"Bodoh, bodoh, bodoh!" teriakku keras di dalam kamar.
Lemas, tidak ingin lagi rasanya untuk melanjutkan hidup. Aku benar-benar lelah malam ini. Rintiksedu pada netra rasanya tak lagi dapat menetes tuk sekedar mengiringi rasa sakit. Kering sudah air mata dari pelupuk, hanya perih yang kurasakan saat ini.
Angin kencang perlahan datang menggerakkan gorden kamar yang kebetulan masih terbuka. Kali ini kamarku memang tidak lagi dalam keadaan gulita. Seluruh buku terlihat berhamburan di kamarku, pecahan kaca pun turut berserakan.
"Buk, Chandra sudah besar sekarang,"
Sayup, angin tampaknya sedang membawa pesan untukku. Memangnya kenapa jika aku sudah besar?
"Ya, Ibu masih ingat. Waktu kemarin dia ingin melamar perempuan, Pak,"
Benar, aku telah mempersiapkan sesuatu kemarin. Sebelum akhirnya patah hati tuk pertama dan terakhir kalinya kini. Aku hanya sebatas berani tuk mempersiapkan rencana indah, akan tetapi tak berani mengungkapkan isi dalam hati guna mewujudkan mimpi.
"Terus bagaimana dengan perempuan yang akan kita jodohkan, Buk?"
"Biarlah, Pak. Chandra juga punya pilihan,"
Aku bergegas berdiri tuk mendekati sumber suara itu. Tidak ada rasa ragu lagi sekarang ini, aku harus segera memutuskan semuanya. Namun, bagaimana dengan keputusan saat emosi ini?
"Tunggu, jangan sekarang," ucapku bermonolog kala mengingat keputusan berat yang akan kuberi.
*****************
"Apa kamu benar-benar serius dalam hal ini?" ucap Pria tua yang sedang duduk di depanku.
Jantungku sedang berdegup kencang saat ini, tanganku pun mulai basah tak sanggup lagi melanjutkan momen ini.
''Iya, saya serius,"
Perlahan sapuan dari telapak tangan, terasa hangat sedangkan mendarat di pundakku seakan menguatkan. Sentuhan itu perlahan berhasil menggores sketsa senyum di bibir, kala netraku berhasil menyaksikan wajah positifnya.
"Apakah ini yang kamu tunggu selama ini?"
"Iya, tentu saja, Pak,"
"Baik," jawab pria tua itu.
Tidak lama kemudian, sebuah langkah lembut hadir dari balik tirai gorden yang menutup pintu pembatas antara dua ruang tempat kami berkumpul.
Perempuan itu tampak begitu anggun mengenakan gamis berwarna hitam keluar tuk menuju ke arah kami.
Benar-benar tampak lembut dengan sebuah niqab bandana yang menutup indah wajahnya.
Entah mengapa kedatangannya membuatku tersenyum sempurna. Bulu alis tebalnya sangat elok terlebih lagi garis mata sipitnya saat tersenyum ke arahku. Aku memang tidak dapat melihat wajahnya terlebih bibirnya kala tersenyum.
Namun, berkah beberapa kitab yang pernah aku pelajari selama ini, mata ini seakan dapat mengenali betapa indah wajahnya. Sungguh benar-benar menentramkan hatiku kala dia terduduk di depanku sekarang.
"Ini, kamu boleh lihat wajahnya," ucap pria tua itu.
"Tidak perlu, Pak. Saya sudah yakin,"
Entah mengapa, dengan mudahnya hati meminta bibir tuk mengatakan hal demikian. Apakah memandang indah wajahnya itu tidak perlu dalam proses ini? Bagaimana jika dia tidak cantik seperti apa yang ada dipikiran?
"Kenapa yakin?"
"Saya sudah berulang kali menatap wajah saya di dalam cermin, Pak. Saya yakin, jodoh saya tidak akan jauh berbeda dengan wajah saya. Anak Bapak pasti sangat cantik saat ini, saya benar-benar yakin,"
Sesuatu dingin perlahan melingkar pada jemari, begitu menentramkan kalbu kala sentuhan lembut itu meraih jari. Bibirku tersenyum sempurna saat itu terjadi di depan kedua mataku.
"Apa kamu siap menikah denganku, Zaira?"
"Chandra, sungguh aku siap menjadi istrimu,"
Ya, aku telah memutuskan keputusan besar pada hari ini. Aku telah yakin pada keputusan ini. Meminang perempuan lain dan mengikhlaskan Mentari jauh lebih baik daripada harus meratapi perasaan pedih.
Sebulan lalu, aku telah membicarakan hal ini dengan kedua orang tuaku, usai pembicaraannya di atas balkon malam itu. Dan sekarang tidak ada lagi yang membuatku perih saat pernikahan Mentari dan Awan terjadi bulan depan.
****
"Chan, selamat," ucap Bintang menatapku sendu.
"Thanks," balasku singkat menyaksikan pasang surut air laut.
"Jujur, dulu aku mencintaimu,"
"H—hah!?"
Bintang berlari meninggalkanku usai mengucapkan kata-kata barusan.
Entah kebenaran apa yang barusan perempuan itu katakan. Bukannya dia juga dijodohkan oleh orang tuanya? Lantas apa yang dia pikirkan selama ini, apa maksudnya?
Sungguh, sejauh ini cinta benar-benar rumit dan membuatku pusing saja. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Ketika engkau mengikhlaskan suatu hal yang membuatmu nyaman. Engkau menjaga cinta dengan baik dan aman. Tuhan yang tak pernah tidur akan memberimu ketenangan tanpa engkau minta," ucap Zaira kala bertemu dengan Bintang di balik punggungku.
Jadi, apakah Zaira mendengar pembicaraan barusan? Sangat diluar dugaan. Tidak salah lagi aku memilihnya sebagai calon istriku. Sekarang aku mengerti, bahwa tidak semua cinta harus diwujudkan.
Tidak semua rasa harus dibalas dengan cinta, tidak semua cinta berakhir dengan bahagia. Adakalanya kita harus berjalan menemukan hal baru untuk lebih mengenal lagi perasaan kita.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Terucap (Tamat)
Historia Corta"Chandra, aku akan menikah segera," ucap Mentari untuk pertama kali, setelah sekian lama 'tak saling sapa. Aku hanya menghembuskan napas gusar, kala teringat ucapannya. Entah apa yang perempuan itu pikirkan. Dia yang tidak sanggup memahamiku, atau m...