05. Bukit Berbunga

11 4 0
                                    

Huft, hampir saja aku telat. Hari ini, hari pertama sekolah, setelah seminggu libur, akibat kasus kematian Sela, sahabatku.

Sela itu ibarat burung yang singgah untuk bersiul lalu pergi. Ah, aku benar-benar tidak percaya. Dia seperti buku diary bagiku. Tidak, sebuah suara record kuno yang sering ku ulang-alik. Kadang aku putar beberapa kali, mengingat apa saja yang aku ceritakan tentang diriku, agar aku tidak lupa.

Sekarang tidak ada lagi pemutar suara itu. Begitu juga pendengarnya. Aku tidak bisa mengulangnya lagi. Suara recordnya sudah sirna dimakan api. Ya, ia sudah pergi seperti api yang membakar kayu dan menjadi abu yang berterbangan lalu menghilang.

Aku masih mengingat kejadian itu. Sela... Aku rindu. Aku harap dia benar-benar sudah bahagia di sana. Dia berhak bahagia.

Kakiku melangkah dengan riang sambil menari, mengikuti nada tapak sepatuku. Aroma ini, aroma yang selalu tersengat di hidungku, saat sekolah. Biasa, wangi asri sekolah dengan beberapa pepohonan yang menyelimuti. Ini yang aku suka dari Kota Bandung.

Dulu, Abangku, Bara juga sekolah di sini. Namanya SMA Harapan Bandung. Bang Bara selalu mengingatkan kepadaku belajar yang rajin. Katanya biar pintar, sepertinya. Tapi, aku tidak percaya. Dia pintar bukan belajar, karena tekad dan kemauan. Apalagi terkenal di kalangan guru. Bagaimana tidak, dia sangat kutu buku. Kamarnya saja dipenuhi buku tebal. Sudah cocok menjadi ahli filsafat kelas kakap. Tapi, dia tidak mau. Dia ingin menjadi seorang pebisnis berkemeja, katanya.

Abangku saja sudah memilki mimpi. Apa kabar dengan remaja yang masih labil dan mencari jati diri sepertiku?

Aku menyukai sastra. Menurutku jurusan bahasa lebih cocok denganku. Ya, aku ingin menjadi seorang penulis. Menciptakan beberapa karya sastra yang diterbitkan di toko buku. Kisahku terdengar klasim, namun asik untuk dinikmati, apalagi saat menatap sang senja yang jauh di ufuk sana.

Aku terus melangkah sambil menyanyikan salah satu lagu kesukaanku. 'KepadaMu Aku Pasrah' lagu Ebiet G Ade. Dia termasuk list penyanyi yang ku suka. Biasanya aku mendengarnya lewat radio kuno. Terlihat menarik, masih bisa dipakai. Radio itu aku letak di atas meja belajarku, di kamar. Era lama emang asik. Masa itu masa yang indah bagiku.

'Kepada-Mu aku pasrahkan
Seluruh jiwa dan ragaku
Hidup dan mati ada di tangan-Mu
Bahagia-sedih ada di jari-Mu'

Itu terdengar seperti lagu ampunan. Tapi, bagiku seperti lagu pasrah. Lagu yang bertemakan religi itu, aku tulis sebagai gambaran hidupku nanti. Katanya akan usai. Ah, aku tidak percaya dengan itu. Kematian tidak ada yang tahu, bukan?

Satu lagi, lagu yang selalu aku nyanyikan dikala itu. 'Bukit Berbunga' lagu Uci Bing Slamet. Ah, era itu sangat banyak kenangan. Biasanya, aku menyanyikannya di bukit, belakang rumahku. Tempat, dimana aku dan Sajak sering bermain. Tempat dimana rasa cinta itu tumbuh. Aku kembali bersenandung dengan lagu yang berbeda.

'Bukit berbunga
Bukit yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Memadu cinta
Bukit berbunga
Tempat yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Di bukit berbunga'

Semua orang menatapku. Mereka memuji suaraku. Aku tahu, suaraku lumayan bagus. Aku merasa malu. Aku tersenyum kecil ke arah mereka semua yang ada di koridor sekolah.

Dari kejauhan, di ujung koridor, aku melihat Sajak yang tiba-tiba menghilang dari parkiran sekolah. Ternyata dia sudah berjalan ke kelasnya duluan.

Dari belakangnya, terlihat seorang perempuan yang terus mengikutinya. Sajak terlihat risih, beberapa kali ia mengusir perempuan itu, agar menjauhinya. Aku tahu betul siapa perempuan yang keganjenan itu. Namanya Bulan Sumarni. Biasa dipanggil Bulan. Ah, bagus juga Sumarni. Dia kawanku, itu dulu.

Misheart 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang