bab 2

140 24 108
                                    

Dedaunan kering bahkan punya landasan untuk jatuh, menyulap tanah lapang kesepian menjadi hamparan keemasan yang paling digemari di musim gugur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dedaunan kering bahkan punya landasan untuk jatuh, menyulap tanah lapang kesepian menjadi hamparan keemasan yang paling digemari di musim gugur. Pun ranting-ranting yang patah punya perapian yang membakarnya jadi kehangatan. Se-menyedihkan apapun, aku masih punya sahabat yang siaga menyodorkan telinga untuk mendengar keluhanku, bahkan tak ku minta pun ia akan dengan senang hati membiarkan punggungnya basah sebagai penampung air mataku. Senyum Hobi adalah senyum yang paling benderang di antara kelip bintang di angkasa.

Aku pikir setelah pulang dari Kanada Jimin akan segera ikut pulang menyusul. Tetapi hingga dua hari ini telingaku belum mendengar suaranya bahkan lewat telepon. Tak banyak yang bisa aku lakukan selain over thinking dan mendalami kesedihan sebagai luka yang tak akan pernah sembuh. Setidaknya aku berusaha meneteskan penawar berupa rasa syukur yang sepintas menghapus kekecewaan, namun tak lama kemudian keterpurukan yang dalam datang kembali mengacak-acak ruang emosional.

Kapal yang ku tinggalkan benar-benar karam. Meski aku sudah keluar dari sana, kini aku tetap harus melalui jalan gelap sendirian. “Kau tidak sendirian Cha, ada aku.” Hobi memutus rantai lamunku, entah kenapa apa yang ia katakan cukup berkaitan dengan apa yang aku pikirkan. Ia menatapku dengan alis turun, sepertinya hanya ia yang memiliki tatapan kepedulian tulus yang begitu pekat. “Sudah hampir lima belas menit aku menunggumu melamun dengan mata basah seperti itu. Ada apa sebenarnya eoh?” aku mengamati caranya duduk di atas sofa kulit itu tampak tak santai, tubuhnya condong ke depan dengan siku yang bertumpu di atas lututnya sendiri.

Benar, aku baru ingat jika belum bicara apapun semenjak kedatangannya. Lima belas menit yang lalu aku mendengar suara mobil Hobi memasuki langkan, disusul suara sneakernya yang menghantam lantai buru-buru menuju dapur. Sepertinya ia meletakkan satu keresek besar berisi ber-box box es krim cokelat yang aku minta ke dalam lemari es. Selama suara gemerusuk kesibukannya di dapur, aku sengap oleh pikiranku sendiri yang mulai melanglang buana di dunia baruku yang kelam.

Aku pernah membaca beberapa penelitian menunjukkan bahwa cokelat dapat mengurangi kadar hormon stres kortisol. Mengkonsumsi es krim cokelat di saat banyak pikiran lumayan mengalihkan rasa sakit. Entah karena dingin atau manisnya atau aku hanya butuh pelampiasan. Aku selalu memakan banyak es krim cokelat di saat dirundung masalah sebagai upaya penyembuhan psike.

“Jimin bersetubuh dengan Jivanca. CCTV atas usulanmu membuktikan semuanya.”  aku mendekap lututku erat. Memutus derai air mata agar berhenti membasahi pipi. “Aku pikir tak ada jalan yang terbaik selain perceraian.”

“Keputusan besar tidak bisa diambil saat emosimu belum stabil.” Hobi berbicara sangat tenang dan berhati-hati, “Kau butuh waktu untuk menenangkan diri dulu Cha.”

“Bagaimana caraku menenangkan diri jika kepalaku dipenuhi proyeksi adegan hubungan seksual antara suami dan sahabatku sendiri oppa?”

Hobi tak punya jawaban untuk pertanyaanku. Ia bergeming cukup lama sebelum menarik bibirnya untuk tersenyum pedih. Dan obrolan kami siang itu berakhir dengan pelukan erat Hobi beriringan dengan kalimat-kalimat penguatnya.

GALATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang