Lima

48 3 0
                                    

Hari ini cuaca begitu cerah dengan secercah sorot matahari yang menyilaukan mata dari ujung cakrawala.

Aku merunduk kala sinarnya berhasil menerobos bulu lentik pada netra. Alam memang selalu memberikan kebaikan dan ketenangan. Namun, aku rasa yang indah seperti ini tidak perlu kupaksakan untuk ditatap secara dekat.

Seperti kalanya aku mencintai Mentari, kehangatan atas hadirnya memang selalu menentramkan hati. Namun, tak dapat kujangkau dalam kedekatan karena ketakwaan pada Tuhan.

Entahlah, aku rasa perasaan cinta ini akan berakhir dengan nestapa. Kedekatannya dengan Awan saja sudah mulai kudengar setiap hari.

Benar, rasa cemburu kerap hadir membawa diri pada tangis. Namun, apalah dayaku kini, untuk memberontak saja tidak akan mengubah perasaannya, bukan?

Kasih sayang yang tulus dariku selama ini, tak dapat perempuan itu mengerti sama sekali. Meskipun begitu, Awan tetaplah teman yang terbaik.

"Sekarang, untuk apa aku marah dan cemburu seperti ini? Bukankah, dahulu aku sendiri yang meminta mereka untuk saling mengenal?" ucapku bermonolog di tengah sinar matahari yang mulai menghangatkan tubuh.

Ya, aku sendiri yang meminta takdir ini terjadi, aku juga yang merasa tersakiti. Benar-benar laki-laki yang bodoh!

"Aku pikir engkau memiliki hati yang begitu kuat. Ternyata, melepasmu adalah kesalahan terbesarku," ucapku lirih.

Sinar jingga matahari pagi ini masih setia menghangati tubuhku. Sudah lama sejak perdebatan hebat di klinik, aku tak lagi menemui siapapun. Terlebih lagi saat ini pandemi masih saja menjadi momok yang membatasi pertemuan.

Kuliah sekarang datang kembali menjadi daring, semakin tidak memungkinkan untuk aku bertemu lagi dengan mereka. Kerinduan kerap kali datang menyelinap di tengah malamku guna menemani otakku yang mulai overthinking.

"Halo, wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," ucapku usai mendengar dering ponsel panggilan WhatsApp.

"Chan, apa kabar? Kamu sekarang di mana?" tanya Mentari padaku.

Sungguh tidak pernah terpikirkan olehku, ternyata dia mencariku tanpa aku yang memulainya dahulu. Untuk apa perempuan ini mencariku sekarang?

"Baik, di tepi pantai. Ada apa?" ucapku seraya menatap ombak yang mulai berlari-larian.

"Oh, berarti benar. Tunggu, aku turun dari mobil dulu. Jangan dimatikan teleponnya,"

Hah? Apa maksudnya? Yang benar saja dia ini. Oh, atau mungkin sekarang dia telah melihatku? Sudahlah, lagipula aku datang ke pantai ini untuk healing agar bisa move on darinya.

Kunikmati kembali sinar jingga pagi ini, desiran ombak masih tampak elok di depanku. Angin pagi turut menentramkan hati. Aku berharap besar, semoga kedatanganku di sini dapat membantu merefresh otak supaya lupa akan perasaanku pada Mentari.

"Chan!"

Tunggu, suara itu benar-benar tidak asing bagiku. Apa benar itu Mentari? Atau hanya perasaanku yang kalut saja?

"Chandra, aku rindu sama kamu." Mentari berlari kencang untuk mendekati atma. "Bintang mana?"

Benar saja, perempuan ini Mentari. Bagaimana caranya aku cepat move on kalau seperti ini terus? Ah, sialan!

"Ya mana aku tahu," jawabku menyambutnya datang.

"Oh, nggak lagi sama Bintang?"

Aku kembali menatap lautan tuk mengabaikannya. Meskipun begitu, dari ujung ekor mataku masih terlihat dengan jelas Mentari yang mengenakan gaun putih itu terduduk di sampingku.

"Chan, masih marah sama aku?" ucap Mentari seraya menepuk lembut tanganku.

Aku bergegas menggeser tangannya saat menyadari sentuhan lembut berhasil menenangkan hatiku. Entah mengapa, meskipun aku mencintainya, rasanya tak sanggup jika harus ternodai dengan hal yang bodoh seperti ini, sekalipun itu hanya sebatas sentuhan biasa.

"Nggak, nggak marah," ucapku usai berhasil mendaratkan tangannya pada sang empu.

"Maaf, tanganku kotor ya?" tanya Mentari padaku.

Aku memang merasa diawasi olehnya, terlebih dengan sorot tatapan yang begitu hangat. Mungkin, ini yang disebut dengan sebuah kebetulan yang begitu menyenangkan.

Bagaimana tidak? Sekarang dua ciptaan Tuhan sedang sama-sama menyenangkan hatiku. Bahkan kala sebelum gelombang menyapu kaki, aku masih sempat meminta agar kisah ini tak akan pernah berujung nestapa.

"Chandra, aku akan menikah segera," ucap Mentari untuk pertama kali, setelah sekian lama 'tak saling sapa.

"Bagus, sama siapa?" tanyaku memberanikan diri tuk menatap wajah indahnya.

"Sama Awan. Dia bilang akan segera datang ke rumah untuk melamar,"

Aku bergegas beranjak dari tempat terduduk. Bukan hanya sengatan hangat matahari dari balik cakrawala saja yang berubah menjadi panas, sekarang hatiku terasa sesak dan otakku tak dapat lagi berpikir.

"Chandra." Mentari kembali menyentuh lembut kulit. "Kamu jangan lupa datang, ya!"

Aku bergegas mengubur mimik wajah kesedihan dengan senyum tulus agar tidak membuatnya kecewa. Bagaimanapun juga, cinta tidak selamanya harus ditunjukkan dan diungkapkan. Setidaknya juga Tuhan telah memberikan kesempatan untukku mencintai dan mengasihinya setulus hati.

"Iya, aku pasti datang," ucapku seraya mengelus ujung rambutnya.

Ingin rasanya aku memeluknya erat, guna mengadukan perasaan ini di depan gencarnya sinar matahari. Namun, itu tidak mungkin dapat kulakukan.

Yang Tak Terucap (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang