***
Tidak perlu bersama selamanya. Selamanya terlalu lama.
Seumur hidup saja.
Untukku, itu sudah lebih dari cukup.
(Fiersa Besari)
***
Flashback
Seorang pria dengan paras rupawan dibalut jas abu tua rapi, beralaskan sneakers putih yang membuat gayanya terlihat kasual, melangkah perlahan menghampiri wanita yang tertatih tak jauh darinya.
"Min Jee ...," ucapnya dengan menggenggam kotak cincin berbentuk hati.
Gadis polos yang tak tahu apa-apa hanya mengerutkan dahinya kebingungan dan beberapa patah kata yang cukup terbatas keluar dari mulutnya, "Ada apa Dae Ho? Kemana kau membawaku? Apa aku sudah boleh melepaskan penutup mata ini?" ucap gadis itu berharap kain yang terlilit di kepalanya segera dilepaskan agar pandangannya kembali jelas.
"Boleh, buka saja," sahutnya sangat lembut.
Perlahan penutup mata dibuka, penglihatannya remang-remang memperhatikan keadaan sekelilingnya. Malam yang cukup dingin, tapi tidak terlalu gelap, karena lilin dengan jumlah cukup banyak mengitari sekeliling Min Jee, di depannya pula lilin itu membentuk jalan bak karpet merah yang menyambut kedatangan sang raja.
"Dae Ho," lirihnya dengan sedikit gugup karena ketidaktahuannya.
Pria yang dipanggil Dae Ho pun melangkah semakin mendekat pada Min Jee. Lalu tersungkur di hadapan gadis yang memanggil namanya.
"Min Jee," tuturnya sangat lembut, pandangnya tak berpaling sedikit pun dari paras cantik Min Jee, "Bagiku ini malam yang sangat indah, juga mengkhawatirkan."
Min Jee kembali mengerutkan dahinya tanpa melemparkan sepatah kata pun, seakan memberi tanya tanpa kata, apa? ada apa? jelaskanlah!
Namun hatinya tak bisa mengelak, terus memberontak seakan sudah tahu maksud Dae Ho, kalau di hati terdapat kaki, sudah berlarian kian kemari sepertinya milik Min Jee. Namun parasnya terus berbohong, dengan keluguannya ia hanya bisa melemparkan tanya, "Ada apa sebenarnya Dae Ho?"
Dae Ho sedikit melengkungkan bibirnya, melempar senyum tipis pada perkataan Min Jee, "Hmm. Aku yakin kau sudah tahu Min Jee⸺," Dae Ho menghentikan kalimatnya, menatap semakin dalam ke mata Min Jee, seolah ingin berbicara langsung dari lubuk hatinya yang paling dalam, "Aku mencintaimu Min Jee, aku ingin kau menjadi satu-satunya wanita yang selalu ada di hari-hariku. Walau suatu hari nanti mungkin aku akan bosan melihatmu, tapi percayalah perasaanku tak akan memudar, bahkan menjadi penawar rasa bosanku memandang wajahmu," Ah helanya, seolah segala beban berat dihatinya telah keluar beriringan dengan kalimat yang diucapkannya, meskipun ia tak tahu kelanjutannya seperti apa, tapi ah siapa peduli Min Jee pasti menerimanya.
Min Jee terdiam beku dengan pipi yang sedikit memerah, mulutnya sedikit ternganga seakan ingin berucap, tapi pikirannya tak tahu harus berucap apa. Walau hatinya terus memberontak iya ... iya ... tapi mulutnya tak semudah itu.
Benar saja, sangat tepat dugaan Dae Ho. Min Jee mengangguk perlahan dan mengulurkan satu tangannya, memberi sebuah pertanda pada Dae Ho. Tanpa meminta ucapan, raut wajah Dae Ho berseri, kebimbangannya seakan sirna dalam waktu yang singkat. Dengan wajah yang dipenuhi kepuasan Dae Ho memasang cincing yang digenggamnya ke jari manis Min Jee.
Tangan yang mulus dan putih dengan cincin melingkar di jari manis memberi pertanda bahwa Min Jee mulai detik ini juga adalah miliknya.
Seperti pasangan pada umumnya, Dae Ho merangkul tubuh Min Jee, memeluknya, lalu mencium bibir merah Min Jee.
Cahaya temaran yang dipancarkan nyala lilin dan semburat rembulan memberi kehangatan di malam itu. Tebaran bintang di langit pun ikut menjadi saksi dua insan yang saling mencintai. Relationship Park, begitulah taman ini mendapatkan panggilan spesial dari Dae Ho dan Min Jee.
***
Hari yang tak mudah untuk dilupakan bagi Dae Ho, cintanya pada Min Jee tak perlu lagi dipertanyakan. Hanya Min Jee, dan selamanya Min Jee.
"Kau ingat saat itu Min Jee?" tanya Dae Ho pada wanita yang tengah duduk disampingnya, "Disinilah aku menyatakan perasaanku padamu."
"Iya, aku mengingatnya. Kau membuatku gugup. Hehe."
Dae Ho tertegun, menatap kembali mata Min Jee, "Sejak saat itu, perasaanku padamu tak berkurang sedikit pun Min Jee, sampai sekarang!"
Min Jee langsung mengatup mulutnya, bola matanya berlarian seolah menghindar dari tatapan Dae Ho yang tak berpaling sedikit pun. Entah apa yang harus diucap Min Jee. Dae Ho benar-benar mencintainya.
"Apa kau juga sama, denganku, Min Jee?" sambung Dae Ho tanpa memalingkan tatapannya sedikit pun dari Min Jee, seolah tak ingin kehilangan Min Jee dari pandangannya untuk kesekian kali.
Min Jee masih belum bersuara sedikit pun, terlihat dari gerak bola matanya, sangat gugup.
Dae Ho yang melihat kondisi itu, tak ingin membuat Min Jee semakin terpojok, mungkin Min Jee memang memiliki perasaan yang sama juga, tapi ia tak bisa mengatakannya. Karena jika Min Jee tak mencintainya, mungkin saat ini Min Jee tak akan berada di hadapannya. Meyakinkan diri sendiri, Min Jee sangat mencintainya juga.
"Masih siang rupanya," tutur Dae Ho mencoba mengalihkan kalimat yang telah diucapnya, "Maukah jalan denganku?" berdiri tegap bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan bersiap menggengam Min Jee.
Kepala Min Jee mendongak, perlahan menatap wajah Dae Ho, "Tidak Dae Ho."
Belum pun Min Jee menyelesaikan ucapannya, ekspresi Dae Ho seketika langsung berubah, wajahnya seolah melukis kecewa setelah mendengar penolakan Min Jee.
" ... kau baru saja keluar rumah sakit, aku tak ingin terjadi apa-apa padamu," sambung Min Jee.
"Tidak Min Jee, aku sudah membaik. Menggendongmu sambil berlari pun aku sanggup," sahut Dae Ho dengan cepat dan bangkit dari kursinya, membuktikan pada Min Jee bahwa ia benar-benar sudah sembuh. Walaupun perban dikepalanya masih terlilit, menjadi tanda bila Dae Ho berbohong.
Min Jee mengerutkan dahinya dengan melempar sedikit senyum.
"Aw ... sakit," lirih Dae Ho memegang kepalanya yang tiba-tiba mendapati nyeri, seolah memperingati Dae Ho untuk tidak berbohong.
"Kau harus peduli pada dirimu sendiri Dae Ho."
Dae Ho pun sedikit kecewa, disaat seperti ini kenapa sakitnya harus terasa, mungkin itu karena efek refleks dari gerakan Dae Ho yang bangkit dari kursi secara cepat. Namun, ah persetan, ia menganggap nyeri di kepalanya hanya karena sakit kepala biasa. Ia pun tak menghiraukannya dan kembali meminta Min Jee untuk pergi bersamanya.
"Ini tidak apa-apa Min Jee, ini hanya karena ikatan perbannya terlalu kencang, kalau dilepas tak akan terasa nyeri lagi."
Tapi Min Jee sudah bulat dengan keputusannya. Entah berapa kali pun Dae Ho membujuknya Min Jee tak akan meng-iya-kannya.
Pada akhirnya, Dae Ho hanya bisa setuju dengan keputusan Min Jee, dan menerimanya dengan lapang dada.
"Besok saja, aku akan pergi bersamamu," tutur Min Jee mencoba melepaskan sedikit kekecewaan di hati Dae Ho.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Wake Up!
Любовные романы"Bangunlah! Katakan jika kau mencintaiku." Kalimat yang hanya menjadi misteri tanpa adanya jawaban sedikitpun, sebelum pada akhirnya, "Selamat jalan."