-Kathleen-
Hari ini adalah hari Minggu—hari di mana aku tidak memiliki kesibukan lain yang melelahkan. Jam empat sore nanti, sebenarnya aku, Arlene, dan Natalie memiliki rencana nonton film bersama di salah satu bioskop favorit kami. Namun, persendian kakiku masih terasa nyeri akibat memakai heels semalaman. Sepertinya kedua sahabatku itu juga merasakan hal yang sama denganku. Jadi, mereka pun sepakat untuk mengundurnya sampai minggu depan.
Mom sedang pergi ke rumah nenek bersama Dad sejak pagi, menjenguknya rutin setiap satu minggu sekali. Terkadang aku merasa bosan ketika berada di rumah ini sendirian. Selain karena tidak memiliki aktivitas yang mengasyikkan, tidak ada siapa-siapa pula yang bisa kuajak mengobrol kecuali tembok kamarku yang selalu setia mendengarkan omong kosongku setiap hari.
Kira-kira, William sekarang sedang apa, ya? Bagaimana kalau aku mampir saja ke rumahnya? Kelihatannya menyenangkan. Tapi, tunggu dulu. Itu adalah ide yang gila. Niat konyolku itu hanya akan membuatku kelihatan seperti gadis kesepian di matanya. Lagi pula, Will juga belum tentu pengangguran. Siapa tahu ia sedang sibuk membantu Mr. Thompson mengelola toko kuenya.
Semisal tidak sibuk pun, setahuku orang yang memiliki kepribadian introvert justru lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi dengan banyak orang di luar sana—seperti William contohnya. Di sekolah cowok itu lebih banyak diam, berbicara kalau ditanya dan menjawab hanya seperlunya.
Well, karena sore ini kebetulan menganggur, aku pun memutuskan untuk coba mengerjakan soal yang Will berikan padaku. Kertas itu masih kusimpan baik-baik di dalam tas kecil yang kubawa saat pergi ke pesta ulang tahun Chloris tadi malam. Sejak pulang dari sana, pikiranku masih terus bertanya-tanya.
Kenapa William memintaku untuk mengerjakan soal ini? Apakah dia cuma mau mengetes kemampuan matematikaku? Atau sekadar menyuruhku supaya rajin belajar? Mustahil sekali jika ia tidak bisa mengerjakannya sendiri, bahkan anak middle school saja bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu kurang dari dua menit.
Kurasa tingkah Will beberapa hari belakangan ini memang terkesan agak aneh. Ia sering kali terlihat seperti mencemaskan sesuatu. Entahlah. Mungkin ia memang ada masalah lain dan benar-benar membutuhkan bantuanku.
Setelah mendapatkan kertas tersebut, aku pun berjalan ke meja belajar, mengambil pena lantas segera mulai mengerjakannya secara teliti.
6x-8i > 3(2x-8u)
6x-8i > 6x-24u
-8i > 6x-24u-6x
-8i > -24u
8i < 24u
i < 3uSelesai. Aku sudah menemukan jawabannya. Cuma butuh waktu sekitar satu menit untuk menyelesaikan soal aljabar yang sederhana ini. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Semalam William hanya memintaku untuk menyelesaikannya. Ia sempat bilang kalau aku akan menemukan jawaban dari semua pertanyaanku. Tapi, aku tidak menemukan apa-apa lagi selain hanya gabungan huruf dan angka-angka tadi.
Kugaruk kepalaku yang mendadak gatal sembari mengamati sepotong kertas itu dengan penuh konsentrasi. Sebenarnya, apa yang dia maksud?
“Nilai i lebih kecil dari 3u?” gumamku seraya kembali memutar otak. “Nilai i? 3u?”
Anehnya, di saat kubaca berulang-ulang, aku jadi justru merasa ada sesuatu yang janggal—seperti ada maksud lain yang tersembunyi. Tetapi, apa? Karena masih penasaran, akhirnya aku pun mencoba untuk mengerjakannya lagi.
Sekali, dua kali, lalu ketiga kali hasilnya ternyata sama. Jawabanku sudah benar dan setelah kuperiksa juga tidak ada yang salah hitung ataupun simbol yang keliru. Namun, tetap saja rasanya masih ada yang janggal.
Kubolak-balikan kertas itu. Bagian belakangnya pun kosong, tidak ada tambahan tulisan sama sekali. Setiap detik yang berlalu membuat otakku semakin panas. Aku meremas rambutku dan mengacaknya dengan frustasi. Memusingkan sekali rasanya.
Aku tidak mungkin menghabiskan waktu seharian penuh hanya untuk memecahkan satu soal matematika yang aneh ini. Untung saja kuingat masih ada seseorang yang dapat membantuku. So, siapa lagi kalau bukan Kevin? Biasanya ia paling bisa diandalkan kalau urusan tugas-menugas atau pemecahan masalah. Orang jenius pasti memiliki nalar yang kuat, bukan?
Kuambil ponselku yang kusimpan di laci meja belajar untuk segera menghubungi Kevin, si cowok berparas tampan nan lugu itu. Di bagian keterangan, aku melihat kalau ponselnya terakhir kali aktif pada jam dua dini hari tadi. Wah, rupanya Kevin benar-benar menikmati pesta itu bersama Arlene hingga detik-detik terakhir. Mereka berdua terlalu bersemangat.
Tuttt ....
“Hei, apa-apaan ini? Kenapa panggilanku malah ditolak?” protesku ketika hanya mendengar bunyi berdering satu kali, tapi jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang gampang menyerah. Lihat saja.
Sesudah lebih dari lima kali menelepon, cowok itu pun akhirnya mengangkat teleponku.
“Astaga, Kathleen ... ada masalah apa sih kau sampai meneleponku berkali-kali?” omelnya. Suara Kevin terdengar serak seperti orang yang baru habis bangun tidur.
“Oh, pantas saja. Ternyata kau dari tadi masih tidur? Kau tidak lihat sekarang sudah jam berapa?”
“Jam satu siang,” balasnya sembari menguap. “Memangnya kenapa?”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Cepat cuci wajahmu dulu. Ada sesuatu yang mau kutanyakan padamu. Ini penting!”
“Ugh, besok saja di sekolah. Aku masih mengantuk.”
“Ah, kalau begitu aku akan beri tahu Arlene kalau kau dari dulu juga diam-diam menyukainya lalu—”
“Jangan!” Kevin langsung berteriak. “Please, kau jangan memberitahunya dulu. Aku betul-betul belum siap untuk menyatakan cinta padanya. Persiapanku masih belum matang,” katanya panik. “Kathleen, kau ‘kan baik, cantik, dan pintar lagi. Jangan, ya?”
“Kau tidak usah meledek!”
“Oke-oke, maaf. Sekarang aku sudah tidak mengantuk lagi. Jadi, ada apa? Ceritakan padaku.”
“Aku cuma mau meminta bantuanmu untuk memeriksa jawaban ini sebentar. Itu saja,” kataku kemudian mengirim foto soal matematika yang sudah kukerjakan tadi kepadanya.
“Apa ini? Soal matematika? Aku baru saja bangun tidur, tapi kau malah membuat otakku langsung panas.”
“Sudah periksa saja. Jangan banyak mengeluh. Kalau tidak—”
“Ya-ya, tunggu sebentar. Biar kuperiksa dulu.”
Kevin pun langsung membuka foto yang telah kukirim dan memeriksanya selama beberapa saat.
“Bagaimana? Apa ada yang salah hitung? Atau penempatannya keliru barangkali?” tanyaku ingin tahu.
Ia bergumam sejenak. “Umm, tidak ada yang salah, kok. Jawabanmu sudah benar. Tadi aku juga sudah ikut menghitung dan hasilnya sama.”
“Kau yakin?”
“Yeah, yakin! Seratus persen.”
“Tapi dari tadi aku terus merasa ada yang janggal, Vin. Menurutmu, apakah soal itu bisa termasuk sebuah teka-teki?”
“Teka-teki? Teka-teki bagaimana maksudmu?”
Aku berdeham. “Seperti ... eh ... ungkapan perasaan mungkin,” tebakku asal sambil mengangkat bahu.
“Hmm, bisa jadi. Aku juga pernah menemukan soal matematika yang sering digunakan untuk permainan tebak-tebakan,” balasnya.
“Berarti ada kemungkinan soal ini juga sama seperti yang kau bilang barusan, bukan?”
“Tentu saja. Kalau kau merasa begitu, biar aku cek sekali lagi. Siapa tahu ini memang bukan soal matematika biasa.”
“Ya, baiklah. Terima kasih.”
Setelah lima menit keheningan menggantung di antara kami, Kevin pun akhirnya kembali bersuara. Ia memanggilku dengan bersemangat.
![](https://img.wattpad.com/cover/284662375-288-k187064.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny
Teen FictionKathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar! Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suk...