Pria Misterius

267 26 28
                                    

"Wait ... wait ... wait, semuanya ...! Solar di mana? Kok menghilang?" sela Taufan.

"Ish ... lo sih! Gara-gara lo nih, rencana kita jadi berantakan kayak gini!" tukas Ice kepada Taufan.

"Lah ... kok gua sih penyebabnya? Gua 'kan nanya, Bego! Ngapain juga lo main tuduh-tuduh gua segala?" tangkas Taufan, tidak terima atas ucapan Ice barusan.

"Iya ... terserah gue dong! Mau ngomong apa? Emang lo siapa, heh?" tanggap Ice, mendorong bahu Taufan sangat keras, sehingga nyaris menyebabkan Kakaknya terbaring di permukaan tanah.

"Apa maksud lo gituin gue tadi? Lo ngajak berantam sama gue ... hah?" murka Taufan.

"Ahaha ... memang benar ... benar banget malahan ...!" lontar Ice seraya menengok ke sana ke sini. Hampir seluruh anggota tubuhnya, dari kepala sampai kaki, bergoyang ria, seperti sesuatu yang membuat dirinya euforia.

"Oi ... oi ...! Ice! Kalau bicara ntuh, lihatin muka orangnya dong! Kagak ngarti tata krama lo?" tegur Taufan.

"Apaan sih? Jangan ganggu gua, ah! Gue lagi dating dengan Cokelatku! Oh ... My Lovely Chocolate .... Engkau sungguh manis, Honey, mampu melelehkan hatiku yang beku ini!" papar Ice.

"Ice! Lo sinting, ya? Nggak ada sejarahnya di dunia ini, cokelat itu bisa diajak ngobrol, apalagi ngedate! Ngaco lo!" jelas Taufan, membentaknya.

"Yeh ... itu 'kan duniamu. Dunia kita lain ... betul 'kan, Coklat?" sanggah Ice, merangkul lelaki yang gemar mengucapkan slogan terkenal, berdikari, Amato.

"Ck! Ish ... Ice! Lepasin gue! Gua ini bokap lo, Ogeb!" hardik Amato.

"Ah ... siapa bilang lo bokap gue? Eh ... tampang lo aja jauh ... lo tuh terlalu jelek untuk dikatakan ganteng seperti gue ...," cemooh Ice.

"Sembarangan saja Anda berbicara! Kegantenganmu juga datangnya dari saya, tahu! Dasar ...! Manusia tak tahu diri dan tak pandai berterima kasih!" ketus Amato.

"Heh ...! Dengar baik-baik, ya ... Tomat! Lo ngatain anak lo tidak tahu diri ...? Hello ...! Justru, lo yang begituan! Anak kandung lo yang masih remaja, dititipkan sama ayah lo yang usianya udah senja. Sebenarnya, tanggung jawab lo di mana sih? Sampe ngelemparkan tugas lo sebagai orang tua ke bokap lo? Lo nggak kasihan dengan bapak dan anak lo? Gua bisa maklum, kalau lo berbuat itu untuk masa depan anak lo, tapi ... lo kerja bukan demi anak-anak lo ...," terang Mechabot sembari jari telunjuknya mengarah ke muka rekan kerjanya.

"Apa?" pekik Gempa, Halilintar, Ice, Blaze, Taufan, dan Thorn.

"Lantas ... untuk siapa, Mecha?" tanya Gempa dengan suara lemah, syok terhadap tuturan Mechabot.

"Masa kamu tidak paham ucapanku, Gem? Pastinya, untuk orang yang dirahasiakannya lah ... alangkah baiknya, kamu tanya sendiri kepada ayahmu," balas Mechabot.

"Ayah? Untuk siapa, Ayah?" lirih Gempa.

"Ehm ... uhm ... ehm ... uhm ...," ujar Amato, gagap dan kebingungan merangkaikan kata-kata yang tepat, sehingga terdengar amat indah dan manis di indra pendengaran Gempa.

"Ayah! Apakah itu benar? Hiks ...! Betapa teganya dirimu mengkhianati janji kita! Kenapa Ayah melakukan hal sekeji itu? Kenapa? Hiks ... hiks ...! Kenapa, Ayah? Kenapa?" cecar Gempa.

"A-A-A-Ayah ... ti-ti-tidak ber-" tutur Amato terbata-bata.

"E-eh ... ada apa ini? Kok pada ramai-ramai kumpul di halaman depan rumah saya? Lagi reunian, ya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu?" potong seseorang.

"Idih! Siapa lo? Ngaku-ngaku rumah lo segala?"

Bersambung ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang