Kejutan : Bagian (2)

373 41 95
                                    

"Ih! Kau paham enggak? jangan ganggu a—" berang Gempa.

"A—a—ayah ...," cakap Gempa gugup.

"Amboi ... asyik banget kalian berdebat, ya? Sampai-sampai, ayahnya sendiri diabaikan," cibir Amato.

"Idih! Sejak kapan, aku punya ayah kayak kau? Heh ... nama bapakku tuh Soni, bukan Amato!" bantah Pak RT.

"Lah ... siapa juga yang ngomong sama-mu? Aku 'kan bicara dengan anakku. Ih, dasar geer!" sangkal Amato.

"Hmm ... begitu? Jika demikian, mengapa Anda menggunakan kata kalian dalam pembicaraan sebelumnya? Bukankah, Anda bilang, bahwa orang yang Anda ajak ngobrol itu anak Anda?" tutur Pak RT.

"Hoho ... mohon maaf, ya .... Tetapi, omongan saya tadi, tidak sama sekali merujuk kepada Anda. Mohon tidak asbun saat melontarkan statement, ya, Bapak Subandi?" sanggah Amato.

"Hah? Siapa Subandi? Saya ini Bayu!" marah Pak RT.

"Oh ... nama Bapak, Bayu Subandi, gitu?" respon Amato innocent.

"Haduh! Situ paham bahasa saya atau tidak sih? Saya ini Bayu! B-A-Y-U! Bayu! Ngerti?" tegas Pak RT.

"Wah ... kalau itu mah, saya ...," jawab Amato.

"Saya apa? Coba dilanjutkan," potong Bayu.

"Kalau itu mah, saya hampa, Pak," lanjut Amato sekenanya.

"Oh, seperti itu? Apakah saya per—" tanggap Bayu.

"Sudahlah, Pak RT .... Marilah kita ber—" bujuk Amato.

"Lancang sekali Anda menginterupsi saya!" murka Bayu.

"Halah ... kau juga motong ucapanku kok! Memangnya kenapa, heh? Nggak terima? Merasa dihina? Mau adu jotos? Ayo!" tantang Amato.

"Heh ... kurang ajar! Anda telah mencabik-cabik harga diri saya, selaku ketua rukun tetangga! Mari kita berduel!" pekik Bayu.

"Nah, bagus ... keren! Inilah yang kutunggu! Ayo! Hiyah ...!" seru Amato.

"Hiyah ...!" jerit Bayu.

DUM ... PLAK ... BUAR ... DUM!

"Aduuh! Auch ... assh ... auw ... sakit ... duh! Astaga ... badanku remuk, kayak tertimpa sepuluh gajah sekaligus! Argh ... punggungku!" rintih Amato.

"Huh ... dasar Duo Goblok!" ketus Gempa.

"Gempa .... Kau ... kau sungguh tega terhadap ayah tercintamu .... Mengapa engkau memukuliku, Anak Durjana?" protes Amato.

"Wahai bapakku durjana .... Dirimu telah menyebabkanku tidak memiliki muka lagi! Tidakkah engkau sepatutnya memikirkan perasaan anakmu? Kenapa kau tidak peduli? Mengapa kau tak bertanggung jawab, bersembunyi di balik slogan terkenalmu? Kenapa? Kenapa? Kenapa?" berondong Gempa.

"Oi ... oi ...! Kalian bisa diem nggak? Ribut mulu! Gue jadi susah nih ngevlog-nya. Entar, followers gue berkurang, gimana? Emang, lo pada tanggung jawab?" tegur Solar.

"Eh ... lo siapa? Datang-datang langsung buat masalah," ucap Solar.

"Maksudmu, saya?" sahut Pak RT, mengelus pinggangnya yang sakit.

"Bukan lo, tapi dia," balas Solar, menunjuk wajah Amato.

"Ooh ... kirain saya. Maklumlah, saya 'kan primadona di sini," ujar Pak RT, menyanjung diri sendiri.

"Dih ... pede amat jadi orang! Lebih terkenal gue kali," tangkas Solar.

"Stop ... stop ... stop it! Please, stop our fight! Kalau begini terus, kapan kita ke intinya?" sela Amato.

"Inti apa, Pak?" soal Solar.

"Inti bumi," sinis Amato.

"Widih ... kebetulan, Pak! Itu bagian dari kajian-kajianku! Saya akan jelaskan, ya. Menurut teori dari si—" ungkap Solar.

"Aarghh ... ya ampun, Solar! Bapak tidak bertujuan membicarakan hal tersebut!" geram Amato.

"Lah, Pak ... lalu?" lontar Solar kebingungan.

"Hem ... seingat Bapak, kamu belum disunat 'kan, Solar?" soal Amato.

"E—eh ... ehmmm ... i—iya, Pak," sahut Solar malu.

"Oke .... Solar ... besok sunat, ya, Nak?" imbuh Amato.

"A—apa? Sunat? Besok? Ha—ha—ha—ha—ha—"

BRUK ...!

"Yeh ... pingsan pula si Solar tuh."

Bersambung ....

Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang