Rindu-rindu yang lebam di penghujung petang akhirnya hanya bisa berpulang pada hati yang redup selepas berjuang melupakan yang pergi dari hidup. Aku tak pernah mengira jika presensi Jimin dalam hidupku hanya sebatas singgah bukan tinggal. Berawal dari kisah yang bersumber dari kasih dan disudahi oleh luka yang berujung duka. Sampai kini aku masih mengais-ngais kepingan memori bagaimana awal dari kehancuran ini bermula. Dari harapan perbuatan baik akan membiak, namun ternyata aku justru terpuruk oleh balasan yang buruk. Mungkin ini semua bukan murni kesalahanku, tapi takdir ditentukan dari pilihan. Dan kesempatan memilih tak bisa diulang. Jika saja ketika itu aku menolak permintaan Jivanca untuk tinggal di rumah kami mungin perpisahanku dengan Jimin tak akan pernah terjadi.
Seminggu ini aku menginap di Hotel J.Beauty Stay, Hotel megah dibawah kepemimpinan Hobi. Dia CEO di hotel ini, dia juga yang menyarankanku agar tinggal di sini sementara waktu. Sebab dia juga tahu jika aku tak memiliki niatan untuk pulang ke rumah ibu. Ada beberapa alasan, pertama aku belum siap memberitahukan berita buruk tentang keputusanku bercerai dari menantu kesayangannya. Alasan yang lebih inti mungkin sulit dicerna nalar, aku merasa kalah, kalah dari ambisiku sendiri.
Tumbuh tanpa ayah bagai dilepaskan sendirian dalam hutan tanpa peta. Dan aku selalu menyalahkan ibu atas deritaku. Jika saja ia tak bercerai dari ayah, mungkin kehidupan finansial kami bisa lebih baik, mungkin aku tak akan mendapat banyak hinaan yang membentukku jadi sekeras ini, atau tak mudah luluh oleh pria karena kurangnya perhatian seorang ayah, dan segala kemungkinan-kemungkinan lain. Perpisahan ibu dan ayah menjadi sebuah traumatis tanpa sengaja yang membuatku berambisi untuk bisa lebih baik dari ibu.
Dulu kami pernah bertengkar hebat ketika aku mengetahui surat ayah untukku berada di tong sampah. Ayah ingin bertemu denganku sementara ibu melarang. Alasannya tidak pernah dijelaskan gamblang, ibu hanya bilang ayah bukan orang yang baik dan menemuinya adalah hal terlarang. Ketika itu aku banyak membentak ibu dan tak peduli tentang rasa sakit hatinya, aku hanya peduli dengan rasa sakitku sendiri. Dengan sombongnya aku menyergah bahwa akan lebih baik darinya, aku akan membuktikan padanya bahwa tak akan pernah bercerai kelak ketika berumah tangga serumit apapun masalahku.
Sekarang untuk pulang ke rumah dan menceritakan perihal perselingkuhan Jimin dan Jivanca berujung pada keputusanku bercerai bahkan terbayang menggelikan. Bisa saja ibu akan menertawaiku dalam hatinya. Terlebih selama ini ibu selalu memercayai bahwa karma selalu ada. Aku benar-benar malu, malu tidak hanya pada ibu tapi juga pada diriku sendiri. Nyatanya aku sendiripun gagal membuktikan bahwasannya aku mampu menjalani rumah tangga ini hingga akhir.
Aku tidak tahu sampai kapan harus sembunyi di hotel ini. Bertingkah baik-baik saja dan menjalani rutinitas dengan normal. Makan steik sapi kualitas terbaik di meja makan dengan tubuh berbalut piyama putih sehabis mandi seperti seseorang yang sedang menikmati liburan. Tameng terbaik untuk terlihat tangguh adalah bersikap tenang meskipun mental sedang sekarat. Menangis dan bersedih saat sendirian menguras banyak kalori, dan aku harus mengisi ulang tenaga dengan asupan terbaik. Sementara aku menikmati sarapan, Hobi dari tadi tampak gelisah mondar-mandir di sekitar meja, tak lama kemudian ia duduk di kursi terhalang meja di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALAT
FanfictionSudut pandang orang pertama Genre: angst, hurt, drama, marriagelife HAMPIR TIDAK ADA ADEGAN RANJANG!!!!! Jadwal update: setiap minggu malam. Aku tahu sebagian manusia punya rencana dalam hidup, sebagian yang lain tidak tahu kemana hidupnya akan meng...