~Entah kenapa, memendam perasaan lebih baik daripada mengungkapkannya~
-Alana Saraswati
02. Dia, Sajak
Aku tidak henti-hentinya menangis di depan makam Sela. Hanya ada gundukan tanah yang ditaburi dengan bunga warna-warni, sekarang. Beberapa orang sudah pergi, hanya ada aku, orang tua Sela, dan Sajak.
Aku benar-benar menyesal. Menyesal, kalau aku belum sempat melihatnya dan berbicara dengannya. Aku merindukan, saat-saat kami berdua.
Saling cerita....
Hanya, dia, Sela yang tahu tentang perasaanku. Termasuk, rasa sukaku pada Sajak.
"Sela... Aku merindukanmu... Kembalilah... Aku mau akan cerita tentang sesuatu yang belum kamu ketahui...." -penyakitku.
Ya, Sela tidak tahu dengan penyakitku, kanker otak. Kata dokter sudah memasuki stadium dua. Entahlah, apa aku masih bisa hidup atau tidak.
Aku harap masih....
Sekalipun aku mati, aku mati dengan mengungkapkan, kalau aku...
Mencintai Sajak.
Aku memeluk erat batu nisan yang bertuliskan nama Sela. Sesekali, aku mengelusnya. Dia, Sela, sahabat wanita terbaikku. Orang yang paling kuat yang pernah aku kenal.
"Kamu yang tenang di sana, ya..." Jedaku "Janji, kita akan bertemu"
Aku merasakan ada seseorang yang memegang pundak ku. Ternyata, Sajak. Dia mengiringku bangkit. Dengan reflek, aku memeluk tubuh Sajak, erat. Aku menangis hancur di pelukannya.
"Sajak... Kenapa Tuhan mengambil Sela?" kutanya dengan hati yang hancur lebur.
"Aku mau Sela... Aku mau dia kembali..."
"Bawa dia pulang...."
"Sela...."
Aku tidak henti-hentinya menangisi kawanku, Sela. Ah, kenapa ini terasa menyakitkan. Aku tidak sanggup. Sela, aku mau dia di sini, saat ini juga.
Mustahil.
Aku merasakan seseorang tangan Sajak mengelus punggungku.
"Sabar... Sela udah tenang jauh akan di sana..." ucap Sajak.
"Allah lebih sayang, Sela... Kamu ga usah menangisinya. Kasihan Sela di sana. Dia hanya akan menderita, jika kamu menangis."
Aku melepaskan pelukanku. Aku menyeka air mataku kasar. Bibirku tersenyum kecil ke arah Sajak.
Aku membalikkan badanku, menatap ke arah kedua orang tua Sela. Aku berjalan menghampiri mereka yang masih terpukul.
Aku melihat Mama Sela yang tidak henti-hentinya menangis di pelukan suaminya.
"Om, Tante," panggilku dengan nada lemah.
"Makasih udah lahirin Sela ke dunia. Dia sahabat terbaikku. Dia wanita yang kuat. Aku turut berdukacita atas kematiannya."
"Kalau boleh jujur, aku juga terpukul. Tapi, aku sadar, menangis, hanya akan membuat Sela menderita di alam sana. Kita doakan saja, agar Sela bahagia di sisi Allah," lanjutku.
Aku berjalan beberapa langkah lalu memeluk kedua orang tua Sela. "Maafkan, aku yang telah gagal menjadi sahabat untuk Sela."
Aku merasakan elusan di rambutku. Ternyata Mamanya Sela. "Kamu tidak salah. Ini semua sudah jalannya. Tante udah ikhlas. Sekarang Sela sudah bahagia."
![](https://img.wattpad.com/cover/283744071-288-k984490.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Misheart 1983
Teen FictionAku seperti buku Sampul depan adalah awal kehidupanku dengan Sajak....... Aku, Alana, Sang pengagum Sajak. © copyright 2024