01 - A Bad Day

770 570 383
                                    

Musim gugur baru saja memasuki minggu ketiga. Namun, entah mengapa sejak dua hari yang lalu udara sudah terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Angin juga bertiup semakin kencang hingga menembus ke permukaan kulit. Meski begitu, rutinitasku tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Aku segera menghabiskan semua makanan yang ada di piringku dengan cepat. Hari ini sekolah kembali dimulai karena liburan musim panas telah berakhir.

"Kathleen, kau masih mau tambah sosisnya?" Mom menghampiriku sembari menawarkan lagi sosis bakar buatannya yang baru matang.

"Tidak. Sudah cukup, Mom. Terima kasih." Aku bangkit berdiri, menaruh piring kotor di dapur dan segera melilitkan syal rajut merah yang kudapatkan dari hadiah perayaan Natal tahun kemarin ke leher. "Di mana Dad? Dia berjanji akan mengantarku ke sekolah pagi ini."

"Oh, tadi kulihat masih ada di kamar. Mungkin sedang bersiap-siap." Ia mengulas senyum lembut lalu tiba-tiba menengok ke belakang bahuku. "Nah, itu ayahmu. Pagi, Sayang!" sapanya seraya membantu memakaikan dasi.

Dad membalas sapaan Mom dengan sebuah kecupan manis.

Yeah, harus kuakui. Selama delapan belas tahun hidup di keluarga ini, mereka adalah pasangan paling harmonis yang pernah aku temui. Ibuku sangat penyabar, begitu juga ayahku-meski ia lumayan cerewet dan sering mencurigaiku yang aneh-aneh, seperti masalah cowok contohnya. Ia tidak percaya kalau aku belum pernah berpacaran dengan siapa pun. Serius, aku tidak bohong.

Kenapa? Alasannya karena sebagian besar cowok di sekolahku rata-rata playboy dan badboy. Jadi, aku tidak ingin membuang-buang waktuku yang berharga hanya untuk berurusan dengan cowok semacam itu. Biarpun kehidupan remajaku terbilang biasa-biasa saja, aku tetap bersyukur dapat hidup damai sebagai seorang gadis remaja nan manis menggemaskan bernama Kathleen Watson.

"Kau sudah siap, Kathleen?" tanya ayahku.

Aku menganggukkan kepala. "Ya. Ayo cepat, Dad! Lihat ini sudah jam berapa? Nanti kita bisa terlambat," ajakku seraya berjalan ke ambang pintu.

"Oke, tunggu sebentar." Ia menyahut sambil merogoh kedua saku celananya. "Sayang, apa kau melihat kunci mobilku?"

"Entahlah," balas Mom yang kini tengah membereskan sisa sarapan di meja makan. "Coba periksa di dalam tasmu. Barangkali ada di sana."

"Tidak ada."

"Ingat baik-baik. Terakhir kali kau taruh di mana?"

Dad berpikir sejenak sembari menggosok pelan dagunya. "Bukankah kemarin sore kutitipkan padamu?"

"Aku tidak merasa menyimpannya. Habis pulang berkunjung dari rumah ibuku kemarin kau langsung tidur."

"Benarkah?"

Aku menghela napas panjang. Ternyata benar kata pepatah, jodoh takkan ke mana. Sifat Dad juga sangat mirip dengan Mom yang pelupa. Kalau tahu begini, mendingan tadi aku naik bus saja ke sekolah. Rencanaku buat berangkat pagi malah menjadi sia-sia.

Setelah membongkar seluruh isi laci nakas, akhirnya kami justru menemukan kunci mobil itu di dalam saku mantel kasmir miliknya yang tergantung di hanger ruang tamu. Sudah tidak mengherankan lagi. Kunci mobilnya seperti punya kaki yang dapat berjalan-jalan sendiri.

"Maaf, kau harus bisa maklum. Umurku sudah menginjak kepala empat," kelitnya. Ia selalu membela diri ketika aku memprotes.

Wah, pagi yang mengesankan! Sepertinya aku bakal dihukum membersihkan toilet gara-gara terlambat.

Dad lekas menyalakan mesin mobilnya dan mengantarku pergi ke sekolah, Wellington High School. Butuh waktu sekitar sepuluh menit berkendara dari kompleks perumahanku yang berada di Cambria Street. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Namun, jika berjalan kaki cukup melelahkan, apalagi belakangan ini cuaca sedang kurang bagus.

The DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang