Tidak! Hari ini aku harus sekolah. Senin, hari yang paling ku benci. Dimana pagar sekolah tutup sangat cepat.
Aku tengah berdiri di depan cermin sambil mengikat rambutku kuncir satu. Aku sedikit merapikannya. Tak lupa pula, dasi yang ku kenakan.
Kebiasaan yang tidak pernah lupa. Bergaya sebelum beranjak dari cermin. Entah kenapa percaya diriku begitu tinggi.
Aku mengambil tasku yang tergeletak di atas kasur. Aku menyandangnya.
"Assalamualaikum manis."
Suara itu membuatku mendongak. Aku tidak melihat siapa-siapa. Terasa mengerikan.
"Hey, jawab salamku." Suara itu lagi
Aku membalikkan badanku, menatap ke arah jendela. Aku tersenyum terkekeh geli, saat melihat tampang Sajak, seperti om-om. Ternyata ia bersembunyi di balik jendela.
Ia sengaja memakai sungut palsu dan kacamata hitam. Gayannya seperti anak muda klasik. Bukan, bapak-bapak muda, lebih cocok.
"Waalaikumussalam," kujawab.
"Hey, gimana? Udah bisa jadi suami kamu belum?" tanya Sajak sambil menaikkan satu alisnya, mencoba menggodaku.
Ah, aku benar-benar malu. Dia begitu romantis dan humoris. Paket lengkap. Seperti beli makanan di rumah makan ampera, di Terminal Kebon Kelapa.
Sayangnya, kami cuman kawan.
Aku berjalan ke arah Sajak. Ketawaku tersalurkan saat itu. Wajah Sajak benar-benar membuatku ketawa habis-habisan. Ditambah tampang songongnya.
"Kamu sehat? Seperti Ayahku, ha ha ha." gelakku.
Ya, ayahku lumayan bersungut. Ia terlihat tampan dengan sungut itu.
Sajak mendengus kesal. "Ga apa-apa, kamu akan ketawa."
"Iya. Lucu."
"Mau?" tanyanya.
Aku mengernyitkan keningku heran.
"Apa?" tanyaku.
"Aku."
"Kamu? Kenapa?" kutanya lagi.
"Buat kamu."
Ah, dia membuatku malu. Lagi-lagi pipiku memerah. Sajak bisa saja membuatku begini. Semakin menyukainya.
"Ih, Sajak."
"Aku ketemu ayahmu. Katanya kamu buatku."
"Mau apa?" tanyaku heran.
"Jadi istriku."
Lagi-lagi, laki-laki itu membuatku malu. Aku beranjak mengambil boneka yang di berikanya semalam. Aku kira dia berbohong tentang hadiah itu, ternyata serius.
Aku memperlihatkannya kepada Sajak. "Makasih. Aku suka."
"Suka aku?"
"Boleh?" tanyaku dengan penuh harapan.
"Kita kawan. Ga boleh saling suka."
Rasanya sakit. Tapi tidak apa-apa. Seperti ini saja sudah membuatku bahagia.
Tetaplah menua bersamaku Sajak....
"Aku tebak, namanya Inci?" Dia terlihat bodoh sambil melirik ke arah Inci. Padahal dia yang memberi nama.
"Iya. Inci."
"Ah, tebakanku benar." belagunya.
"Astagfirullah, Sajak gila!"
"Gila kenapa coba?"
"Kenapa emangnya?"
"Karenamu, ha ha ha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Misheart 1983
Teen FictionAku seperti buku Sampul depan adalah awal kehidupanku dengan Sajak....... Aku, Alana, Sang pengagum Sajak. © copyright 2024