Malam ini hujan kembali turun mengguyur desa kecil minim penghuni ini. Rintiknya yang jatuh seakan sedang membentuk alunan nada-nada indah 'tuk membasahi genteng rumah. Udara dingin, seharusnya menjadi lebih menentramkan, mengingat kesejukan hujan selalu berhasil menenangkan setiap kegundahan hati.
Namun, ketika pikiranku mulai teringat pada pujaan hati, rasa panas seakan perlahan sedang melahap atma.
"Chandra, aku akan menikah segera," ucap Mentari untuk pertama kali, setelah sekian lama 'tak saling sapa.
Aku hanya menghembuskan napas gusar, kala teringat ucapannya. Entah apa yang perempuan itu pikirkan. Dia yang tidak sanggup memahamiku, atau memang aku yang terlalu cupu?
*********
"Mentari, tunggu!" teriakku penuh harap begitu netra hitam ini melihatnya berlari meninggalkanku.
Percuma saja, perempuan itu tetap berlari tanpa menghiraukan teriakan yang kian menggema dari balik punggungnya. Memang laki-laki bodoh sepertiku tidak lagi pantas untuk dimaafkan olehnya.
Dengan kekuatan yang tersisa, aku memaksakan kaki yang kebetulan masih terasa sedikit linu untuk tetap berlari demi mengejarnya. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini.
"Cukup, Chandra! Jangan kejar aku! Aku tahu, kakimu sedang sakit akibat bertanding barusan!" ucap Mentari kala kakinya berhasil berhenti.
Aku sedikit tenang, meskipun mentari berbicara tanpa menatapku yang tengah terseok-seok usai mengejarnya. "Tapi kenapa kamu tiba-tiba pergi begitu saja, apa salahku?" ucapku sedikit berteriak, mengingat jarak masih memisahkan belasan langkah.
"Nggak, nggak ada! Udah sana. Jangan ngejar aku lagi!" ucap Mentari dengan nada suara naik satu oktaf dari sebelumnya.
Cukup lelah rasanya aku bertanding di tengah panasnya sinar surya barusan. Namun, masalah malah dengan cepat datang dari perempuan ini. Jika saja tidak ada rasa dalam lubuk hati terdalam, tidak mungkin dapat kuberlari demi mengejarnya.
*******
"Bintang, Mentari kenapa, sih?" tanyaku pada Bintang yang kebetulan sedang menikmati semangkuk bakso di hadapanku.
Bukan jawaban yang aku dapatkan dari perempuan ini, melainkan kegaduhan benda cair yang ingin keluar dari pipet plastik. Aku rasa ini hanyalah sebatas waktu yang kurang tepat untuk bertanya.
"Huh, hah .."
Alih-alih bukan lagi jawaban, melainkan suara Bintang yang sedang kepedasan akibat bakso yang sengaja dia beri cabai tiga sendok.
Bintang memang suka makanan yang pedas, sebab selama kami berteman hanya dialah satu-satunya perempuan yang berani mengambil cabai terbanyak. Bahkan dia terbilang satu-satunya perempuan yang kerap menjuarai lomba makan pedas, dalam setiap periode acara di kampus. Lantas mengapa sekarang dia kalah oleh tiga sendok cabai saja? Bukannya itu seharusnya tidak terlalu pedas untuknya?
"Heh, pelan-pelan!" ucapku memberi peringatan, kala Bintang hampir tersedak.
"Emm, iya." Bintang menatapku tajam. "Emangnya, kemarin Abang habis apain Mentari?"
Aku hanya tersenyum miring saat mendengar pertanyaan barusan, sebab aku sendiri tidak tahu di mana titik kesalahan yang membuatnya seperti itu.
"Nggak ada loh. Perasaan kemarin normal aja tuh! Kemarin kita duduk di bawah pohon, ada kamu juga .. dan di situ aku lihat, Mentari fine aja saat aku bahas kalau pohon itu angker," jelasku sambil mengingat memori di mana dua puluh lima menit sebelum akhirnya Mentari pergi.
"Nggak mungkin dong, seorang Mentari takut hantu?" tanyaku sambil menaikkan kedua alis.
"B—bisa jadi. Emang Abang tahu, kalau dia nggak takut sama gosh?" balas Bintang dengan menaikkan kedua alisnya lebih tinggi dariku.
"I—iya juga, sih. Tapi sejak kapan dia takut?" jawabku lirih.
Aku sadar kali ini, mungkin apa yang dibicarakan Bintang barusan ada benarnya. Mengingat, Mentari orang yang benar-benar menutup diri perihal pribadinya. Cukup menarik memang, tapi sulit juga untuk digapai dan mengerti tentangnya.
Aku kembali melanjutkan aktivitas mengunyah, guna menghabiskan segera bakso di mangkuk putih yang telah kupesan sebelumnya.
Berbeda dengan kabar mangkuk milik Bintang sekarang ini yang telah habis, isi mangkukku masih saja dipenuhi oleh bulatan-bulatan kecil daging rebus berlumur tepung itu.
"Halo, guys! Maaf aku telat," ucap Mentari datang dengan membawa semangkuk bakso di atas tangan kanannya.
Kedatangannya saja mampu membuat hatiku tenang seketika. Entah mengapa, dia benar-benar membuatku candu setiap waktu.
Meskipun lagi-lagi aku ingat bahwa kita tidak akan pernah dapat untuk bersama dalam bahtera cinta.
"Mentari, maafin aku ya? Aku nggak tahu kalau kamu takut sama hantu. Janji, aku nggak bakal ulangi lagi." ucapku nelangsa, berharap perempuan ini mau memaafkanku.
"Iya, orang nggak ada apa-apa kok. Udah deh, baksonya enak nih," ujarnya.
Apa maksudnya? Apa itu artinya? Ah, akuakan semakin pusing jika harus berlama-lama memahaminya. Entahlah, dia benar-benar cukup rumit untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Terucap (Tamat)
Short Story"Chandra, aku akan menikah segera," ucap Mentari untuk pertama kali, setelah sekian lama 'tak saling sapa. Aku hanya menghembuskan napas gusar, kala teringat ucapannya. Entah apa yang perempuan itu pikirkan. Dia yang tidak sanggup memahamiku, atau m...