Dua

34 3 0
                                    


Gelap, tiada setitik pun cahaya di ruangan ini. Pekat, bahkan tak lagi dapat kukenali benda apa yang sedang berada di sekelilingku.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi saat ini? Bahkan aku saja tidak mengerti mengapa aku menyukai di dalam ruangan gelap.

"Huh .. ya Tuhan, hidupku sepertinya akan lebih rumit lagi, ya?" ucapku pada kegelapan.

Aku melangkahkan kaki pelan, guna mendekati gorden dengan harap cahaya senja sore ini sedikit menerangi ruang kamarku. "Semesta selalu indah, namun sering kupersulit," ucapku kembali bermonolog usai kusibakkan gorden kamar.

Pemandangan dari lantai dua rumahku terbilang cukup begitu elok saat pagi maupun sore menjelang. Letak yang strategis untuk dijangkau oleh matahari, membuatku semakin betah berlama-lama di ruang gelap ini.

Namun, rasanya hatiku akan selalu gelisah meskipun Tuhan telah menghiburku melalui keindahan dua senjanya di kamar ini. Entah mengapa, aku tidak lagi ingin bersemangat untuk hal apapun.

"Cukup, kamu punya masa depan yang panjang. Akan ada Mentari lain di luaran sana yang lebih baik pastinya," ucapku sambil berulang kali menampar pipiku sendiri.

Hatiku rasanya kian gelisah tak menentu, rasa cinta yang bersemayam di dasar hati ini memang tiada pernah layak tuk sekedar mengimpikan temu pada sang empu.

Terlebih lagi, perempuan yang begitu anggun seperti Mentari juga memiliki kriteria penampilan yang begitu tinggi. Aku tahu darinya sendiri, kala kami masih sering berkumpul di bawah pohon jambu.

Brukk

Mataku membelalak seketika usai mendengar suara kegaduhan di balik punggung. Tunggu, suara apa itu? Bukannya Author menggambarkanku di sini sendirian, lantas suara apa itu?

Pelan, langkahku mulai melacak sumber suara. Semakin aneh saja hari ini, bagaimana mungkin ada orang di dalam sini. "Huaaaa ..!"

*****

Lima menit berlalu, hampir saja jantungku terlepas dari tempatnya. Memang sialan laki-laki satu ini!
"Ah, pelan-pelan dong, Mas .." ringisnya kesakitan.

"Goblok!" ketusku seraya menampar lukanya kembali.

"Lagian, kamu ngapain di kamarku? Atau jangan-jangan mau maling ya?" tatapku tajam padanya.

"Ye, orang aku lagi ngangon Joni di sini,"

Hah, Joni? Sejak kapan Awan punya Joni, yang benar saja dia mencari alasan. Benar-benar menjengkelkan saja dirinya, untung saja tendangan serta pukulanku lima menit lalu tak terlalu kencang.

Andai kencang, mungkin tubuhnya telah membujur kaku membiru dengan sebutan mayat.

"Joni siapa!?" ucapku menaikkan alis.

"Oh iya, kamu belum tahu ya? Makanya nyalain dulu kamarmu, gila, sumpah! Gelap banget lagi," ujar Awan.

Ya, mungkin kondisi kamar yang gelap seperti sekarang benar-benar terlihat aneh bagi beberapa orang normal. Padahal senja sore ini telah berhasil masuk melalui celah gorden yang beberapa lalu kusibak, apakah matanya buta dengan sedikit cahaya itu?

"Noh, saklar di atasmu!" ucapku seraya mengenakan handuk untuk mandi sore.

"E—eh, kamu mau ke mana?"

Aku berdecak kesal, "Main sama Joni. Ya mandi, lah!"

"Oya, kamu kan belum lihat mai Joni, tunggu dulu!" Awan meraba tembok tuk menggapai saklar. "Nah .. ini dia. Tada, ini adalah mai Joni!"

"Stres!" ucapku kesal, kala netra hitam ini berhasil menyaksikan kumpulan nyamuk di dalam toples berbahan kaca.

"Eh, mau kemana? Ayo main dulu sama mai Joni!"

"Mai mai, bisa basa enggres nggak?" ucapku semakin kesal.

Aku bergegas memasuki kamar mandi, lagian menanggapi satu orang aneh ini hanya akan membuatku semakin gila saja, bukan?

Gemericik air shower perlahan membasahi sebagian tubuhku, usai pakaianku terlepas dari badan. Mungkin karena otakku banyak berpikir keras, kini terasa begitu nikmat kala rintik air mulai membasahi rambutku.

****

"Mandi sono!" pintaku pada Awan yang masih saja sibuk menatap nyamuk-nyamuknya.

"Ih, kamu kenapa suruh aku mandi? Oh, kamu—." Awan menatapku tajam. "Jangan-jangan gay, ya?"

Plak ..

Aku menamparnya keras usai pertanyaan yang sama sekali tidak penting itu. Entah apa yang dia pikirkan, benar-benar menjengkelkan saja!

"Mandi, atau aku usir dari rumahku!" ucapku dengan nada meninggi. Awan hanya diam seraya mengelus pipinya yang mulai memerah akibat tamparanku barusan.

"Iya, iya." Awan kembali menatapku lebih tajam dari sebelumnya. "Jangan sentuh-sentuh my Joni, paham."

Ah, yang benar saja orang aneh ini. Jangankan menyentuh, bahkan melihatnya saja aku tak lagi mampu. Lagi pula, apa yang membuatnya merawat nyamuk? Bukannya musim hujan lalu dia telah merawat ribuan berudu?

Yang Tak Terucap (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang