Tidak, aku tidak ingin sampai menimbulkan kesalahpahaman lagi, terutama di depan banyak orang seperti ini. Will juga belum pernah bilang kalau dia menyukaiku. Ia pasti punya maksud lain.
Sebelum terlambat, aku pun segera menunduk dan melepaskan dekapan tangannya. Tapi, bukannya kecewa atau sedih karena reaksiku barusan, William justru kembali tersenyum. Ia kemudian menegakkan badan dan mundur satu langkah seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan gerakan santai. Sungguh. Aku sama sekali tidak mengerti apa tujuannya melakukan ini kepadaku.
"Maaf, ini tempat umum. Aku-"
"Kau mau makan?" selanya memotong kalimatku yang belum selesai. Ia sekarang malah mengalihkan topik pembicaraan.
Aku hanya melongo di tempat, bingung respon apa yang harus kuberikan padanya.
"Kau juga tadi sudah lapar, bukan? Kita belum sempat makan apa-apa sejak datang kemari."
"Ah, y-ya." Kuangkat pandanganku lagi, menatapnya dengan jengah. "Kau mau menemaniku mengambil makanan?"
Ia mengangguk lantas mempersilakanku berjalan duluan menuju area prasmanan.
Kami memilih beberapa kue dan juga puding beraneka macam rasa. Will membawakan piringku selagi aku mengambil minuman baru yang tidak mengandung alkohol. Hidungku masih terasa agak perih gara-gara tersedak wine sebelum berdansa tadi. Lagian yang benar saja. Membayar seluruh biaya prasmanan sekaligus sewa karpet? Itu pemerasan namanya! Setelah mengambil makanan sekaligus minuman, aku dan William pun kembali duduk di meja kami yang sebelumnya.
"Kemarin malam, kau bilang ingin mengatakan sesuatu padaku. Ada apa?" tanyaku berusaha mencarikan suasana yang kikuk ini.
Will terdiam sejenak. Air mukanya tiba-tiba berubah menjadi khawatir. "Ya, ada sesuatu yang membuatku tidak tenang belakangan ini. Dan setelah kupikir-pikir, sepertinya aku juga butuh bantuanmu," ungkapnya dengan nada risau. "Apa ... kali ini kau bersedia membantuku?"
"Yeah, tentu saja. Aku akan membantumu semampu yang aku bisa."
William justru kembali terlihat ragu. Ia beberapa kali berdeham sembari menyentuh hidung mancungnya. "Kalau begitu, maukah kau menyelesaikan satu soal ini untukku?" pintanya seraya memberikanku sepotong kertas.
Aku segera membuka kertas itu dan ternyata di dalamnya cuma ada tulisan: 6x-8i > 3(2x-8u).
Keningku sontak berkerut melihatnya. Soal matematika? Apa tidak salah? William 'kan lebih jenius daripada aku, tapi kenapa dia malah meminta bantuanku hanya untuk menyelesaikan sebuah soal matematika?
"Will, ini-?" Aku mengulum bibirku dengan bingung. "Kau yakin?"
"Ya, aku yakin kau pasti bisa menyelesaikannya."
"Bukan. Maksudku, kita tidak sedang bercanda, 'kan? Kau barusan meminta bantuanku cuma untuk menyelesaikan soal matematika ini?"
"Kenapa? Apakah soalnya terlalu sulit?"
"Tidak, aku hanya ingin memastikan permintaanmu supaya tidak salah."
William mengamati wajahku sesaat lalu beralih pada sepotong kertas yang sudah ia berikan. "Aku tahu kau pasti merasa heran. Tapi, semua pertanyaanmu itu akan terjawab setelah kau berhasil menyelesaikannya."
"Semua pertanyaanku?" Kugaruk pelan pelipisku sembari berupaya mencerna kata-katanya. "Umm, baiklah. Kalau memang begitu, biar aku coba kerjakan sekarang."
"Tidak. Jangan kerjakan di sini. Tolong selesaikan saat kau sampai di rumah saja. Mungkin kau membutuhkan lebih banyak waktu untuk menemukan jawaban yang tepat," lanjutnya memberitahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny
Teen FictionKathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar! Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suk...