," desisnya pelan, perlahan menatap mata Min Jee penuh keraguaan. Tak hanya aroma parfume nya yang hilang, sentuhannya pun terasa berbeda, "Apa aku sedang bermimpi, atau aku berhalusinasi? Tapi tidak, tangan Min Jee ini nyata, aku bisa menggenggamnya," gumam Dae Ho dalam hati, pikirannya hanyut dalam lamunan. Seketika genggamannya dilepaskan dari tangan Min Jee.

"Ini aku Min Jee, kekasihmu," kalimat pertama yang diucapkan Min Jee pada Dae Ho sejak tersadarnya Dae Ho, mencoba meyakinkan. Wanita dengan paras cantik itu menghampiri meja samping ranjang terbaringnya Dae Ho, meletakan setangkai mawar yang digenggamnya di vas bunga putih bersih.

Tanpa disadari bibirnya melengkung membentuk senyuman, keraguan yang terlukis dihati Dae Ho perlahan memudar, bagaimanapun Min Jee tetaplah Min Jee. Wanita cantik yang ada dihadapannya saat ini adalah Min Jee. Ia pun menutup matanya meyakinkan pikiran dan hatinya.

Namun keceriaan Dae Ho lagi-lagi terkikis, senyum mesranya perlahan pudar setelah melihat Min Jee menghilang secara tiba-tiba untuk kedua kalinya.

"Min Jee?" bola matanya berlarian kesana kemari, menatap seisi ruangan yang hanya dirinya sendiri. "Kau kemana Min Jee? Jangan bersembunyi dariku, aku belum bisa bergerak bebas, terlalu sulit bagiku untuk menemukanmu dalam kondisiku yang seperti ini."

Lagi-lagi pikiran Dae Ho dibuat kacau tak karuan.

"Min Jee ... Min Jee ...," teriak Dae Ho berharap Min Jee akan kembali menghampirinya. Ia pun melihat vas bunga kosong yang tertata di atas meja. "Bukankah tadi Min Jee menaruh mawar di vas ini, aku melihatnya dengan jelas, tapi kemana mawar itu menghilang? Kenapa vas bunga itu masih kosong?"

Ciut! "Aw sakit," ucapnya memegang kepala yang tiba-tiba dihujam rasa sakit tak karuan.

Kegaduhan suara Dae Ho terdengar keluar kamarnya, dokter pun bergegas menghampiri, terlihat Dae Ho tengah memegangi kepalanya, tanpa sempat melemparkan sepatah kata dokter memeriksa kondisi Dae Ho.

"Kau tak boleh terlalu banyak pikiran," titahnya, setelah memastikan bahwa kondisi Dae Ho baik-baik saja.

"Baik dok, tadi aku hanya melihat Min Jee disini," ucapnya dengan tatapan mata yang tertuju ke arah jendela, "Tapi secara tiba-tiba ia menghilang."

Dokter itu terdiam beberapa saat, "Iya ... Min Jee merindukanmu, sebab itu kau harus segera pulih dan sembuh."

"Besok aku sudah boleh pulang kan dok?"

Dokter itu hanya bisa mengangguk pelan, seakan ucapan Dae Ho adalah pernyataan yang tak bisa dibantah olehnya. Ia paham betul kondisi Dae Ho, terlebih jika keinginan Dae Ho dilarang atau ada sesuatu hal yang menyakiti pikirannya, itu hanya akan memperburuk kondisi Dae Ho.

Melihat gelagat sang dokter, Dae Ho pun sedikit tenang, rasa sakit di kepalanya pun perlahan memudar.

Please, Wake Up!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang