Bab 7

127 18 72
                                    

Pagi yang paling aku benci adalah ketika mengawali bangun tidur disambut dengan hati yang sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi yang paling aku benci adalah ketika mengawali bangun tidur disambut dengan hati yang sakit. Rasanya aku ingin menenggelamkan diriku dalam selimut lebih lama untuk melumpuhkan pikiran secara paksa agar tertidur kembali. Namun hatiku semakin sakit ketika hal sekecil ingin kembali pulas saja tak sanggup terealisasi. Pada akhirnya mataku kembali terbuka didatangi sekelebat nyeri yang mulai bergelenyar di seputaran dada, membentuk kepedihan yang akan berlangsung lama mungkin sepagian hingga menjelang siang bahkan bisa berlanjut esok harinya dan bertahan hingga beberapa hari berturut-turut.

Aku mulai mencari-cari solusi tepat agar siksaan batiniah tak menjeremba kelewat jauh atau bahkan tidak usah datang lagi karena aku ingin bebas, sebebas-bebasnya dari rasa tidak ikhlas yang menyiksa. Aku ingin menerima semua yang telah digariskan untukku memang bertujuan untuk membentuk pasir menjadi mutiara melalui cangkang masalah. Rasanya aku ingin menyudahi sakit hati lebih cepat akibat dari pengkhianatan yang Jimin lakukan. Aku benar-benar ingin melupakannya dan berharap jika mengingatnya sudah tiada lagi rasa sakit.

Setelah aku bisa lepas dari ranjang dan memeriksa wajah di cermin, bengkak di mataku mengingatkan hal memalukan yang aku lakukan semalam di depan Kuki. Lelaki itu masih bersarang di pikiranku ketika aku membasuh muka di wastafel. Kemudian suara tapak kuda beserta ringkiknya menyela masuk lewat celah-celah kecil di atap kayu.

Presensinya datang kemudian. Kulihat dari balik jendela kamarku, Kuki menunggang kuda hitamnya. Lelaki itu berpakaian serba hitam dari jaket, celana, hingga sepatu botnya. Dia dan kudanya tampak sama-sama gagah, dihujani serpihan salju, di alasi bunga daisy yang nyaris tenggelam dalam hamparan putih di sisi-sisinya. Lelaki itu tersenyum padaku dari luar kaca sambil menarik-narik pelan tali kekang agar kudanya berhenti.

Senyuman Kuki tidak pernah berubah. Ada ketulusan yang terkandung di dalamnya sehingga bibir yang melengkung manis itu dapat mengalihkan segala rasa sakit. Hal tersebut menjernihkan keruh dalam kepalaku bahwa begitu banyak kebaikan serta keindahan berhamburan di sekitar, bagai salju yang bertaburan dari langit. Dibanding terus terdampar di pulau-pulau penuh keluh, mungkin lebih baik untuk menempuh langkah pelan meniti jembatan syukur menuju ladang keikhlasan.

Aku menghampiri Kuki setelah mengeringkan wajah. Ada pintu di samping jendela menuju taman tanpa harus berputar melewati pintu utama. Melihatku hendak menghampirinya, Kuki turun dari kudanya, "Mau ikut menunggang kuda?"

Aku menggeleng pelan, "Tidak, kurasa."

"Pemandangan pantai pagi hari sangat indah, kau akan menyesal melewatkan sunrise musim dingin di Gwangchigi." Kuki berusaha meyakinkan, "Lagipula aku sudah membuat gimbab untuk sarapan kita di sana."

Tak ada jawaban dariku, bukan karena aku tidak ingin pergi. Namun karena adanya rasa enggan yang tidak jelas apa sebabnya, seperti terkikisnya antusias terhadap hal-hal yang awalnya benar-benar aku minati. Aku takut perasaan seperti ini akan berlanjut pada taraf yang lebih parah. Aku takut jika kehilangan jati diri akibat rasa sedih ataupun galau berkelanjutan yang seharusnya tak perlu. Semuanya terjadi dalam semalam saat aku menyadari bahwa Jimin sudah benar-benar pergi dari hidupku. Namun jejak yang ia tinggalkan terlalu dalam berbekas sehingga membuatku kesulitan untuk membersihkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GALATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang