06. Nasi goreng

10 4 0
                                    

"Sajak?" kupanggil Sajak, saat aku sampai di warung Bi Asih.

Terlihat beberapa orang di sana. Termasuk Sajak dan kawan-kawannya. Aku mengenal jelas siapa saja kawannya itu.

Sajak yang tengah menikmati nasi goreng langsung menoleh ke arahku. "Hey, Alana."

"Duduk, boleh?" tanyaku.

Sajak mengangguk. Aku langsung duduk di sampingnya, saat kawannya, Zio sedikit memberi celah untukku duduk.

"Mau makan?" tanya Sajak.

Aku mengangguk. "Iya."

"Bi Asih! Nasi goreng lengkap satu! Khusus, ya! Buat si manis!" teriaknya begitu lucu.

Aku terkekeh geli. "Aku malu."

"Ga usah malu. Ada aku."

"Iya."

"Nasi goreng ini spesial. Kamu tahu tidak?" tanyanya sambil menujuk ke arah nasi goreng yang ia makan.

Aku menggeleng cepat. "Kamu memesannya?"

"Iya."

"Kamu juga spesial," lanjutnya.

Sajak bisa aja. Kan malu. Mana saat itu orang lumayan ramai ada kawan-kawannya juga. Aku bertanya, jawabannya malah diluar pertanyaan. Laki-laki itu benar-benar membuatku semakin ingin memilikinya.

"Hey?" panggil seseorang.

Aku menoleh ke arah laki-laki di sampingku. "Aku?"

"Iya, Kamu, Alana." ucapnya. Dia Zio Samsudin. Laki-laki yang ku ceritakan tadi. Nama mereka emang kuno.

Aku tidak begitu dekat dengannya. Kurang lebih aku mengenalnya sebagai kawan Sajak. Dia baik. Pintar, rajin. Tapi, sedikit pemalu. Kadang perempuan sering malu mendekatinya. Tidak denganku, karena urat maluku sudah putus, saat aku lahir. Bercanda.

"Kenapa?" kutanya

"Nanti, kita ketemu di jalan."

"Kamu dukun?" kutanya, sedikit terkekeh.

"Tidak."

"Terus?" kutanya dengan raut wajah heran.

"Kamu cantik."

"Jangan puji kawanku nanti dia sombong," sambar Sajak yang tengah menyuap makanannya.

"Kamu sehat, Zio?" tanya Markliwon. Biasa dipanggil Mark.

"Aku sehat," jawab Zio pada Mark.

"Tapi, kamu bilang Alana cantik."

"Kenapa? Kamu cemburu?"

"Ah, tidak. Tidak biasanya kamu memuji perempuan."

Zio menoleh ke arahku. "Alana memang cantik."

"Zio lagi mimpi, pasti," sambar Amaludin. Biasa dipanggil Amal. "Zio kan gila."

"Tidak, dia benar-benar suka Alana." Sajak mencoba menyudutkan Zio pada kedua kawannya.

Zio menggeleng cepat. "Tidak! Aku hanya memujinya."

Aku menoleh ke arah Zio. "Makasih."

"Makasih, kenapa?" tanyanya.

"Pujiannya."

"Iya, geulis."

"Ah, kamu bisa aja, Zio," sambar Mark. "Aku kan emang cantik."

"Bukan kamu!" sanggah Zio pada Mark.

"Jangan puji Alana. Nanti Sajak marah," suara Amal.

"Aku tidak marah. Biarkan mereka," jawab Sajak.

"Zio!" kejut Bela pada Zio yang baru saja datang. Aku hanya menatap perempuan itu malas.

Zio menoleh ke arah Bela. "Apa?"

"Kamu udah makan?" tanyanya lalu duduk di samping Zio.

"Udah."

"Ga bohong?"

Zio menggeleng cepat. "Ga."

"Dingin amat, aku khawatir, Yo."

"Bel, kamu sama Zio ada hubungan, kah? Kalian berdua pacaran?" tanya Mark.

"Setahuku, Bela kan sukanya sama Sajak," sambung Amal.

"Aku ga suka Bela," balas Sajak.

"Siapa juga yang suka sama kamu!" sanggah Bela. Entah ia berbohong atau apa.

"Bela bohong pasti?" tanya Mark.

"Aku udah males ngejer Sajak."

"Syukurlah," balas Sajak lalu menyantap nasi gorengnya.

"Eh, aku punya tarian. Namanya Bala-bala," ujar Zio. Bala-bala itu sejenis bakwan. Aku menyukainya. Apalagi buatan Bi Asih.

"Enak?" tanya Mark.

"Lihat, ya!" Zio tidak menjawabnya. Dia mengambil beberapa bakwan Bi Asih lalu memakannya sambil bergoyang asik. Bukan hanya mulutnya, perutnya ikut bergoyang. Terlihat lucu.

Zio kelihatan seperti orang kelaparan. Dia tidak henti-hentinya bergoyang sambil makan bala-bala, hingga semua orang tertawa melihat kekonyolannya. Ah, dia bisa saja membuat suasana berubah jadi tawa.

"Aku makan bala-bala Bi Asih sepuluh..... Tapi, aku bayar lima..... Aku anak yang pintar.... pintar ngibul!" senandung Zio.

Zio lari detik itu juga dari warung Bi Asih. "BI NGUTANG DULU! BALA-BALANYA LIMA, YA!"

"ZIO!!!!" murka Bi Asih.

Ah, itu kebiasaan Zio. Ngutang, udah berapa bon yang ia tinggalkan.

"Ha ha ha," ketawa semua orang lepas. Termasuk aku. Zio benar-benar lucu. Dia menggemaskan.

Terlihat, Bela yang menoleh ke arah Zio. Ia tersenyum kecil. Raut wajahnya membuatku terlihat bingung. Entah ia suka sama Zio atau apa.

"Ini nasi goreng lengkap buat neng manis," ucap Bi Asih yang baru saja datang sambil menyodorkan nasi goreng ke arahku.

"Makasih, Bi. " Bi Asih langsung beranjak.

Tapi, Bela menghalanginya. Ia memberikan uang kepada Bi Asih. "Bi, ini uang buat bayar makanan Zio."

"Kenapa kamu yang bayar?" tanya Bi Asih heran.

"Ga apa-apa, Bi, he he he." Bela langsung beranjak dari warung Bi Asing. Sedangkan, Bi Asih kembali bekerja.

"Zio lucu," ucapku sambil menoleh ke arah Sajak.

Sajak menoleh. "Kamu suka."

"Iya."

"Syukurlah."

"Kamu ga marah."

"Buat apa aku marah?"

"Ga tau."

"Malahan aku seneng kamu menyukai orang lain."

"Kok gitu?"

"Kalau aku ga ada, ada orang lain yang jagain kamu."

"Aku mau kamu."

Sajak menepuk-nepuk pelan pucuk kepalaku. "Aku di sini."

-oOo-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Misheart 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang