Tiga

37 3 0
                                    



"Cukup, Chandra!"

Teriakan Mentari kembali mengusik telingaku. Sungguh, bagai tersambar petir pada siang hari.

Detak jantungku berdegup kencang tak beraturan, saat menahan amarah yang akan segera memuntahkan ribuan kata tuk menyayat hatinya detik ini juga.

Tak pernah aku sangka, perempuan ini benar-benar menyakitkan. Bahkan rasa sakit begitu dalam melebihi kebahagiaan yang pernah kuimpikan sebelumnya.

"Chandra, ayo." Ragil mengelus pundakku. "Kapten masa nggak semangat gitu. Mau menang nggak, nih!?"

Bibirku dengan bijak membalasnya menggunakan senyuman yang begitu sempurna. Ada benarnya juga ucapannya barusan. Lagian pula, untuk apa aku marah hanya karena Mentari tidak suka futsal? Bukankah itu haknya?

********

Peluit panjang telah berbunyi dari lima belas menit yang lalu, untuk memberi isyarat bahwa pertandingan telah berakhir.

Masih sepi, dengan rasa sesak di dada akibat perlakuan Mentari sebelum pertandingan dimulai.

"Nih, minum dulu!" ucap Bintang sambil mengulurkan sebotol air minum padaku.

Aku bergegas meraihnya guna meneguk cairan dingin itu. Kerongkongan ini terasa begitu segar kembali, kala benda cair berhasil mencapainya.

"Mentari nggak datang lagi?" tanya Bintang dengan tatapan sayu.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman ikhlas, berharap dia tak lagi merasakan perih yang sengaja kusimpan rapat di kalbu.

"Eh, tadi gimana pertandingannya. Bagus atau tidak?" Tanyaku, berharap mencairkan suasana.

"Bagus, keren banget. Mana menang lagi, dong tadi. The best pokoknya!" seru Bintang sambil mengayunkan kedua jempolnya di udara.

Aku hanya terkekeh kecil melihatnya yang tampak polos dan lugu. Tidak lama kemudian, kudaratkan telapak tangan guna mengusap lembut ujung rambutnya.

Bintang yang terdiam menatapku malu, seraya berkata, "Chandra .."

"Em?" tanyaku dengan menaikkan satu alis.

"Kenapa kamu elus kepalaku?"

"Karena kamu lucu. Nggak suka ya?" tanyaku lalu bergegas menghentikan tanganku.

Entah mengapa, siang ini angin begitu kencang berulang kali menerpa pohon tempat kami meneduh. Aku pikir, mungkin hujan akan segera datang untuk kembali mengguyur desa kecil ini, kala netraku usai berhasil mengamati langit yang sendu itu.

"Chandra, aku tahu kamu pasti sedih dengan sikap Mentari barusan,"

"Ssst .. pulang, yuk! Kayaknya bakalan hujan deh,"

*******

Nuansa tradisional mulai memanjakan netra. Kursi dan meja berbahan kayu yang tertata rapi turut meramaikan kesan unik. Aroma seduhan kopi terus saja mengepul mengharumkan meja bernomor delapan puluh satu kini.

"Chandra, kamu suka kopi?" tanya Bintang padaku, kala secangkir kopi mendarat di mejaku tiga menit yang lalu.

Suasana begitu ramai sore ini, bahkan rasanya hampir seluruh kursi tak ada yang tersia. Benar saja, semua terlihat dipenuhi oleh para pemuda penikmat senja. Ya, kebetulan saja saat sore hari kafe ini juga menyuguhkan jingganya sang senja yang begitu indah.

"Nggak begitu suka. Kenapa emang?" jawabku.

"Terus kenapa kamu pesan kopi? Kan kamu bisa tuh pesan susu," protes Bintang.

"Kamu, kenapa pesan es? Padahal habis kehujanan tadi," balasku.

Hujan memang benar-benar turun beberapa waktu lalu, sebelum kami benar-benar meninggalkan area kampus. Bahkan pakaian yang kami kenakan masih saja terasa dingin akibat rintik yang berhasil membasahi.

Beruntung saja kami dapat singgah di kafe ini, kalau saja tidak dapat tempat berteduh, mungkin kami akan masuk angin akibat kedinginan.

"Em, iya juga. He he." Bintang terkekeh kecil sembari menatap penasaran pada meja depan. "Itu Mentari?"

Deg ..

Tiada terpikirkan sebelumnya, perempuan itu benar-benar Mentari. Dia sedang bercanda gurau bersama Awan di meja itu.

Apa yang sebenarnya Mentari pikiran selama ini. Bahkan tadi dia sempat menolak mentah-mentah, padahal hanya ingin memintanya datang di pertandinganku, itu saja! Dan sekarang dengan entengnya dia bersama Awan di kafe ini?

"Chan, heh!" ucap Bintang padaku.

Aku kembali tersadar dalam lamunanku. Sungguh benar-benar tidak dapat aku mengerti. Rasa sakit selalu datang darinya berulang kali.

Siapa yang salah sekarang ini? Aku yang terlalu berharap dan bergantung, atau dia yang tak punya rasa manusia?

"Biar aku panggil dia ya?"

Netra hitamku menatap dengan seksama wajah Bintang yang memang sedang duduk di kursi depanku, "Ssstttt ... biarin aja, kamu mau pesan makan sekalian?" tanyaku sambil tersenyum.

Mentari terlihat begitu bahagia bersama kumpulan hewan milik Awan. Benar-benar di luar dugaanku, yang kupikir perempuan anggun itu tak memiliki rasa ketertarikan pada hewan aneh milik Awan. Ternyata akulah yang salah selama ini.

Yang Tak Terucap (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang