bab 4

105 17 70
                                    

Bukankah memang selalu ada dua sisi, hitam dan putih, gelap dan terang, baik dan buruk, memberi dan menerima, gagal dan berhasil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukankah memang selalu ada dua sisi, hitam dan putih, gelap dan terang, baik dan buruk, memberi dan menerima, gagal dan berhasil. Dua hal yang selalu berdampingan, antonim paten yang tak bisa diganggu gugat. Berusaha mati-matian hanya menjalani satu sisi hanya akan membuatmu bagai burung yang terbang dengan sayap patah. Gampangnya, seseorang harus lapar dulu agar bisa merasa kenyang. Itulah mengapa tidak semua keberhasilan itu baik dan tidak semua kegagalan itu buruk. Menurutku, kegagalan merupakan salah satu cara semesta menyelamatkanmu. Barang kali seperti itu pula cara Tuhan menggagalkan biduk rumah tanggaku dengan Jimin agar dapat mengarahkanku pada keberhasilan yang lain.

Masih sulit sekali bagiku memahami keberadaan Kuki di tempat ini. Sensasinya terasa acak, antara bahagia dan tak menyangka, meski begitu juga ada sisa-sisa kesedihan yang tercecer dari masalah pribadiku sendiri. Kuki sekarang berada di depan mataku, ia berjalan membawa cangkir yang mengepul. Dulu ia adalah lelaki pertama yang mencuri satu kepingan kecil dalam hatiku, berlanjut esok harinya, esoknya lagi hingga tersisa sedikit sekali untukku sendiri. Kami tidak sempat menjalin tali kasih resmi, kami tidak sempat menyampaikan perasaan satu sama lain, aku membawa cintaku terhadapnya sebagai buah tangan masa depan untuk dikenang. Setelah kepergiannya, secuil hatiku kembali utuh, lantas kembali terkikis oleh pencuri tak tahu diri yang kini malah berselingkuh dengan sahabatku. Dan jahatnya dia tak menyisakannya sama sekali untukku.

"Americano kesukaanmu." Kuki menyerahkan secangkir kopi buatannya.

"Terimakasih," aku menerima cangkir, mencakupnya dengan dua tangan agar panasnya menular pada telapak tanganku. "Kau masih mengingatnya? aneh sekali."

"Karena gampang diingat." Ia menjawab disertai senyuman kecil. "Mudah sekali mengingat satu-satunya gadis yang membawa termos kecil berisi kopi ke sekolah setiap hari disaat siswa-siswa lain membawa air putih." Ucapan Kuki menjadi jembatan memoriku kembali pada ruangan kelas berisi bising murid-murid beserta aku yang baru datang dengan termos kopi dalam genggaman. Kini dunia terasa lain, lebih keruh dari sebelum aku menyelaminya lebih dalam.

Lebih dari mengenal Jimin, aku lebih mahir memahami lelaki ini. Tak heran, pertemanan kami berlangsung sekitar empat belas tahun. Kami saling mengenal dengan sangat baik, namun jarak pemisah yang terbentang bertahun-tahun sedikit banyak memutus keakraban, membuatku seperti terperangkap dalam ruangan penuh canggung. Untuk menepis situasi yang membuatku kikuk, aku menyeruput kopi, masih agak panas tapi masih bisa diminum perlahan.

"Bagaimana kabarmu?" Kuki bertanya sambil menarik sebuah sofa tunggal tanpa sandaran untuk alas duduknya, meletakkannya depanku agak geser ke kiri sedikit. Entah kenapa aku merasa jarak kami terlalu dekat, bahkan lutut kami berkali-kali bersinggungan. Seakan ia ingin mengintrogasiku tentang banyak hal.

Tubuhku sedikit membungkuk, berniat meletakkan cangkir kopi di atas meja. Karena berjarak cukup jauh dari jangkauan, aku sedikit kesusahan tapi Kuki sigap sekali meraih cangkirku dan membantu meletakkannya.

GALATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang