Kejutan

516 50 151
                                    

"Wahaha ... kejarlah kalau kau bisa, Hali."

"Ish ... Gerakan Kilat!"

"Ice! Bangun, woi! Ada guru di kelas!"

"Astaga! Iyakah? Selamat pagi, Pak Guru. Mohon maaf, Pak, saya ... aih?"

"Ppppfffttt!"

"Ooh, ternyata prank-mu, Blaze? Rasakan ini! Meriam Pembeku!"

"Gawat! Kabur!"

"Awas kau, Blaze!"

"Yo ... yo ... yo, what's up, guys? Gimana kabar fans-ku? Kalian terpana oleh kegantengan Solar ini 'kan? Oh, pastinya dong! Wuahahaha ... hoho!"

Kegaduhan merupakan ciri utama dari kediaman Boboiboy bersaudara. Rumah tersebut tidak pernah sunyi, kendati tengah malam. Tidak jarang, tetangga di sekitarnya risih dan melayangkan protes ke Tok Aba, selaku pemilik rumah dan kakek dari kelima sumber kebisingan. Namun, saat ini, Tok Aba berlibur ke luar pulau. Gempa, senang atau tidak senang, harus melayani beribu-ribu komplain.

TING ... TONG ...!

"Halo, ada orang? Saya mau bicara dengan Gempa."

"Hem ... siapa yang berkunjung ke sini? Hah ... jangan-jangan, Pak RT lagi," gumam Gempa.

"Halo, Nak. Ini Pak RT," ucap pria dari teras rumah.

"Nah, 'kan, benar yang kutebak. Iya, Pak RT .... Bentar," tanggap Gempa.

Dari dapur, Gempa berjalan lurus ke depan pintu rumah. Lantai di ruang tamu berlubang-lubang, akibat perkelahian dahsyat antara Duo Boboiboy Cool dan Duo Boboiboy Happy. Ia tidak memperbaikinya, walaupun rusak berat. Diperbaiki atau tidak pun, tetap saja lantai itu akan berlubang nantinya, entah sebab ulah saudaranya sendiri atau hal lain.

CKLEK ... KRIET ....

"Pak RT, ngapain datang ke sini lagi? Mau nasihatin saya? Pak ... Bapak ... Bapak tuh datang ke rumah saya, hampir sepuluh kali dalam lima jam ini. Bapak nggak letih?" tutur Gempa.

"Ehm, bukan begitu tujuannya. Saya ke sini, ingin membagikan ini," ujar Pak RT sembari menyerahkan brosur ke kakak ketiga dari Boboiboy bersaudara.

Dia mengambil dan membaca isi brosur. Dahinya mengernyit. "Pak RT, ini acara nikah siapa?"

"Eh ... astaga! Maaf, saya salah brosur. Sebentar, saya ambil dulu," jawab Pak RT, mencari brosur yang dimaksudkannya di dalam tas ransel.

Tumben dia datang, tidak untuk menatarku. Lalu, apa alasannya kemari? Hemm ..., batin Gempa.

"Duh! Di mana sih, saya menaruhnya? Kok saya ... aha, saya telah menemukannya .... Gempa, ini ya," kata Pak RT, memberikan brosur.

"Iya," balas singkat Gempa dan menerimanya.

Kemudian, Gempa membaca kertas yang dipegangnya. Sontak, raut wajahnya berubah. Bukan heran seperti tadi, melainkan kaget setengah mati.

"Lah, Pak ... saya udah disunat, Pak! Untuk apa Bapak beri brosur ajakan sunatan massal? Masa potong dua kali? Ah, Bapak salah orang nih!" omel Gempa.

"Nggak mungkinlah! Saya lihat di daftar peserta, dan satu di antaranya adalah B. Solar. Ayahmu yang daftarkan anak ini," sanggah Pak RT.

"Loh ... emang-nya, kapan, Pak?" tanya Gempa kebingungan.

"Hari ini," lontar Pak RT.

"Namanya siapa, coba?" soal Gempa lagi.

"Heh, namaku Bayu! Seenaknya saja, Anda mengubah nama orang!" tuding Pak RT.

"Idih, nuduh orang! Situ juga nyari masalah sama saya, ngaku si Amato daftarkanku untuk sunat kedua kali!" tuding balik Gempa.

"Tapi, itu fakta, ya? Tidak kayak argumen Anda," cibir Pak RT.

"Lho ... loh ... loh ... loh ... loh ... waduh! Lancang sekali memfitnah saya! Asal Anda tahu, saya punya bukti valid. Apakah saya perlu menunjukkan sertifikatnya?" tangkis Gempa.

"Saya tidak percaya!" tegas Pak RT.

"Hmm ... Gempa ...," panggil seseorang.

"Ho'oh ... tunggu dulu, Pak ... tunggu! Lagi asyik berdebat sama Pak RT ... sabar ... sa—" pinta Gempa.

"Ini Amato, ayahmu, Gem," sela Amato.

"Oh," respon Gempa sekenanya.

"Kenapa bilangnya, 'oh,' doang? Kenapa, Gem? Kenapa? Kenapa?" berondong Amato.

"Ih! Kau paham enggak? jangan ganggu a—" berang Gempa.

"A—a—ayah ...," cakap Gempa gugup.

Bersambung ....

Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang