4. Hujan, Sunyi dan Gelap

26 20 32
                                    



Lean: LO SUKA APA??





Navea menurunkan ponsel, membaca notip dari Lean.

Gadis itu duduk seorang diri dibawah payung besar depan minimarket. Pelanggan datang silih berganti, minuman ringan yang tadi dibelinya juga sudah hampir tandas, tapi dia masih enggan untuk pergi.

Navea suka menyendiri. Meskipun tempatnya ramai sekalipun, tapi Navea suka bepergian seorang diri.

Hape menyala, menandakan ada notip baru lagi.





Lean: Maap caps gue nyala



Navea membuang nafas sebentar lalu membalas pesan Lean.





Navea: iya gak papa





Navea berjengkit kaget, angin berhembus kencang, membuat payung besar tadi agak mengeluarkan suara berisik. Ia jadi mengeratkan diri dengan hoodie oversized yang dipakai.

Dingin, sudah dipastikan hujan sebentar lagi akan datang, Navea meneguk sisa minumannya kemudian beranjak.

Cewek itu memasukan ponsel ke dalam hoodie. Letak minimarket dengan rumahnya berdekatan, tapi tujuannya bukan pulang ke rumah. Navea malah berjalan lebih jauh dari sana.

Memandangi langit malam yang kali ini ada kilat sekejap. Navea suka suasana seperti ini. Mendung di malam hari, walau tidak terlihat tapi hawanya terasa.

Tak jauh dari minimarket tadi, Navea berhenti tangan kecilnya memegang pembatas jembatan dengan erat. Gelap dan sunyi tapi Navea sudah biasa dengan ini. Semakin terbiasa dia jadi menyukainya hingga sekarang.

Gadis itu suka tentang hujan, sunyi dan gelap.

"Hai."

Navea menyapa lirih entah pada siapa. Tapi pandangannya lurus pada langit malam yang perlahan menurunkan hujan, masih gerimis kecil.

"Maaf dan makasih," Navea menarik nafas mencoba menghilangkan sesak di dada. Mengingat kilasan pedih yang selalu berputar di memorinya, dengan dia.

Dia yang selalu Navea rindukan, tentang dia yang tak pernah lagi ada, sampai kapanpun Navea tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengannya.

"Gue kangen, tapi gue gak tau harus gimana."

Navea membiarkan satu bulir hangat jatuh begitu saja melalui matanya. Kata orang, jika manusia itu pergi jauh bukan berarti raganya ikut pergi.

Gadis ini merasa dirinya terlalu jahat dengan tidak mengikhlaskan kepergiannya, amarah dan kecewa masih hinggap di dalam diri Navea. Namun Navea tidak bisa melakukan apapun, sering kali dia mencoba untuk menyudahi dan melupakan tapi Navea merasa sulit.

Biarkan dia tetap bersama Navea dimanapun cewek ini berada. Navea tidak takut apapun, Navea ingin dia tau jika Navea sangat merindukannya.

"Asal lo tau, lo jahat, lo pergi sendirian gak ajak gue, emang lo pikir gue kuat bisa bertahan kaya yang lainnya?" Navea rasanya ingin berteriak sekencang mungkin, tapi dia sadar itu adalah hal yang sia sia.

"Gue pengen ikut lo, tapi gue gak bisa!"

Navea menangis, sudah tak peduli lagi dengan dirinya. Semesta seakan mendukung, ikut mengguyur Navea dengan hujan deras kali ini. Tidak ada gerimis dahulu yang menyapa, dunia langsung menurunkan hujan derasnya.

Tangan Navea mengepal erat, bahkan jika bisa ia ingin menghancurkan pagar besi ini, ingin terjun bebas dari atas sini. Tapi, lagi lagi teringat dengan beban hidupnya. Bagaimanapun dia harus kuat.

Semesta luas, dan Navea hanya gadis kecil yang tak bisa berbuat banyak selain mengikuti kata takdir. Berulang kali Navea mengumpati hidupnya, tapi itu semua hanya berakhir sia sia, tak ada penyelesaian setelah kata kasar itu terlontar. Lagi lagi, dia harus pasrah dengan keadaan, menurut dan memilih mengalah dengan apa yang ada.

"Bawa gue pergi, gue mohon!"

Petir menggelegar cukup kontras dengan posisi Navea sekarang. Navea merunduk seorang diri memberi jalan kedua matanya untuk tetap mengeluarkan cairan bening. Tak ada orang lain disana, gadis ini benar benar kacau seorang diri.

"Lo udah janji gak akan ninggalin gue."

Sesak rasanya, Navea tidak tau harus berbuat apa. Suara petir saling bersautan, memperkeruh keadaan. Navea tak peduli sudah basah kuyup, tak memikirkan nantinya akan terkena demam. Navea hanya ingin mengeluarkan apa isi hatinya, tapi dia bingung rasanya. Tidak ada orang terdekat, tidak ada yang peduli tentangnya, tidak pernah ada yang menanyakan apakah dia sedang baik baik saja. Jika boleh jujur, Navea ingin memiliki teman, dia sudah lelah membawa bebannya seorang diri. Dia hanya butuh teman yang ingin mengerti dirinya, bukan memanfaatkan kepintarannya.

Navea tak terus mengeluarkan air matanya, kali ini dia tak ingin menahannya. Sekali saja, Navea mohon sekali saja kepada semesta untuk memberinya keringanan. Ini terlalu berat untuknya, Navea bukan gadis kuat tapi dia merasa didorong oleh keadaan untuk menjadi keras.

"Kenapa lo ngasih gue kehidupan yang kaya gini."

Navea memukul besi pembatas itu dengan lemah. Seakan menyalurkan beban hidupnya, "bawa gue," ucapnya lemah dengan kilatan mata tajam.

Persetan dengan kata bersyukur, tuhan tidak adil. Kenapa rasanya hanya Navea saja yang menanggung beban seberat ini. Kenapa semuanya masih bisa tertawa sedangkan Navea saja sudah lupa kapan terakhir kali dia tersenyum.

"Kak Senja?"

Navea menoleh, langsung terkaget membuat tangisannya berhenti.

"Kak Senjaaa!"

"Astaga, Bulan!!"

Navea ikut berlari menghampiri gadis kecil yang memanggilnya.

"Bulan takut Kak Senja!!" tangisan Bulan membuat Navea menarik adiknya kedalam pelukan.

Navea mempercepat langkah, mengambil payung yang tadi di lempar adiknya. Bahkan Navea lupa, jika dirumah Bulan sedang tidur dan mungkin Bulan terbangun karena suara petir mengingat adiknya itu takut dengan suara keras.

"Ssstt, gak papa. Kak Senja disini, maafin kakak ya." Navea memeluk erat adiknya di gendongan. Dengan tangan satu lagi memegang payung, keduanya berjalan menuju pulang.

Bulan mengusap air matanya, baru menyadari kakaknya basah kuyup. "Kak Senja kenapa hujan hujan?"

Navea menggulir netra, menatap adik kecilnya itu, "Pengen aja," katanya tanpa beban dengan senyum kecil. Ah, dia jadi bersyukur dengan hujan karena sudah menyamarkan bekas air mata di pipi, membuat Bunga tak bertanya lebih jauh.

"Kak Senja emang gak kedinginan?" tanya Bulan.

Navea membenarkan letak gendongannya kemudian menggeleng dengan senyum cerah seakan tak terjadi apa apa. "Coba peluk kakak, emang kakak dingin??"

Bulan dengan polos menurut, langsung mengeratkan lengannya di leher Navea, "Kak Senja hangat selalu sama kaya dulu."

Navea tersenyum, hatinya menghangat jadi melanjutkan langkah dengan ringan. Bulan jadi diam menaruh dagunya dipundak Navea dengan pandangan lurus ke belakang Navea. Bulan tersenyum entah pada hal apa.



















••

A/n:

Gimana ya...... Perasaan gue campur aduk. Sedih iya, krispi juga iya.

Behind The TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang