03. Boneka Inci

16 5 0
                                    

Say hai dulu sebelum baca:)

Lagi dimana nih?

Asal mana aja?

Vote! Komen!



03. Boneka Inci


Aku menatap dalam danau yang begitu indah dan tenang di hadapanku. Sekarang, posisiku tengah duduk di atas rerumputan yang begitu tebal, seperti kapas.

Suasana seperti ini yang aku suka dari Bandung. Indah dan asri. Udaranya juga segar.

Di sampingku, Sajak tengah melemparkan batu ke arah sungai. Raut wajahnya terlihat datar. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak tahu.

"Kenapa?" tanyaku sambil mendongak pada Sajak.

Sajak menghela nafas berat. "Bosan."

Aku mengernyitkan keningku heran. "Sana main."

"Mau sama kamu."

"Sini, duduk, disebelah ku," kujawab.

Sajak menoleh ke arahku. Ia menghela nafas kasar lalu duduk di sebelahku. "Hm."

"Jangan murung," ucapku, merasa simpati dengan Sajak sambil mengelus rambutnya, sayang.

Sajak mengambil tanganku lalu mengiringnya ke hatinya. "Sakit. Obati."

Aku tersenyum kecil.

"Mau pacar." Sajak memelukku, begitu manja. Aku tidak mengerti, kenapa dia seperti ini.

"Ada aku," kujawab.

Jujur aku mau, jadi pacar Sajak. Tapi, laki-laki itu tidak pernah mengerti akan perasaanku.

Sajak melepaskan pelukannya. Ia mencubit hidungku sambil terkekeh geli. "Tidak. Kamu kawanku."

Ah, ternyata, hanya dianggap kawan. Aku tidak suka. Aku ingin lebih.

Sedikit menyakitkan, namun tidak apa.

"Aku ada hadiah untukmu," lanjutnya, membuatku penasaran.

Padahal tidak ada apa-apa, hanya tangan kosong. Apa dia menipuku?

"Apa?" tanyaku, penasaran.

Sajak menatap lurus ke depan, ke arah danau yang tenang.

"Dia lagi tidur, di kamar kamu. Namanya Inci, dia imut....."

"Seperti kamu." Sajak menoleh ke arahku. Mataku masih menatapnya dalam sedari tadi.

Aku benar-benar tersipu malu.

Apa maksudnya? Dia menyukaiku?

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku mengangkat kedua alisku, berlagak sombong. "Makasih."

"Cih, kamu tahu tidak?" tanya Sajak.

"Apa?" balasku, heran.

"Aku bohong!" Sajak tertawa puas. Aku mencubit pinggangnya, hingga ia meringis kesakitan. "Kamu tidak lucu, kamu jelek."

"Sajak, ih!"

Aku berdecak kesal sambil membuang wajahku. Tangan Sajak mencubit hidungku. Ia tidak bisa membuatku marah begitu lama. Tiba-tiba, aku tersenyum malu, lagi dan lagi.

Terlihat menjijikkan, bukan? Ah, kalian tidak merasakannya. Itu tidak jijik, rasanya seperti tidur di atas sutra, nyaman.

"Utututu, kasihan," ejek Sajak.

Aku menatapnya sebal. "Aku pukul, nih?"

"Ja-"

Aku menaikkan sudut bibirku, setelah menonjok perut Sajak. Ini aku, orang yang tidak main-main dengan ucapan. "Ha ha ha."

Misheart 1983Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang