Empat

49 3 0
                                    

Hijau dedaunan mulai basah, membawa butiran embun jatuh membasahi bumi lembab. Angin tipis menggoyang dedaunan, langit kelabu memudar berganti biru cerah dengan intipan matahari di balik eloknya.

Hujan akhir ini memang sering turun mengguyur bumi pertiwi. Suasana di kampus benar-benar terasa sejuk siang ini.

"Mentari!" teriakku kala netra hitam ini mengenalinya sedang berjalan melewati, tanpa menyapa diri.

Perempuan itu hanya melirik, tidak ada satupun kata yang dia ucapkan guna membalas teriakanku barusan. Benar-benar ada yang aneh dengannya, perempuan itu kian sulit kutebak saja.

Sudahlah, lagian pula pemandangan siang yang begitu indah tidak layak apabila kunodai dengan pikiran buruk tentangnya.

"Chan, mana Mentari?" tanya Bintang sambil menepuk pundakku.

"Tahu tuh," jawabku singkat, lalu kembali memainkan benda canggih berbentuk kotak yang tengah membuatku tersenyum.

"Ah huh hah .. Chan,"

"E—eh, kenapa kamu?!" ucapku terkejut, saat menyadari Bintang terduduk lemas di atas lantai.

Aku bergegas mengemas ponselku agar dapat fokus pada kondisi Bintang kini. Wajah pucatnya benar-benar membuatku khawatir saja, terlebih lagi rambutnya yang mulai tidak beraturan menutupi sebagian wajah.

"Bintang, kamu kenapa, hah? Habis makan apa tadi?" ucapku penuh pertanyaan khawatir.

Bintang hanya terdiam lemas, tatapan kosongnya terfokus pada satu sudut. Apakah dia kerasukan? Akan tetapi makhluk apa yang merasuki tubuhnya? Astaghfirullah, semakin menyusahkan saja!

"Air, air mana air!" teriakku kala seluruh mata telah tertuju pada satu sumber masalah.

Begitulah rakyat plus enam dua saat ada musibah, bukan ikut serta untuk membantu malah banyak yang mengangkat ponsel untuk merekam. Banyak yang berkumpul hanya sekedar ingin tahu, banyak yang berbicara namun kosong arti.

"Kamu kenapa?" bisikku pasrah di dekat telinganya.

Tubuhku terasa lemas, badanku gemetar tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Seluruh orang telah menyaksikan kami yang kini terduduk. Apakah yang sebenarnya mereka lihat dari musibah?

"Ini minumnya, Bintang kenapa?" ucap Mentari dengan mengulurkan segelas air putih.

"Kamu kemana aja, ha!?" bisikku penuh amarah padanya.

Mentari hanya terdiam tak berkulik apapun. Tubuhnya turut lemas menyaksikan kondisi Bintang yang masih saja menatap satu sudut.

**********

"Puas sekarang, hah!? Puas sekarang! Atau mau lagi, hah!" ucapku tak sanggup lagi menahan amarah.

"Stop! Nggak usah kasar sama perempuan!" timpal Awan.

"Diam! Saya nggak ada urusan dengan Anda!" ucapku menurunkan nada dengan penuh emosi.

Tubuh Mentari hanya terdiam lemas bersandar pada dinding yang didominasi oleh warna broken white.

Perempuan itu masih saja tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Sedangkan kondisi Bintang saat ini masih tidak berdaya di dalam kamarnya, dengan infus menempel. "Chan, maafin aku,"

Aku memalingkan wajah kala Awan masih menatapku penuh amarah. Tidak seharusnya Awan ikut campur dalam urusan kami. Ini benar-benar akan membuat masalah menjadi runyam saja.

"Berdiri," ucapku dengan nada lesu.

Bukan respon baik yang Mentari beri, justru perempuan itu masih saja terdiam dari tempatnya.

Brakkkk ..

Sesuatu dengan keras telah menghantam tepat mengenai ulu hatiku. Laki-laki sialan itu benar-benar membuatku marah.

"Stop!" bentak Mentari saat menyadari tubuhku tersungkur di hadapannya. "Awan, kamu pergi dari sini!"

"T—tapi?"

"Pergi!"

Ketukan langkah Awan berhasil senyap dari indera pendengaran. Tubuhnya telah hilang dari jangkauan mata. Bagus, dia memang lebih baik pergi dari hadapanku.

"Chan, kamu nggak apa-apa?"

"Stop! Stop! Jangan lagi urus hidupku!" ucapku kesal seraya bangkit dari pijakan.

****

"Bintang, cepat sembuh ya. Maafin aku, nggak bisa jadi teman yang baik buat kamu,"

"Udah, jangan ngomong gitu lagi," balasku saat menyadari netra Mentari mulai berembun. Perempuan itu hampir saja meneteskan air matanya.

"Nangis nggak bikin semua baik-baik saja. Sebenarnya apa yang sedang terjadi selama ini?" tanyaku padanya.

"Tadi aku lihat Bintang makan pedas banget," jelas Mentari padaku.

Aku menghembuskan napas gusar. Bintang tidak mungkin melakukan hal bodoh itu, tanpa sebab. Tiga hari ini Bintang sering menyendiri dan menghindar tanpa alasan. Apakah Bintang sedang ada masalah sekarang?

"Semua pasti gara-gara kamu! Kamu tuh perempuan. Memahami perempuan lainnya saja apa nggak becus? Dia temanmu apa tidak!?" ucapku lirih.

"Iya, aku minta maaf, Chan," balas Mentari.

"Kamu bilang, kamu nggak bakalan berubah. Kamu bilang, kamu ingin memperbaiki diri. Memperbaiki diri dengan jatuh cinta, iya? Ha ha ha," ketusku lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Yang Tak Terucap (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang